Intimidasi
Tak perlu waktu lama untuk Ayah Yudha datang ke Sekolah. Tanpa permisi langsung membuka pintu ruang kepala sekolah, ada Qiya disana. Sedang menggigil kedinginan dengan bibir yang pucat.
Langsung ia menghampiri Qiya, didapatnya pelukan dan tangisan keras dari anak bungsu nya tersebut.
“Ayah.... Sakit...”
Tatapannya beralih pada anak yang ada di sebrang, tampilannya hampir sama seperti Qiya, kuyup. Namun tanpa darah di dahinya.
“Ini bukan pertama kalinya hal ini terjadi, Kami janji ini yang terakhir kali nya.”
“Anda dengar apa yang barusan anak saya ucapkan?”
Kepala sekolah dan beberapa guru disana terdiam. Satu guru disana angkat bicara dan mengatakan, “Kami akan menanggung biaya pengobatan Qiya sampai benar-benar sembuh.”
Ayah menegakkan badannya dan memasukan tangannya kekantong celananya, dengan tatapan tajam yang selalu menjadi ciri khas Ayah.
“Anda dengar saya meminta penanggung jawaban tentang uang? Saya juga bisa beli rumah sakit nya kalau saya mau.”
“Mending bayar sekolah buat sekolahin anaknya, ajarin biar gak kecentilan sama pacar orang.”
Ayah menoleh, “Pasti kamu Onyx?” Tebaknya dengan langkah yang semakin mendekat.
“Iya! Kenapa?” Jawab Onyx tanpa sopan santun nya.
“Kamu anaknya Alex Cassano? Divisi Humas Y. Company?” Tebak Ayah yang tepat sasaran.
Baru akan Onyx menjawab, Sudah terdengar benturan keras dari kepala Qiya yang membentur meja kerja kepala sekolah sebab pingsan.
Buru-buru Ayah menghampiri anaknya dan membawa Qiya kedalam mobil. Namun sebelum ia meninggalkan ruangan itu, sempat ia berkata
“Siapin barang-barang kamu sekarang, Kita gak ada yang tau kalo bapak kamu bangkrut hari ini juga.
... Sekolah ini juga siap-siap. Kalau anak saya tidak bangun 15 menit dari detik ini, siap siap sekolah ini akan ditutup.”
Baru Ayah membawa Qiya kerumah sakit.
Setelah diperiksa, Qiya pun mulai tersadar namun belum sepenuhnya. Pemandangan pertamanya adalah Ayahnya disamping ranjangnya, yang sibuk berkutat dengan ponsel genggamnya.
“Ayah...”
Dengan cepat Ayah langsung menoleh dan menatap datar Qiya, “Udah enakkan?” Tanyanya langsung.
“Adek berhasil lho yah, tadi muka dia Adek cakar kaya yang dia lakuin ke adek... Adek siram juga pake air sampe kuyup semuanya, adek belum sempet injek mukanya yah, Badan adek keburu menggigil tadi...”
“Iya.. Anak ayah hebat.”
Qiya meraih tangan ayah dan mengatakan, “Adek janji, ini terakhir kali nya adek ngerepotin ayah.. Maafin adek ya, Yah.”
“Kamu kenapa gak bilang sama ayah?” Tanya ayah sambil menarik kembali tangannya.
“Nanti masalahnya makin panjang, Adek cuma mau sekolah kok.”
“Kamu sadar gak, ayah hampir kehilangan kamu.”
Dada Qiya terasa terenyuh mendengar ucapan itu, juga menatap mata ayah yang menahan tangisnya walau hampir gagal. Warna ruangan dominan biru semakin mendukung suasana sendu ayah dan anak ini.
“Bukan gitu Ay—”
“Cepet sembuh, ayah mau denger kabar kamu injek mukanya.”