Bima, anaknya.

Sang kepala keluarga dari keluarga kecil yang diciptakannya. Kehangatan dan kegembiraan menyambut kegelapan yang menyelimutinya sejak berada di kantor sepanjang hari. Namun sambutan hangat dan ramah itu diacuhkan oleh pria berumur tiga puluh dua tahun itu. Langkah kakinya terus melaju tanpa memperdulikan anak dan istri nya yang berdiri menerima kedatangannya.

“Mas,” Tegur sang wanita lebih dulu seraya melangkahkan kakinya dan mendekati laki-laki itu. “Ada apa?” paparnya begitu khawatir karena raut wajah suaminya tidak semenyenangkan biasanya.

Lirikan matanya menggeser, menatap perempuan berambut coklat yang diikat rapi keatas. “Capek.” Jawabnya singkat dengan tangan yang bergerak membuka sepatu hitam mengkilap yang membungkus rapi kaki besarnya. Seusai membukanya ia menoleh kearah anaknya yang sedang menunggu ayah tercintanya menganggap keberadaannya.

Lelaki berstatus menikah itu menghampiri sang anak dan mengecup pucuk kepala anaknya singkat lalu melanjutkan langkahnya tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia berjalan masuk ke kamar tempat nya beristirahat. Sang wanita karena merasa tidak enak pada anaknya sendiri akhirnya berkata,

“Bima masuk kamar dulu, ya? Susu nya udah Abun taruh diatas meja, jangan lupa diminum ya, ganteng? Good night, Darling.” Kemudian ia turut mengecup pucuk kepala anaknya dan berjalan mengikuti langkah sang suami.

“Kamu tuh apa-apaan sih?” Sontak pria bernama Regan yang sedang melepas pakaiannya itu menoleh kebelakang agar dapat melihat sumber suara. “Kamu kalau mau jutek kaya gitu ke aku aja, jangan ke Bima, Bima gak akan ngerti kamu lagi capek atau ngga.” Lanjutnya dengan emosi yang menggebu-gebu.

Sambil merotasikan bola matanya, ia melanjutkan kegiatan membuka baju nya untuk mandi membersihkan diri. “Bisa diem gak? Gue lagi capek gak mau diganggu, gak bawel aja gue udah seneng.” Tangannya menyampirkan handuk putih ke pundak lebar polosnya.

“Gak bisa!”

“Gue lagi gak mau berantem, So can you just shut up?” Ketusnya lagi.

“Kamu kalau mau marah ya marah sama aku aja, jangan sama Bima, ngerti gak? Aku bisa ngertiin kamu, Bima cuma tau kalo kamu ayahnya.”

Tatapan Regan semakin menajam serta alis tebalnya semakin menungging tinggi karena marah dan emosi. “Terus sekarang gue harus apa?” Kini tatapan tajam mereka bertemu, didalam hati sama sama saling menggerutu tanpa ada sepatah kata atau suara yang membaur.

“Minta maaf.”

Sorry?” Ucapnya meminta pengulangan.

“Ke Bima, minta maaf, minta maaf ke Bima.” Jari telunjuknya mengacung tegak menunjuk ruangan kamar anak mereka.

Regan merapatkan alis yang sedari tadi ia angkat, perasaaan marah dan tak suka digantikan dengan wajah kebingungan berpikir. Kemudian ia menggeleng keheranan karena ucapan kekasihnya barusan. “Lo aneh.” Baru ia kembali melangkahkan kakinya dan suara khas perempuan kembali menghentikannya, tepat di depan pintunya.

“Kamu tuh kenapa sih?”

Mengambil napas dalam-dalam adalah pilihan paling tepat. Berbicara dengan kepala dingin adalah bagaimana orang dewasa menyelesaikan masalahnya.

“Aku capek, that’s it. Kalo kamu gak bisa ngertiin mending kita jauhan dulu daripada aku ngomong yang nyakitin hati dan yang terjadi adalah lo ngadu ke Bunda.”

“Kok kamu jadi bawa orang lain sih? Disini aku lagi ngomong sama kamu, lagipula emangnya aku pernah ngadu ke Bunda?” Bantah Debora dengan nada yang tidak santai dan merasa tidak terima.

“Oke sekarang gini. Gue tanya balik pertanyaan lo, lo yang kenapa? Gue baru pulang tapi malah diajak berantem gini? Bukan lo banget.” Lalu meninggalkan Debora sendiri dengan perasaan kesal dan marah.

Sebenarnya ia juga bingung apa yang salah dengannya, namun ia baru teringat tentang orang yang mengirimkan pesan aneh serta foto suami tercintanya dengan pakaian dikenakan dan ia lihat beberapa menit lalu yang mengartikan bahwa foto itu belum lama diambil. Ditambah dengan perutnya yang tiba-tiba terasa diperas begitu kuat hingga ingin menjerit rasanya. Belum sang anak yang rewel meminta pulang karena merasa bosan di rumah neneknya.

Memasuki umur segini, Bima, anaknya, itu sangat amat membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dimulai dari bagaimana ia meniru apapun yang ia lihat, menangisi semua hal yang tidak perlu ia tangisi, meminta apapun yang belum tentu ia begitu memerlukannya. Menjaganya sendirian membutuhkan kekuatan super.

Bercerita dengan adik iparnya membuatnya merasa lebih baik meski tidak banyak membantu, hanya sekedar menjadi teman cerita karena kehidupannya adalah miliknya, tentu saja. Adik iparnya tidak bisa melakukan apa-apa selain membantu menyuapi beberapa suap nasi untuk keponakan tercintanya.

Terlalu sibuk menyalahkan dirinya, Debora sampai tidak menyadari kalau Regan sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Tidak sedikit pun ia melirik sang istri yang masih berdiri didepan pintu dengan rambutnya yang sedikit berantakan karena kekacauan yang ia ciptakan.

Seraya mendaratkan di bibir ranjang, Debora membuka suaranya mencoba menceritakan apa yang ia rasakan. “Tadi ada yang DM aku di Instagram, dia bilang kalau aku—”

“Apa lagi? Kan udah gue bilang hapus sosmed lo, lo gak mau dengerin gue sih.”

“Bukan itu maksud aku..” Matanya mengikuti pergerakan Regan yang sedang memakai kaus kebesarannya dan mulai membenarkan posisinya untuk tertidur. Mengabaikan Debora yang hanya ingin mencurahkan hatinya.

“Udah lah.. Tidur sana, lo kecapean.” Ia tertidur dengan posisi membelakangi tempat biasa Debora tertidur, di sebelahnya.

“Semoga selalu inget Bima ya, Mas. Bima masih kecil.”