Direktur

Bukan pertama kalinya Bianca melakukan tindakan berani seperti yang ia lakukan pada teman nya bernama Maya itu. Rekan kerja dan koki lainnya menyebut Maya sebagai 'Koki Dadakan' karena entah datang dari mana tiba-tiba datang sebagai asisten kepala koki.

Kemudian tak heran lagi ketika tau bahwa, Maya adalah anak kandung dari pemilik restoran tempat mereka bekerja. Pekerjaannya tidak selamanya bagus, ia hanya kenal memerintah. Suatu hal yang wajar orang-orang yang ingin berada di posisinya dengan usaha yang ada tak suka padanya.

Dengan kemeja berwarna putih tulang, dan celana rapi berwarna coklat susu, Bianca menyusuri lorong menuju ruangan yang telah Maya sebutkan. Ruang Direktur.

Beberapa orang yang mengenal Bianca tak segan untuk menegur dan menunduk menyapanya. Bianca dikenal tak memiliki ekspresi namun ucapan dan perlakuannya begitu hangat.

Sampailah ia di depan ruangan yang megah, ruangan yang disegani banyak orang. Pintu kaca itu Bianca ketuk sebanyak tiga kali seusai ia menghembuskan napasnya gusar guna mengatur degup jantungnya yang tidak beraturan.

Saat ia mendengar suara mengizinkan ia masuk, baru Bianca membuka pintu itu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Senyuman hangat dan hormat menyambut kedatangannya. Dapat ia tangkap dengan kedua bola matanya, ada Maya yang enggan menatapnya. Dagu pemudi itu terangkat setinggi-tingginya.

“Ada apa, Bianca? Jarang sekali kamu kesini.” Benar adanya, Bianca jarang sekali datang ke ruang direktur kecuali ada masalah di dapur.

Direktur itu berbicara dengan gestur tangan yang mengizinkannya untuk menduduki salah satu kursi yang ada di depan mejanya. Kemudian Bianca mengikuti isyaratnya itu.

Ia menoleh ke belakang menatap Maya, “Yang kemarin kita telah bicarakan, Pak. Mengenai saya memberikan Nona Maya surat peringatan karena keterlambatannya yang terus menerus.”

Pria tua di depannya mengangguk semangat, “Iya, betul. Ada apa?” Dibalik sana, wajah Maya berubah seketika.

“Nona Maya barangkali mau menjelaskan apa yang terjadi?” Bianca memberikan tawaran karena dapat ia dengar samar-samar menyumpah-serapahinya dibelakang.

Maya memutar bola matanya malas dan bangun dari duduknya yang begitu terlihat nyaman, “YAH?! Aku ini anak Ayah! Kok Ayah malah izinin dia kasih aku surat peringatan sih?”

Sang Ayah menghela napas lelah, “Di rumah kamu anak Ayah, Maya. Di sini, kamu tetap karyawan Ayah.” Tukasnya tegas.

Bianca yang melihat perselisihan antara anak dan ayah itu hanya menatap bergantian setiap mereka beradu mulut.

Maya adalah anak tunggal kaya raya sesungguhnya. Hidupnya tak pernah lepas dari kekayaan yang melimpah, tanpa ia bekerja pun hidupnya sudah terjamin. Namun ketika usianya telah menginjak dua puluh lima tahun, orang tuanya tetap memaksa untuk ia bekerja. Kemudian di tempatkanlah Maya di posisinya sekarang.

“Kok Ayah malah belain dia sih?!” Teriak Maya menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Telinga Bianca sempat berdengung karena mulut pemudi itu tepat berada disebelahnya.

“Mau gimanapun Bianca ini tetap atasan kamu, Maya. Kamu tetap harus punya hormat.” Bohong kalau Bianca bilang ia tak merasa menang. Dadanya terasa meluas seketika, ingin sekali ia mengangkat dagu seperti yang tadi Maya lakukan, namun ia menahannya.

“Emang harusnya aku gak setuju buat kerja disini, kalau aku sama aja kaya karyawan rendahan!”

“Jaga ucapan kamu!”

Perdebatan itu usai sebab Maya keluar dengan amarah, dapat dikatakan karena ia membanting pintunya begitu keras. Untung saja pintu mahal itu tidak pecah.

Jujur, Bianca merasa deja vu melihatnya. Ia serasa melihat anak-anaknya sepuluh tahun lalu yang marah ketika tak ia belikan mainan.

“Saya minta maaf atas sikap tidak sopan anak saya, Bianca. Kamu pasti merasa tersinggung.”

Bianca dengan tenang menjawab, “Tidak masalah, Pak. Bukan masalah besar untuk saya.” Begitu tuturnya.

Direktur tersenyum, “Kamu memang bisa diandalkan.”