Jeffran.
Flashback on
“Jeanno, sayang! Jangan dimakan ya, sayang.” Ujar wanita dengan perut yang besar.
“Bunda? Can you read this book for me? I can't sleep.”
Perempuan bernama Bianca itu sedikit menekuk lututnya supaya mensejajarkan tingginya dengan anak laki-laki manis itu. “Coba tanya ayah dulu, ya, Nak. Bunda agak susah kalau naik ke atas dan bacain cerita buat kamu.” Tentu Bianca merasa tidak enak dengan anak sulungnya. Meskipun Bianca sedang mengandung anak ketiga, ia tidak mau anak-anaknya merasa kasih sayangnya terbagi.
“I’ve asked him before. He said no.” Wajahnya terlihat sendu.
Hatinya mencelos. “Okey. Bunda bacain di ruang tengah, gapapa ya?”
Bianca dan laki-laki bernama Jeffran Anderson telah menikah empat tahun lamanya dan dikaruniai tiga orang anak. Umur Bianca yang masih terbilang sangat muda saat menikah dan hamil pertama, mengambil keputusan yang nekat untuk menikah dengan Jeffran, laki-laki yang berbeda tujuh tahun dengannya.
Awalnya kedua orang tuanya kurang setuju dengan hal itu, namun dengan alasan satu dan lainnya akhirnya mereka dengan berat hati mengizinkan.
Dari awal menikah, Jeffran sudah mulai menunjukkan sifat aslinya. Sifat tak acuh, semaunya, dan keras kepala. Pada awalnya, Bianca mengira itu terjadi karena suaminya kelelahan sepulang kerja.
Bianca menolak angkat bicara meski ibu dan ayahnya telah memaksanya. Bianca tidak mau malu, dulu saat akan menikah ia yang memaksa untuk meminta restu.
Bianca membuka matanya karena suara bel rumah yang berbunyi berkali-kali. Seperkian detik kemudian ia sadar bahwa ia tertidur di ruang tengah dengan dua anaknya yang tertidur di perutnya. Ia menyingkirkan perlahan kepala yang bersandar nyaman di perutnya, lalu menghampiri pintu utama.
Ketika ia membuka pintu itu, wajah yang terpampang terlihat tidak begitu asing.
“Mana Jeffran?” Ucap perempuan dengan gincu merah dibibirnya. Baru Bianca sadar, bahwa ini adalah sekretaris suaminya di kantor. Nada bicara kurang ramah, memberikan kesan pertama yang kurang mengenakkan bagi Bianca.
“Ada diatas, duduk aja dulu. Saya panggilkan Pak Jeffran.” Ujar Bianca menunjuk kursi yang ada di depan pintu.
Bianca langsung beranjak naik ke atas, menghampiri kamar suaminya. Ketika ia membuka pintunya, dapat ia lihat kamar yang sangat amat berantakan, dan Jeffran yang sedang tertidur telanjang setengah badan.
“Mas? Ada yang nyariin tuh dibawah.” Tegur Bianca dengan sangat amat lembut. Tangan Bianca mengguncang tubuh Jeffran.
Jeffran mengerang, “Bilang aja gak ada, ribet banget sih!” Bentaknya sambil menepis tangan yang menyentuhnya.
“Sekretaris kamu yang nyariin. Ada kerjaan mungkin.” Jawabnya masih dengan nada bicara yang sama. Masih sangat lembut.
Jeffran langsung mmebuka matanya lebar-lebar dan terduduk di pinggir tempat tidur. Sedikit menimbulkan kecurigaan di hati Bianca namun Bianca tepis jauh-jauh firasat buruk itu. Jeffran langsung berlari kebawah, menghampiri wanita yang tadi ciri-cirinya Bianca sebutkan.
Bianca mengikuti langkah Jeffran meski tidak bisa begitu cepat.
Dapat Bianca dengar suara tamparan yang begitu keras. Langkahnya mulai memelan.
“Dasar brengsek!” Teriak perempuan itu. Perempuan itu mulai menangis.
“Katanya kamu mau tanggung jawab? Aku minta pertanggung jawaban itu sekarang. Aku hamil! Aku hamil anak kamu!”
