Aku.

Butuh waktu sekitar 30 menit, untuk diriku menenangkan diri. Mengatur napas dan detak jantung yang berdetak seolah-olah akan keluar sangking cepatnya.

Kak Gilang sudah pergi sejak 45 menit yang lalu ku rasa, aku terlalu sulit untuk mengingat disaat panik seperti ini. Otak ku menolak setiap memori yang lewat.

Dari tempat aku duduk, aku bisa melihat jelas bagaimana Reza terbaring lemas diranjang rawat inap dengan infus yang menancap. Juga pergelangan tangan yang dibungkus perban dengan obat merah didalamnya.

Aku masih enggan untuk masuk dan menjenguknya. Entah. Rasanya seperti... Tidak mau saja.

“Lo bisa bahagia, Fie. Walau gak sama Reza.”

Itu adalah kata yang terus menerus memutar di otak ku. Kak Gilang mengucapkannya sambil memegang pundak ku dan menatap mataku dalam-dalam, sampai aku bisa membaca ada perasaan yakin, pasrah, juga kecewa dimatanya.

Aku sudah 9 Tahun bersama Reza. Dan 4 tahun menjalin hubungan terlarang kami. Jangan salahkan aku, Ku mohon.

Sudah cukup ku mendengar celaan dari banyak orang karena menjalin hubungan dengan orang yang berkelamin sama dengan ku. Awalnya memang sangat memalukan, sangat.

Tapi Reza meyakinkanku, kalau kami bisa bahagia dengan cara kita. Kita akan pindah ke ujung dunia, jika itu yang membuat alasan kita bahagia. Begitu katanya.

Tahun pertama berjalan sangat mulus, Reza memperlakukan ku layaknya seorang ratu. Membuat ku benar-benar merasakan bahwa hanya aku lah, satu-satunya seseorang yang ada dihatinya.

Tahun kedua mulai terjadi hal-hal yang aneh menurut ku, tapi aku tidak terlalu menyadarinya. Ia mulai berani membentak ku, serta berbicara lantang dengan ku saat didepan banyak orang. Namun aku tak membawanya pusing, mungkin memang begitu lah Reza.

Dan ditahun ketiga lah, Reza mulai memainkan tangannya. Awalnya ia memukulku saat aku benar-benar melakukan kesalahan, sampai aku berpikir bahwa itu adalah suatu hal yang wajar karena memang aku yang salah.

Dari tahun keempat sampai sekarang. Ia lepas kendali seperti semalam.

Ingin sekali aku berlari dan berteriak kepada polisi, “ADA SESEORANG YANG HAMPIR MEMBUNUH KU!”

Tidak bisa.

Tiap kali Reza memukulku baik menggunakan ikat pinggang, atau tangannya. Ia selalu berkata, “Kalau sampai ada yang tau soal ini, kita akan mati berdua. Disini.” Hanya itu dan itu yang selalu ia ulang.

Setiap mendengar itu aku selalu merinding dan bergetar ketakutan.

Anehnya, keesokan harinya ia bertingkah seolah tak terjadi apa-apa semalam. Padahal aku hampir mati ditangannya, tapi dia.. tidak pernah merasa bersalah?

Kalian boleh mengatakan bahwa aku aneh. Setelah kalian mengetahui bahwa aku sangat-amat jatuh cinta dengan Reza. Setelah apa yang ia lakukan padaku, perkataan nya untuk ku, perasaan cinta ini tak pernah berubah sedikit pun.

Aku minta maaf karena mencintanya.

“DASAR TOLOL! UDAH GAY DIKASARIN PULA!” Perkataan yang sudah terlalu biasa ditelingaku, hanya diawal saja terasa begitu panas dan perih.

Reza selalu bilang, “Lo punya gue. Apapun yang mereka bilang, Lo tetep punya gue.” Tekannya terus menerus, sampai aku pun menurut.

Aku tau, apa yang ia lakukan pada Qiya, pada Regan, pada musuh-musuhnya yang lain. Berapa nyawa yang melayang begitu saja ditangan Reza. Tak jarang Reza membawa potongan kaki ke apartemen kami.

“Tutup mulut lo, atau lo target selanjutnya.”

Sungguh aneh sampai aku terbiasa dengan bau darah manusia yang membusuk.

