Ide.

“Jangan lupa.” Larang Regan sebelum Debora membuka pintu mobil dan keluar. Perempuan berusia dua puluh dua tahun itu melirik sebentar kemudian mengangguk, sudah percuma menjawab karena hanya itu pertanyaannya.

“Pergi dulu ya, dadah! Jangan lupa makan nasi yang diatas meja, kalo ada apa-apa nanti kasih tau aku aja. Sama jangan lupa mandi kamu tuh!”

“Lo jangan makan pedes. Jam 6:45 nanti gue jemput.”

Debora mengacungkan jempolnya dan bergegas keluar.

Sepatu tali itu melangkah bergantian untuk mencari tempat yang ia tuju dan sudah dijanjikan. Benar-benar hanya Debora dan pikiran kosongnya yang menemaninya berjalan.

Matanya bergerak gelisah, mulai mencari logo yang menjadi ciri khas sebuah restoran pizza yang mereka sepakati akan berjumpa disana.

Debora pun menemukannya. Dapat ia tangkap seseorang dengan bahu yang sangat lebar, terduduk menatap sekitarnya dan hanya ada dirinya dimeja tersebut. Wajah tercetak sempurna, membuat beberapa pelayan disana terdistraksi tak sengaja. Harum dari tubuhnya pun berhasil menembus indra penciuman tanpa interupsi.

Namanya Abimana.

Ia adalah sosok yang sangat Debora idam-idamkan sejak umurnya baru menginjak sebelas tahun. Abimana yang selalu menggambarkan sosok yang kuat dan tak terkalahkan. Aura berkuasanya sangat terpancar hanya dengan tatapan mata tajam miliknya.

Asal daerah Abimana yang menggunakan bahasa Sunda, Abimana memanggil dirinya dengan panggilan “Aa.” yang artinya adalah kaka laki-laki. Sejak saat itu, Debora ikut memanggil Abimana dengan panggilan tersebut, dipacu dengan paut umur mereka yang terbilang cukup jauh, yaitu 5 tahun.

Seperti yang dibilang. Debora memanggil Abimana ini adalah Guardian angel nya. Dimana Debora terjadi sesuatu, selalu ada Abimana disana. Itu terjadi cukup lama sampai akhirnya Abimana memilih untuk ikut kedua orang tuanya pindah ke luar negri.

Sedih, tentu saja.

Namun apa yang bisa ia lakukan.


“Apa kabar? Long time no see. Makin cantik aja.” Ucap Abimana saat Debora baru mendaratkan bokongnya dikursi.

Seraya tersipu malu, Debora menjawab. “Hahaha, sejauh ini sih baik kabarnya.” Tangannya mulai membuka daftar menu dan mulai memesan.

“Aa sendiri gimana kabarnya?”

Senyuman manis dan tatapan lembut itu menemani kata-kata yang keluar dari mulutnya, “Baik, sangat baik.”

Suasana canggung tercipta beberapa detik. Mata Abimana tak terlepas dari perempuan yang sudah lama tidak ia jumpa. Paras cantik ciri khas perempuan itu tak pudar walau sedikit saja.

“Istri? apa kabar?” Tanya Debora ragu-ragu.

Ia tau kalau Abimana sudah menikah, namun setelah itu tak pernah menanyakan kabar karena Abimana kurang suka mengumbar tentang hubungan rumah tangganya.

“Baik. Anak juga baik, udah dua.” Jari tengah dan telunjuknya terangkat.

Alis Debora terangkat terkejut dan kesenangan, “Oh ya? Keren banget, kok gak pernah kenalin ke aku?”

“Kapan-kapan kalau mereka ikut ke Indo. Nyokap nya takut kalo bawa anak kesini. Makanya gue sendiri. Lo gimana sama suami? Baik-baik kan?”

Sambil mengangguk paham, kemudian Debora menjawab “Dia ngeselin gitu orangnya, kata adik ipar ku dia emang begitu. Tapi kaya nyebelin gitu deh!” Curah Debora.

“Ngeselin gimana?”

“Contohnya begini, aku bilang aku suka eskim. Terus dia jawab cuma oke doang eh tiba-tiba bawain eskrim sebanyak-banyaknya kaya aku mau jualan. Ngga ngeselin sih, cuma kadang aku tuh validasi kaya bilang aku cantik atau pujian kecil gitu. Tapi dia gak mau.”

“Udah lo coba bikin dia cemburu belum?”

“Itu toxic namanya, gak boleh.”

“Coba mana HP lo, sama sini tangan lo.”

“Ih mau ngapain?”

“Udah sini, nanti kalo cowok lo cemburu itu berarti dia sayang sama lo. Cuma gengsi aja.”

“Aku takut, dia serem kalo udah marah.”

“Urusan lo itu mah.”

“Aa ih...”