Deja vu.
Setelah beberapa saat sibuk bergelut dengan pikirannya, pria penerima bunga itu akhirnya turun dari ruangannya menuju lantai letak terjadinya keributan yang disebabkan seseorang yang ia kenal, dalam kata lain ia yang bertanggung jawab atas masalah ini. Beberapa keluhan yang dikeluhkan pada sekretarisnya kemudian disampaikan membuat Regan merasa tidak enak pada karyawan akibat kerusuhan yang meledak di pintu utama. Tak lupakan ayah kandung dan mertuanya yang ikut merasa terganggu.
Sepasang kaki jenjang menuntunnya menuruni gedung besar milik keluarga Gazham itu. Tatapan marah dan tak suka menemani setiap langkah besar putra sulung dari pemilik perusahaan ini. Kaki nya secara reflek bergerak lebih cepat ketika mendapat telepon dari sekretarisnya dengan maksud melaporkan keadaan disana.
Ketika mendengar suara dentingan elevator berbunyi, langsung ia melangkah keluar dan melihat apa yang terjadi disana.
Dapat ia tangkap dari kedua bola matanya, seorang wanita yang memberontak dari beberapa penjaga yang ditugaskan untuk menjaga pintu utama. Tampilannya sudah tidak beraturan lagi, sorai kecoklatan yang terikat rapi kini terurai berantakan dan beberapa helainya mencuat keluar karena gerakan kasar yang dibuat olehnya. Baju merah yang membantunya menutupi bagian tubuh sudah tidak jelas lagi bentuknya. Sepatu tinggi cantiknya sudah terlempar entah kemana, menyebabkan kaki putih cantiknya telanjang menyentuh tanah.
Gerakannya secara tiba-tiba terhenti ketika melihat lelaki yang dicarinya berada di depan matanya. Dengan cepat ia menepis kasar tangan-tangan yang menahan tubuhnya dan langsung maju beberapa langkah demi mendekati lelaki berkepala tiga yang letaknya tak jauh dari sana.
Seraya menata kembali sorainya, ia berucap, “What did your fucking people do to me.” Tatapan sinis ia tebarkan kepada orang-orang yang menatapnya aneh secara kompak.
Tanpa mengucap banyak kata lagi, pria bernama Regan melangkahkan kakinya menjauh dari gedung perusahaannya dan meninggalkan wanita yang ia anggap gila itu.
Disinilah, dimana mereka terduduk berhadapan saling bertukar pandang, dimana semesta memberikan obat pada luka yang mereka buat dahulu kala, atau mungkin justru memberikan garam diatas luka itu.
Keheningan menemani dua insan yang masih enggan membuka percakapan, merasa nyaman dengan dengungan serta dentingan yang disebabkan oleh pengunjung restoran yang datang demi mengisi perut mereka yang keroncongan. Tatapan dari sang wanita yang menjelaskan jutaan makna disana, serta tatapan sang lelaki yang merasa risih rasa ingin mengakhiri sampai disini namun ia tahan demi maksud orang didepannya kemari.
Sampai sang lelaki lebih dulu memutus tatapan itu dengan menundukkan kepalanya dan berkata, “Ngomong, Rel.” Senyuman wanita bergincu merah itu merekah seketika ketika mendengar lawan bicaranya menyelipkan namanya pada kalimat perintah yang ia lontarkan dengan nada ketus beberapa saat lalu.
“Gue gak akan ngomong macem-macem kok, Re, gue juga sadar gue cuma masa lal—”
“Iya, udah, apa yang gak macem-macem itu? Cepet, gue gak punya banyak waktu.”
Sempat diam sesaat, kemudian ia menghela napas panjang dan berucap singkat, “Gue masih sayang sama lo, Re.”
Terkejut? Tentu saja.
Ia melanjutkan tuturannya, “Bertahun-tahun, berkali-kali gue cari pengganti lo, nyatanya cuma lo yang cocok di sisi gue.” Dengan nada lembut yang diharapkan Regan akan merasa kasihan dengannya dan akan kembali. Tatapan mata berharap tak pernah lepas matanya. Sungguh, Regan benci tatapan itu.
“Terserah lo mau bilang gue gak tau diri atau gimana, tapi…
... gue mau minta kesempatan kedua, Re.”
Pandangan sang lawan bicara kembali padanya, tatapan terkejut tentu saja. Bagaimana bisa? Jika dihitung, terakhir mereka bertemu dan mengobrol adalah sepuluh tahun yang lalu atau bahkan lebih dan berpisah secara tidak baik.
Dulu, saat mereka berdua duduk dan berstatus sebagai mahasiswa, mereka sempat menjalin hubungan yang terbilang tidak sehat untuk keduanya. Saling mengekang satu sama lain, tidak adanya komunikasi yang jelas, dan banyak lainnya yang mereka lalui dalam hubungan itu. Regan sebagai seorang lelaki yang ingin berniat serius akhirnya pun jatuh cinta dan dibutakan oleh perasaan sendiri. Dahulu, jika Aurel berkata harus datang lima menit lagi, Regan tidak peduli apa yang akan terjadi, ia benar-benar datang lima menit. Jika ia terlambat atau melakukan kesalahan ia juga tidak ragu untuk meminta maaf sampai berlutut di hadapan semua orang.
Namun, Aurel, tidak melakukan hal yang sama, bahkan mengakui Regan sebagai kekasihnya di depan teman-temannya saja tidak pernah. Pada saat itu, Regan tidak pernah masalah dengan hal itu dan menganggapnya hal yang sama. Pada suatu saat ia sadari ada hal yang salah pada dirinya, adik perempuannya yang menjauh darinya entah kenapa, sahabat-sahabatnya yang hilang entah dimana. Namun ia tak terlalu memikirkannya.
Sampai yang membuatnya murka adalah mendapati kekasihnya sedang bercumbu di salah satu diskotik yang Regan datangi pada saat itu dengan maksud menjemputnya disana, justru malah hubungan yang kandas yang ia dapat. Bahkan ia melihat kekasihnya yang ia jaga mati-matian, bercumbu, dengan pakaian yang sudah tak lagi lengkap. Dan mulai saat itu lah Regan takut menjalin cinta kembali sampai ia dijodohkan dengan istrinya sekarang, itu juga alasan mengapa ia selalu marah ketika istrinya, Debora, pergi dengan lelaki lain.
Lamunannya terpecahkan dengan sentuhan lembut di tangannya, “Tolong, Re, gue hopeless.” Ucapnya dengan nada lembut.
Regan menarik tangannya dan berkata, “Minta tolong sama cowok lo sana.”
“Dia ninggalin gue, Re, dia kuliah di Aussie. Gue kesepian disini. Dan gue sadar kalo yang selalu ada itu cuma lo, Re.”
Perhatian Regan memilih untuk memperhatikan seorang gadis yang mengajak jalan-jalan peliharaannya dan mengabaikan tuturan Aurel yang semakin membuat hatinya tersayat sebab menguak luka lama.
“Gue janji bakal setia, Re.”
“Bawa pulang tuh omong kosong lo, gue masih punya otak untuk gak jatuh di lubang yang sama, apalagi cewek sampah kaya lo.”