Setiap kata-kata yang Reza lontarkan selalu berhasil membuatku bungkam sambil gemetar hebat. Aku selalu takut dengannya, apapun yang ia lakukan.

Sudah tak terhitung berapa tulang ku yang patah karena benturan yang Reza lakukan untuk ku. Aku selalu datang kerumah sakit untuk periksa, tanpa diketahui Reza tentunya.

Membahas tentang Qiya, tiba-tiba aku memikirkan tawarannya beberapa hari lalu.


Banyak waktu yang ku makan untuk melamun didepan pintu rawat inap itu. Hanya berdiri diam menatap Reza yang terbaring lemah disana.

Maaf, aku senang melihatnya disana.

Rasanya aku bisa melompat tinggi-tinggi tanpa perlu takut akan dipecutnya.

Aku mulai memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut. Melangkahkan kaki kanan ku perlahan-lahan agar ia tak terbangun dari tidurnya.

Sungguh, aku ingin menatapnya disaat seperti ini. Aku merasa punya kekuatan lebih dibanding dirinya.

Diam. Hening.

Hanya suara denyut nadi dari monitor saja yang menemani kami saling tatap dalam diam. Apakah dia memikirkan ku dalam tidurnya? Entah, mungkin ia punya kekasih lain disana. Tapi aku senang, selalu jadi rumah untuknya pulang.

Sampai lupa tentang jahatnya dunia setiap menatap wajah sendu nya. Selalu ingin mengusap wajah itu dengan telapak tangan ku, seraya berucap, “Dunia itu emang jahat, Ja.” Tak lupa ku bersenandung yang menjadi kesukaannya dulu.

Semesta terlalu gelap untuknya. Kepergian orang tua dan kembarannya, seolah mengambil jiwa Reza yang dulu pula.

Ruangan yang bernuansa putih tulang itu mendukung ku untuk semakin terlarut dalam lamun ku. Seperti luas sekali, membebaskanku.

Saat berada didekatnya, aku selalu merasa dilindungi, juga disakiti. Ia yang selalu menyuruhku untuk tidak menangis, sementara ia yang membuat ku menangis. Lucu sekali.

Ku raih tangan besar dan kasar itu setelah bokong ku mendarat disalah satu kursi yang ada disana. Ku usap perlahan. Dengan penuh kasih sayang.

Entah apa yang meniupku, tapi aku senandungkan lagu kesukaan kami dulu. Bernostalgia sekilas diantara duka memang sakit adanya.

Tak kuasa lagi ku menahan air mata rindu itu.

“Terusin, fie.. Gue kangen..”

Suara berat dan serak yang berhasil mengambil seluruh atensi ku. Dengan wajah yang setengah menangis, aku menatap bola mata menyeramkannya. Yang menatap ku sendu.

“Kamu udah bangun.” Ucapku sambil mengusap air mata yang tersisa serta menarik tanganku yang menggenggam tangan nya.

“Maaf, gak bermaksud untuk sentuh-sentuh kamu. Tadi tiba-tiba keinget dulu kita pas—”

“Aku udah jadi monster dimata kamu ya, Fie?”

Aku menatap matanya, pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kata-kata yang tak mungkin keluar dari mulut seorang Reza. Jantung ku sampai lupa cara berdetak untuk beberapa detik.

Tangannya berusaha meraih tanganku. Namun entah kenapa secara reflek aku menghindar dan menyembunyikan didalam jaket ku.

“Aku bener-bener minta maaf, aku gak bakal ulangin lagi, aku minta maaf.”

“Nyanyiin lagi ya, Sayang? Untuk kita, semua kenangan kita.”

“K-kamu, kenapa?”

“Aku mimpi kamu pergi. Jangan pergi dari aku ya, fie. Jangan jauh. Aku gak tau mau nangis dipundak siapa lagi kalau bukan dipundak kamu. Aku gak tau mau pulang ke siapa,

Kalau bukan kamu.”

“Itu yang selalu kamu ucapin setiap kaya gini.”

“Aku tau, Aku minta maaf karena cuma itu yang bisa gue ucapin,

Dan untuk semua yang udah aku lakuin, aku juga minta maaf.”

“Itu juga yang selalu kamu ucapin.”

“Maaf.”

Mah, Afie harus ikut siapa?