Gila

Aku Reza, manusia yang selalu menyalahkan keadaan disetiap kejanggalan cerita yang ku buat sendiri. Menyalahkan Tuhan karena kepergian papah, mamah dan Rio untuk kembali kepangkuan-Nya meninggalkanku dengan luka itu, sendirian.

Sejak 5 tahun lalu aku harus bertahan hidup dengan penyakit mental yang aku punya. Bipolar serta DID. Awal mengetahuinya aku sangat malu, sangat. Aku harus mengonsumsi beberapa pil obat, jika tidak aku bisa menjadi tidak terkontrol dan kembali menjadi gila.

Aku suka sesuatu yang berbau kekerasan, mataku terasa puas kalau melihat ringisan kesakitan dengan darah yang keluar entah dari mana. Rasanya seperti terpenuhi.

Selalu rutin tenggorokanku dilalui obat-obatan yang tak sedikit jumlahnya. Yang jika aku lebihkan satu pil saja, bisa berakhir hidupku detik itu juga.

Lama kelamaan, aku merasa lelah dan malu karena obat tersebut. Secara nekat, aku memaksa untuk berhenti dan tidak lagi datang ke psikiater yang mengurusku. Aku harus menahan pening kepala yang luar biasa menyerang secara tiba-tiba.

Tidak ada yang pernah tau tentang masalah kejiwaanku ini, bahkan Alfie saja tidak tau. Tak boleh tau.

Wajah yang selalu cantik dimata ku, Alfie. Orang yang berhasil menarik diri ini keluar dari lubang terdalam dalam hidup ku.

Datang nya orang itu kedalam hidupku, semakin memacu diriku untuk berubah menjadi sempurna. Karena ku yakin, Alfie tidak suka orang yang sakit seperti ku.


Author's pov.

Bisingnya malam dengan segelas wine adalah cara terbaik untuk pria jangkung ini menenangkan dirinya. Jauh dari orang-orang sekitarnya, dan terhanyut dengan pikirannya.

Belum ada terhitung setengah hari dirinya pulang dari rumah sakit, langsung dihajar dengan ajakan untuk berpesta karena dalam rangka selebrasi teman. Pacar temannya kini tengah mengandung.

Suatu hal yang biasa didunia mereka, bahkan Alfie dan Reza pun tak jarang melakukkannya.

Bokongnya yang sudah berdiam dikursi bar selama kurang lebih 30 menit kini mulai terasa keram, akhirnya Reza memilih untuk mencari udara segar diluar. Barangkali lebih bisa membuat dirinya terlarut dalam diamnya

Musik yang sangat keras. Namun yang Reza tangkap hanya sebuah dengungan yang menganggu telinga, banyak suara teriakan serta obrolan tak penting lainnya. Yang bisa Reza tangkap hanya ocehan tak bernada.

Langkahnya terasa begitu berat, dunia terasa berputar dikepala. Apakah hanya dirinya yang merasakan ini semua?

Segelas minuman keras membakar tenggorokan itu masih ia genggam begitu eratnya. Ia ingin membawa gelas itu dan meminumnya diluar nanti.

Sampailah Reza didepan.

Pohon dengan beberapa lampu disana, ia yakin bahwa itu adalah pintu belakang dari club ini. Ada banyak orang, namun banyaknya dapat dihitung dengan hanya sepuluh jari

Dengan diri yang masih mabuk, mata tajam Reza menangkap sesosok pria yang berjalan panik melewati club itu. Kaos kuning juga celana selutut semakin memperkuat insting Reza bahwa ia adalah

Alfie.

“Alfie?” Gumam Reza ragu.

Sang pemilik namapun terlihat panik dan ingin segera lari dari sana. Kecepatan kakinya kalah dengan kegesitan tangan Reza.

Mata yang sayu dan mata yang berbinar panik itupun saling tatap untuk beberapa detik lamanya. Saling bertukar kagum dimasing-masing mata. Atau mungkin hanya Reza saja yang menatap begitu.

Karena menurut Alfie, ia sedang menatap monster yang bisa saja membunuh nya saat ini juga.

“Lepasin, Ja.” Lirihnya dengan suara bergetar ketakutan.

Tatapan kantuk itu tak berpaling sedikitpun dari pria didepannya.

Waktu menunjukkan tengah malam. Cengkramannya bak pangeran yang takut kehilangan Cinderella nya. Tak ingin mengharapkan akan ada sepatu kaca yang tertinggal.

“Jangan tinggalin aku.”

Tidak, Ia tak boleh tumbang hanya dengan 3 patah kata sampah itu. Kata yang selalu diucapkannya untuk meluluhkan hati pria manis yang selalu diklaim miliknya

“Kamu nyakitin aku, lepasin..”

Satu tetes air matanya jatuh tanpa perintah. Tangan kirinya masih berusaha melepas genggaman tangan Reza yang menyakiti dirinya. Bukan tangannya yang sakit, hatinya yang merasa dilukai secara tidak langsung.

“Kamu mabuk, lepasin aku.”

“Biasanya kamu yang bawa aku pulang, sekarang kamu mau kemana? Gausah pergi.”

“Kamu bau alkohol, jauh-jauh dari aku.” Perintah Alfie.

Tiba-tiba tangan yang mencengkram Alfie itu dilepas begitu saja. Tatapan tajam itu berubah menjadi nanar, ingin dikasihani.

“Ayo pulang, disini dingin. Biasanya kamu minta peluk, kok sekarang ngga? Urusan kamu penting banget ya?”

Ucapnya sambil merentangkan tangan kanannya, mempersilahkan sang kekasih untuk masuk kedalam dekapan hangat milik yang selalu menjadi kesukaannya.

Lawan bicara itu diam. Mengalihkan pandangannya sebelum akhirnya ia melanjutkan perkataannya, untuk pertama kalinya.

“Kita selesai sampai disini, Ja.”

Rasanya seperti disambar petir ratusan kali. Secara tiba-tiba? Tanpa memberi alasan?

“Aku bisa bahagia tanpa kamu. Aku bisa.”

“Ngga mungkin, lo gak akan pernah bahagia selain sama gue!” Bentaknya melantur

Kakinya otomatis maju menghampiri Alfie, ingin meraih pipi lembut itu. Namun Alfie dengan cepat menghindar.

“Siapa yang bikin lo jadi berani gini? Ada yang nyuci otak lo? Gak biasanya lo berani jawab omongan gue, tapi sekarang? Udah merasa luar biasa ya?”

“Aku lebih dari apa yang kamu bilang,

AKU, LEBIH, DARI, APA, YANG KAMU BILANG!” Teriaknya.

Senyuman seram terukir dibibir tipis milik Reza. Ia kembali menenggak wine cantik itu dan membuang gelasnya entah kemana.

Dua langkah lagi ia maju mendekati kekasih yang bicara barusan, ia tau bahwa Alfie tidak bisa menahan tangis jika berbicara dengannya apalagi dengan nada setinggi tadi.

Don't lie. Gausah nangis. GAUSAH NANGIS KALO LO LEBIH DARI YANG GUE BILANG—”

BUGH!

Makasih, kak. Udah gue bilang jangan nengok kebelakang.