Harus bisa
Setelah perdebatan panjang akhirnya pria berusia dua puluh tujuh tahun itu membiarkan wanitanya masuk dengan makanan di tangannya. Bubur ayam di tangan kanan dan semangkuk sup di tangan kiri, hanya menu andalan setiap orang ketika kurang enak badan.
Senyuman cerianya seolah obat yang hanya perlu dipandang. Rasa sakit yang ia rasakan, hilang dalam sekejap ketika cahaya mata perempuan itu masuk menusuk matanya. Juga perut nya yang sudah mulai membesar.
“Halo, ganteng?” Sapanya begitu duduk disamping ranjang.
Tatapan lesu serta bibir pucat membalas sapaan itu, “Hai, cantik.” Ucapnya manis.
Tangannya sibuk mempersiapkan obat-obatan yang akan diminum setelah suaminya makan makanan yang tadi ia buat secara dadakan. Rasanya dijamin lezat, karena sudah terbiasa, memasak juga salah satu hobi perempuan itu.
Sebelum mulai menyuapi, perempuan bernama Debora itu meletakan punggung tangannya di dahi suaminya yaitu Regan. Suhunya tidak terlalu tinggi juga tak terlalu rendah, menunjukkan tiga puluh enam koma sembilan derajat.
Benar-benar menunjukkan hanya sekedar kelelahan sebab bekerja.
Tak ada lagi bahasan, hanya memulai suapan.
Satu persatu ia masukkan perlahan setiap bulir bubur yang tadi dibuatnya. Didampingi sop yang menghangatkan perut serta tenggorokan. Mata yang tadinya terasa panas, kini mulai mereda.
“Apa yang dirasa?” Tanya Debora
Regan selesaikan makanan yang ada di mulutnya kemudian menjawab, “Cuma pusing.”
Sebenarnya banyak ia rasa, hanya tak mau membuat Debora banyak pikiran ditambah ia sedang mengandung. Kata dokter, Debora sama sekali tidak boleh stress karena apapun itu. Sebagai suami yang baik, tentu ia menerapkan saran dokter, apapun ia lakukan demi calon anak.
“Beneran? Jangan bohong.”
“Untuk apa bohong?”
Akhirnya Debora pun percaya dan menyiapkan obat untuk Regan minum, juga air untuk membantunya menelan 2 pil obat. Akan sangat sulit jika tanpa air.
Baru saja Debora mengangkat bokong nya, untuk menaruh mangkuk-mangkuk tadi ke cucian piring agar tak tertinggal saat ia mencucinya nanti. Namun genggaman erat berhasil membuatnya kembali terduduk di posisi semula.
Kedua tatapan itu bertemu, dipatahkan dengan pertanyaan Debora apakah semuanya baik-baik saja. Sang lelaki mengangguk dan menarik lengan yang kecil di tangannya untuk ia rengkuh.
“Tadi aku disuruh keluar?”
“Nggak jadi, disini aja temenin aku.”
Ketika leher jenjang istrinya sudah di dadanya, ia dekap begitu eratnya seolah lama tak berjumpa. Jika dalam hitungan jam, mereka hanya tidak bertemu selama kurang lebih 7 jam lamanya.
Setelah mencari posisi yang nyaman bagi keduanya, mereka hanya diam di dalam kegelapan. Hanya suara dengung hening yang menemani rengkuhan hangat dua insan tersebut.
Jam dinding menunjukan pukul sebelas malam. Yang biasanya, Regan baru memasuki pekarangan rumah.
Ketika sibuk menghirup aroma khas istrinya, teralihkan dengan pertanyaan yang berhasil membuat nya ikut terdiam untuk beberapa saat.
“Kita udah jadi orang tua, bisa gak ya kita kaya orang tua kita? Kita bisa gak ya jadi orang tua yang baik untuk anak kita?” Suara serak khas malam menemani pertanyaan itu.
Sambil mempererat pelukannya, sang suami menjawab, “Kita gak perlu kaya orang tua kita. Cukup jadi diri sendiri dan lakuin yang terbaik untuk keluarga kita nanti.” Kemudian ia kecup mesra pelipis perempuannya.
Kembali ia lontarkan, “Tapi kita bisa kan?”
“Bisa. Harus bisa. Kita sama sama ya? Cuma kita berdua yang harus bertahan sampai akhir masa.”
“Kamu bikin aku mau nangis.”