Effort

Suasana hati Naomi seketika berubah ketika mendapati perkataan-perkataan kurang enak dari pacarnya. Ia langsung memasukkan handphonenya kedalam tas dan mencari kunci motor untuk bergegas menghampiri rumah pacarnya.

Jangan heran, datang ke rumah pacarnya adalah hal yang lumrah Naomi lakukan saat pacarnya mulai merajuk.

Melihat pergerakan Naomi yang terlihat buru-buru, sorot mata Nathan mengikuti setiap pergerakan temannya itu.

“Mau kemana sih?!” Ucapnya setengah berteriak dan dengan nada yang sedikit kurang mengenakkan, suara gaduh dari Marching Band membuat Nathan harus meninggikan suaranya.

Naomi menoleh dan mendekatkan mulutnya ke telinga Nathan supaya meminimalisir teriakan, “Ke Kak Davin. Gue berantem lagi.” Mendengar itu reaksi Nathan hanya memundurkan wajahnya kemudian memutar bola matanya setelah memastikan Naomi akan melihatnya.

Sementara Naomi yang sudah paham akan reaksi Nathan hanya bersikap acuh dan kembali membereskan sampah-sampah bekas jajanannya. Nathan adalah salah satu orang yang tidak menyukai Davin sejak beberapa bulan ini, meskipun Davin adalah teman baiknya.

“Lo goblok.” Cibir Nathan, “Ayo gue anter. Anak cewek nggak boleh nyamperin cowok sendirian.” Ucapan tersebut membuat pergerakkan Naomi berhenti sejenak, kemudian menggeleng dan menunjukkan kunci motor yang sudah ia temukan didalam tas.

Tanpa aba-aba langsung Nathan meraih pergelangan tangan yang memegang kunci itu, dan berjalan tergesa-gesa menuju gerbang keluar. Dengan rasa kebingungan, Naomi mengikuti derap langkah besar itu kemanapun ia pergi. Sampai didepan gerbang, langkah Nathan terhenti karena merasakan getaran notifikasi pesan sebanyak tiga kali pada saku celananya. Tangan kiri membuka handphonenya tanpa melepas cengkraman pergelangan tangan kanannya.

Wajah Nathan berubah serius, baru ia melepas cengkraman tangan Naomi saat ingin membalas pesan tersebut. Jarinya berkutik begitu cepat disana, timbul rasa penasaran namun Naomi enggan bertanya.

Seraya menunggu, Naomi hanya diam dan mengusap-usap lengannya berlagak kedinginan. Tubuhnya terasa kurang enak badan sebab belakangan hari ini cukup melelahkan. Mungkin didukung karena mendekati tanggal kedatangan tamu.

Lima menit kemudian Nathan memperlihatkan isi pesan teks yang ada disana.

Kak Davin.

Naomi hanya membaca pesan teks yang paling atas. Yang dapat ia simpulkan itu pesan yang ia kirim sehingga Nathan menghentikan langkahnya tadi.

Gue capek banget, than

Gue ngelakuin semua hal buat dia tapi balesan dia kaya gini

Semua udah gue lakuin buat dia, bayarin makan, anter jemput, bahkan gue sampe hampir ketabrak setiap kali gue jemput dia than. gue capek ngerasain feedback yang gak setimpal.

Kali ini Naomi hanya bisa menghela napas berat. Dadanya semakin terasa penuh. Ia alihkan pandangan sebelum akhirnya ia menunduk. Tak pernah terbesit oleh Naomi untuk bercerita masalah percintaannya dengan siapapun. Bahkan sahabatnya sendiri.

Nathan dan Davin terbilang cukup akrab, sering kali Nathan menjadi tempat curhat setiap kali Davin bertengkar dengan Naomi. Ekstrakurikuler English Club yang mempertemukan mereka, entah Nathan harus bersyukur atau menyesali keputusannya kala itu.

“Kalo gue capek wajar gak sih, Than?” Tuturnya dengan suara parau. Sementara sahabatnya hanya diam, menunggu ucapan Naomi selesai.

Menyadari Nathan yang diam saja, dalam sekejap Naomi mengangkat pandangannya dan mengedipkan mata berkali-kali dengan upaya menghilangkan air mata yang hampir jatuh.

“Terus itu lo bales apa?” Ucap Naomi mengalihkan pembicaraan. Sekaligus penasaran.

“Gue jawab biasanya gue ke dia aja. Pura-pura ngedengerin.”

Naomi menghampiri kursi yang ada didekat sana, lalu disusul Nathan yang duduk disebelahnya, tatapannya melembut tak sekeras biasanya. Ia pandangi sahabatnya itu, dapat netranya tangkap betapa lesu dan putus asa Naomi saat ini.

“Lo pernah bilang kalo lo persis kaya Kak Davin kan, Than? Coba deh jelasin ke gue, gue tuh harus apa? Kok gue kaya gak pernah cukup ya buat dia?” Tanya Naomi panjang lebar setelah terdiam sepersekian menit.

Dengan nada ketus Nathan menjawab, “Ternyata beda sih ya, gue gak bakal jadiin cewek gue pelampiasan waktu gue lagi berantem sama orang tua gue.”

“Payah. Ngungkit-ngungkit effort padahal gak seberapa.” Ketus Nathan dengan suara kecil, namun samar-samar Naomi dapat mendengar suaranya.

Selanjutnya Naomi hanya diam memandang temannya yang sedang latihan. Tubuhnya yang kecil harus menggendong alat yang terlihat sangat berat. Bahkan Naomi yang perempuanpun mengakui kalau Renatta terlihat imut meskipun hanya diam saja.

“Udah kan? Gue balik ya. Lo nganterin Renatta kan nanti?”

Alasan. Ia hanya ingin menangis tanpa terdengar dan terlihat.

“Ah apaan sih, Nao. Tungguin kenapa sih? Ini juga sebentar lagi selesai.” Ucap Nathan memelas.

Naomi menatap Nathan jijik, “Stop sok imut gitu ya, anjing. Geli banget gue ngeliatnya.” Kemudian melangkahkan kakinya pergi.

Dengan dramatis Nathan menahan tangan Naomi dan memasang tatapan sok imutnya lagi.

Please lah, kan lo udah janji sama gue.”

Naomi berdecak kesal namun tetap kembali duduk disebelah Nathan. Sebenarnya ia juga terlalu malas untuk pulang ke rumah, juga sudah terlalu lelah di sekolah. Akhirnya ia beristirahat seraya menemani Nathan disana.


“Apasih yang lo sayang dari Davin?”

Naomi yang sedang mengunyah somay terdiam sejenak, lalu menatap tanah yang ada di sisi kiri matanya. Berusaha mengingat untuk menjawab pertanyaan Nathan barusan.

“Nggak tau.”

“Yaudah putusin.”

“Dia gak mau ngelepas gue.”