Bianca
Suara gaduh setiap pagi, yang selalu Bianca harap tidak akan pernah pergi. Sekedar pertanyaan dimana letak kaus kaki si bungsu, atau dimana letak kunci motor si sulung. Dan ocehan tidak penting dari sang anak tengah.
Ibu dari tiga anak itu hanya bisa memasak seraya menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Walaupun sibuk bekerja, wanita cantik itu selalu menyempatkan memasak di rumah supaya anak-anaknya sarapan di rumah.
“Masak apa, cantikku, manisku, sayangku?” Tegur laki-laki berusia delapan belas tahun, seraya mendongakkan kepalanya supaya dapat melihat isi wajan ditangan bunda tercinta.
“Mau bawa bekal, kamu?” Ucap Bianca sambil berjalan kearah rak berisi kotak-kotak untuk bekal makanan.
Laki-laki bernama Jeanno itu berpikir sebentar lalu berkata, “Dikit aja boleh deh, Bun. Istirahatnya cuma sedikit.”
“Kenapa?”
“Emang gak ada yang perlu dipelajari lagi. Tinggal ngasih tau ulang tentang ujian praktek minggu depan aja.”
“Julio! Marco! Bawa bekal, jangan berangkat dulu!” Teriak Bianca.
“Bun, aku nggak bawa dulu deh! Udah telat!” Sahut si bungsu dengan kaki terus menuruni anak tangga. Perempuan yang ia panggil bunda menatapnya heran dengan mata yang mengikuti pergerakan Julio.
Marco yang sedang santai di atas meja makan akhirnya menjawab pertanyaan di kepala sang ibunda, “Mau jemput ceweknya, Bun.” Akhirnya Bianca mengangguk paham.
“Pulang sekolah bawa ke rumah, Julio!” Ucap Bianca dengan tegas.
Bianca adalah orang tua yang santai ketika mengetahui anaknya mengencani perempuan, mungkin memang sudah saatnya. Bianca yakin ia sudah membekali mereka ilmu yang cukup untuk menjaga wanita.
“Hayolo, Julio…”
“Gak bisa, Bun! Aku ada rapat OSIS hari ini.”
Jeanno dan Marco terkekeh geli mendengar elakan dari sang bungsu. Mungkin karena tahu ini adalah pacar pertama Julio, jadi ketika salah tingkah terlihat begitu lucu.
“Jangan berangkat dulu, Julio! Ini bekalnya udah siap.” Teriak Bianca sekali lagi. “Tolong anterin ke adik kamu.” Bianca memberikan kotak makan Julio pada Jeanno.
“Bun, makasih ya! Love you! Bunda jawab dong, Bunda!” Teriak Julio dengan pengaman kepala menutupi seluruh wajahnya. Tangannya melambai-lambai di udara meminta atensi perempuan yang ia sebutkan.
“Iya, Julio. Love you more.”
Bianca duduk di meja makan mengikuti Jeanno dan Marco yang sedang sibuk menyantap hidangan yang disajikan.
“Hari ini pulang telat lagi, Bun?”
“Bunda usahain nggak. Kemarin tuh gara-gara ada chef yang telat banget sampe harus Bunda yang gantiin.” Ungkapnya. “Problematic” Final Bianca.
Jeanno yang penasaran akhirnya melontarkan pertanyaan, “Yang Maya itu bukan sih?”
“Ya. How did you know her?” Tentu saja Bianca bertanya, ia sama sekali tidak pernah memperkenalkan perempuan bernama Maya itu pada anak-anak.
“Nggak kenal. Waktu itu pas aku sama Julio nyamperin ke resto, gak sengaja liat yang namanya Maya lagi di marah-marahin sama atasannya. She looks innocent.“
“I guess so? Bunda lebih dulu tau liciknya dia. But that's nothing wrong kalo kamu ngira Maya itu innocent, ucapan kamu itu pujian buat dia.”
“Apa ya kalo bahasa Indonesia nya.” Marco menyahut. “Menye-menye ya, Jen? Atau apa?”
“Iya, itu.”
“Tapi kalo kalian ketemu sama dia, harus tetep jaga sopan-santun. Jangan nunjukin kalau kalian gak suka atau gimana, kalian belum pernah ngeliat secara langsung.”