Langkah Bianca benar-benar berhenti. Dadanya mendadak terasa sesak.
Namun yang lebih menyakitkan adalah jawaban suaminya kemudian. “Iya, Agatha, aku bakal tanggung jawab. Kamu tenang aja.”
Nada bicara yang Bianca dengar—hanya ketika ia dilamar.
Bianca dengan amarahnya, berjalan terburu-buru menghampiri mereka.
“Ini ada apa sih?” Tanya Bianca benar-benar mengintimidasi. Air matanya sudah berkumpul dipelupuk mata akan tetapi menolak untuk jatuh sekarang. Tidak, ia harus kuat sekarang.
Dadanya semakin naik turun ketika ia lihat wanita menjijikan itu memeluk tangan Jeffran, dan—Jeffran tidak menolak. Sungguh ia sangat jijik dengan keduanya sekarang.
“Kamu pilih aku kan, Sayang? Kamu gak akan tinggalin aku kan?” Tanya Agatha dengan bibir yang bergetar. Jeffran masih diam menatap Bianca. Ia sedang menyusun kata-kata untuk ia lontarkan. Tak pernah ia lihat Bianca semarah ini.
“Kamu bisa jaga anak-anak sendiri, Ci. Agatha gak bisa.”
Bianca menyerit alisnya heran, “Maksudnya?”
“Aku pilih Agatha.”
Air matanya resmi terjatuh ketika kata itu dilontarkan. Dunianya ikut runtuh bersamaan dengan lelehan air matanya. Keputusannya yang ia pertimbangkan selama ini akhirnya bulat.
“Ci, aku—”
“Oh—Nggak, gue bukan pilihan. Jangan bilang titip anak-anak, karena emang dari awal cuma gue yang ngerawat anak-anak.” Bianca berkata dengan wajah yang basah karena air mata.
Ia menghembuskan napasnya gusar supaya tidak terdengar bergetar. “Lo juga bilang gue bisa jaga anak-anak sendiri. You’re right. Gue juga bisa bikin mereka gak kenal siapa bokapnya!” Klimaks Bianca lalu masuk kedalam untuk membangunkan Jeanno dan Marco dan pergi dari sana.
“Gausah repot-repot. Cukup tanda tangan surat cerai dan mereka bukan anak lo lagi.”
Flashback off
“Bunda yang lagi hamil Julio yang usianya baru enam bulan bener-bener pergi ke tempat yang jauh. Bunda naik kereta tanpa tujuan dan akhirnya sampe di kost yang sesuai dengan uang yang Bunda pegang saat itu.” Bianca masih setia menangis.
“Nggak ada yang bantu bunda pada saat itu. Cuma bunda dan kalian aja.” Julio mengusap pundak Bundanya menenangkan. Bunda yang duduk di kursi penumpang dan Julio di kursi pengemudi.
“Kalian gak perlu tau gimana caranya bunda bisa bertahan hidup, yang jelas alasannya melibatkan kalian semua.” Bianca diam sejenak dan kembali melanjutkan tuturannya. “Maaf waktu itu gak sengaja denger Jeanno sama Marco ngobrol. ‘Ada sudut pandang yang bunda gak ngerti” Bunda sempet mikir mungkin benar. Bunda juga ada niatan ceritain tentang ayah ke kalian, tapi belum nemu waktu yang pas. Malah ketemu sama dia kaya gini.”
“Bunda minta maaf.”
Marco dan Jeanno yang duduk dikursi belakang sedikit maju untuk meraih pundak Bianca dan memeluk sebisanya akibat minimnya ruang gerak.
“Maaf, Bun. Jean gak tau kalo sebegitu menyakitkannya.” Ujar Jeanno merasa bersalah.
“Maaf juga ya, Bun. Selama ini kita banyak ngerepotin bunda.” Sahut Marco.
Julio yang sedang fokus mengemudi ikut menyahut, “Makasih ya, Bun. Kalo aku jadi Bunda pasti udah gugurin anak yang didalem perut aku. Tapi bunda nggak, makasih banyak ya, Bun.”
“Its okay, boys. Kalian bahagia aja udah cukup banget buat Bunda.”
“Kalo dia gangguin Bunda lagi, kasih tauin kita ya.”