Dahi atau pipi?
Pintu kaca nan buram itu dibuka tanpa permisi atas panduan dari sekertaris yang ada didepan pintu tersebut. Harum menghangatkan langsung menyambut indra penciuman. Netra mata hitam pekat mereka bertemu dengan berbagai makna, sang lelaki menatap tidak suka sementara sang wanita menatapnya kesenangan.
“Ngapain?”
Wanitanya mengangkat kotak yang ia bawa, hanya satu. Karna dua lainnya sudah ia berikan pada Ayahnya dan Mertuanya tadi sebelum kakinya masuk kedalam ruangan dingin yang ia pijak sekarang.
“Knock the door, please? This is my room.“
“Sorry, shoud I go?“
Pria bermarga Gazham melepas kacamata yang membantu pengelihatannya. Merapihkan jas yang ia kenakan sambil menatap perempuan didepannya yang bergerak membuka kotak yang dia bawa tadi.
“Baju lo jelek.”
“Makasih, ini baju nya aku bikin sendiri.”
Diam-diam Regan menyembunyikan senyuman malu nya. Jujur saja, bajunya bagus, sangat bagus. Hanya rasa gengsi menguasai hatinya. Warna merah muda selalu menjadi ciri khas perempuan bernama Debora ini.
Ingin rasanya berucap, “Baju nya sangat cantik.” namun bibir enggan mengucapkan kata itu.
“Make up lo jelek.”
“Ini kue nya aku ambil lagi aja ya? Istrinya dateng bukannya disambut malah diledekin, puji dikit dong! Ini aku make up lama lho biar gak malu masuk kesini. Biasanya ke ruangan papah mana pernah aku dandan gini. Tapi kamu malah jelek-jelekin aku.”
“Jangan nangis.”
“Berisik kamu ah!”
“Mana sini kue nya.”
“Kalo dijelekin juga aku pulang aja.”
Regan tidak menjawab karena mulutnya sudah penuh dengan kue. Dengan wajah datar tanpa memberikan eksperesi apapun bahkan sampai Debora tidak bisa menebak satu clue pun dari mimik wajahnya.
“Tadinya aku pengen kasih syarat kalo mau makan harus di kiss dulu. Tapi aku udah badmood jadi yaudah.”
“Sekarang juga boleh. Mau didahi atau dipipi? Atau di... bibir mungkin?”
“Udah diem abisin aja itu kue nya.”
“Pipi lo merah.”
“Ini blush on.”
“Blush on sampe kuping?”