Jikalau Pergi.

Langkah cepat dan tak beraturan mulai mengisi suara lorong yang sedari tadi diam dan sunyi. Hanya ada detakan jantung tegang disana.

Didapatnya teman kakak laki-laki nya, yang bernama Hasbi. Ia duduk diam sambil menaruh kuku tangannya diantara gigi atas dan bawah milik nya. Baju yang ia kenakan masih sama dengan yang ia gunakan diatas panggung tadi

Langkah Qiya kian cepat menghampiri Hasbi dan bertanya dengan wajah kebingungan, “Kak? Bang Regan gimana?” Dari sekian jutaan pertanyaan yang ada di otaknya, hanya 4 kata itu yang keluar dari mulutnya.

Diremasnya bahu Qiya sampai ia merasakan sakit dan nyeri karena cengraman itu. Mata Hasbi menggenang menahan air mata juga bibir nya yang bergetar hebat sebab panik.

“Kak? Bang regan.... Gimana?”

Kaki nya mulai melemas, otak dan tubuh nya tidak siap menerima kabar buruk tentang kakak sulung nya ini.

Hasbi tidak menjawab, namun dijawab dengan mati nya lampu ruang ICU tersebut. Tak lama kemudian keluar lah dokter yang menangani Regan disana.

“Regan gimana, Dok?”

Dokter tersebut menarik napas nya dalam-dalam dan menyatukan tangannya, “Kami sudah berusaha yang terbaik, kami minta maaf.”

Seperti mimpi rasanya. Apa katanya? Minta maaf? Kenapa mereka harus meminta maaf?

Terdengar samar-samar dibelakangnya seseorang mulai terisak, lama kelamaan suara itu mulai menjauhi Qiya yang masih diam membatu menatap dokter yang ikut menahan air matanya.

“Dok—”

“Saya minta maaf.”


Siapa sangka, Kakak laki laki nya yang selalu menjadi teman bertengkar nya. Harus menjadi sebuah alasan untuk keluarga nya menangis seperti hancur berkeping-keping.

Ayah yang sudah datang dengan bunda, dan langsung mendengar kabar itu. Bunda pingsan, shock berat pasti. Siapa yang tidak shock jika mendengar kabar anaknya meninggal?

Kini menyisakan Qiya yang masih mencerna semuanya, dengan Regan yang berbaring diatas ranjang dengan wajah yang pucat serta oksigen yang sudah dilepas sejak beberapa menit lalu.

Langkah demi langkah, ia mendekati ranjang itu dengan kaki yang bergetar hebat.

Sampai lah ia terduduk dikursi yang terletak tepat disebelah ranjang itu. Dipandang wajah itu, pucat dan kaku. Namun tetap tampan.

Lampu remang remang khas rumah sakit saat malam, semakin mendukung tangisan Qiya meledak disana.

“Bang... Lo tolol banget.”

Qiya menundukan kepalanya, pundak nya naik turun tak kuasa menahan tangisannya. Sampai terdengar knop pintu terbuka, namun tak terdengar jelas ditelinga Qiya.

Ayah.

Ayah yang datang dengan wajah yang sudah merah juga mata yang sudah sangat basah karena menahan tangisnya. Ia tak boleh menangis disini, bagaimana dengan anak dan istri nya jika ia ikut menangis?

Berlututlah ia disana, kakinya yang panjang nan kurus itu tak lagi mampu menopang tubuh besarnya disana. Diraihnya tangan kiri milik Putra nya itu.

“Abang kalau suka disana... Yaudah ya.. Jaga diri abang baik baik disana, jangan ngerepotin bunda mu..”

Disitulah tangis nya pecah.

Yah, Bang Regan? Bang Regan suka disana.