Johan.

Perasaan gelisah terus menerus menemani Regan sepanjang perjalanan pulang, giginya tiada henti menggigit kuku juga bibirnya sendiri secara tanpa disengaja. Belum ada dua puluh empat jam Debora meninggalkannya, hanya kata-kata sebagai selamat tinggal itu membuatnya tak lepas dari perasaan bersalah.

Kecepatan roda mobilnya berputar sudah tidak jelas lagi mau bagaimana, yang ia pikirkan hanya bagaimana istrinya disana dan pulang untuk menghubungi temannya yang ia tugaskan untuk menemukan keberadaan Debora. Tidak peduli lagi bagaimana kondisinya sendiri, entah sudah makan atau belum ia tidak peduli. Bahkan, ia lupa kalau anaknya menunggu di rumah.

Berkali-kali ia melihat pada telepon genggamnya dengan harapan akan ada pesan masuk dari perempuan yang paling ia cinta, namun nyatanya sang perempuan masih enggan menghubunginya. Tangan kanan yang terus berfokus pada stir didepannya, dan tangan kiri yang penuh harapan akan telepon genggamnya. Perasaan kecewa seolah tak mau menyerah, selalu ada ketika layar benda pipih itu hampa.

Sampai tidak terasa pekarangan rumah abu-abu menyambut pria berpakaian merah marun. Ia masih terdiam di dalam mobilnya, menatap pintu putih tempat alasannya berpulang dan merasakan kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Biasanya, jika ia mengetuk pintu itu akan keluar seorang wanita dengan tampilan sederhana yang selalu terlihat cantik di matanya, juga anak laki-laki yang ikut berdiri menyambutnya. Senyuman hangat dan sapaan mesra senantiasa mereka berikan.

Baru ia sadar apa arti kehilangan sebenarnya.

Sepasang sepatu hitam mengkilap mengalaskan kaki pemiliknya memasuki pagar rumah. Rasanya hampa, hanya itu saja yang bisa ia pikirkan. Tidak ada warna, kebahagiaan bagaikan sirna seketika. Tidak ada rasa antusias menunggu kepulangannya.

Dapat ia tangkap dengan sepasang bola mata mengantuk tanpa semangat itu, anak lelaki berumur lima tahun sedang dibujuk makan oleh asisten pribadinya namun ia menolak suapan itu. Regan dapat mendengar beberapa kata yang keluar dari mulut anak itu berupa, “Aku cuma mau makan kalau Abun udah pulang.” Kembali lagi, Regan menyalahkan dirinya lagi dan lagi. Kalau saja ia bisa mengendalikan ucapannya, pasti Debora ada disini dengannya.

Tak sengaja, pandangan Regan bertemu dengan asisten pribadi anak bernama Bima itu. Tersirat tatapan berharap disana, mungkin berharap Regan akan membantunya membujuk Bima untuk setidaknya makan satu suap saja. Seperti yang wanita dari ibu anak itu titipkan padanya untuk mengurus Bima dengan benar.

“Makan dengan benar, Bimasena.” Suara berat itu mengisi ruangan besar berwarna abu-abu

Sang pemilik nama pun menoleh dan menatap ayahnya tidak suka, “Pulangkan Abun, baru Bima mau makan.” Jawabnya tidak kalah tegas. Tatapan mengintimidasi dominan dari sang ayah menurun tepat pada anaknya tanpa berkurang sedikitpun. Caranya berbicara sungguh mirip dengan Regan saat sedang serius bahkan sejak umurnya baru menginjak lima tahun.

“Bimasena.”

“Abuy.”

Permainan adu tatap itu usai karena perempuan paruh baya disebelah Bima akhirnya memerintahkan anak itu untuk kembali duduk di tempatnya tadi. Masih tidak menyerah untuk terus membujuk nya memasukan nasi ke dalam perutnya.

“Makan yang benar di meja makan, Bimasena. Habiskan makananmu dan pergilah tidur siang.” Perintahnya masih dengan tatapan juga alis yang menyatu kuat tanpa ada berniat ia kendurkan. Bima memutar bola matanya lalu melangkahkan kakinya pergi dari sana. Sang asistennya itu mengikuti dan membungkuk sebelum pergi.

Regan berjalan menuju ruang kerjanya yang berada tidak jauh dari tempat ia berdiri ia sebelumnya. Tangannya bergerak membuka baju luaran dan beberapa kancing kemeja dari atas. Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan komputernya untuk membaca perkembangan mengenai pencaharian orang.

Baru saja ia akan mendaratkan bokongnya pada kursi kebanggannya, tiba-tiba suara bel rumahnya berbunyi mengisyaratkan tamu datang. Entah mengapa Regan merasa bahwa ia harus membuka pintu itu, padahal biasanya ia membiarkan para pembantu di rumahnya yang membuka pintu. Tapi kali ini ia mengikuti kata hatinya dan kembali keluar menghampiri pintu utama. Lelaki itu mengangkat telapak tangannya pada perempuan yang memiliki niat yang sama.

Ia buka pintu itu dan menghadirkan sahabatnya sejak semasa kuliah, berdiri dengan tinggi badan yang tidak jauh berbeda dengannya. Regan sulit mengartikan tatapan itu, seperti marah dan tidak suka bercampur disana.

Karena terlalu lama berdiam akhirnya Regan membuka percakapan, “Ada apa?” Biasanya jika akan berkunjung sahabatnya yang bernama Johan itu akan memberi kabar walau satu menit sebelum ia sampai.

BUGH!

Merasa belum puas, Johan mengambil kerah baju Regan yang membuat sang pemilik baju bangun dari jatuhnya. Pipinya terasa panas menerima pukulan itu tapi seperti tidak ada tenaga untuk membalas pukulan itu. Bertengkar seperti ini sudah biasa mereka lakukan, mendebatkan hal kecil sampai berujung kekerasan fisik.

“Bajingan.”

BUGH!

Lagi, Johan melayangkan kepalan tangannya dan mendaratkannya di pipi Regan. Johan adalah orang yang paling cepat marah jika mendengar orang-orang terdekatnya mendua seperti pria didepannya ini. Jika dilemparkan pertanyaan mengapa, Johan tidak pernah mau menjawab.

Sampai pada suatu malam ketika ia mabuk tak sengaja menceritakan alasannya. Alasan yang simpel namun menyakitkan, ia bilang bahwa setiap malam ia menyaksikan ibunya ditindas oleh sang ayah dengan kata-kata kasar dan kekerasan fisik. Usianya masih sangat muda pada saat itu, ia tidak bisa melakukan apa-apa dan bertindak apapun. Diujung akhir cerita keluarga Johan ibunya berkata, “Jangan pernah menyakiti perempuan, Jo. Anggap mereka seperti ibu.” Kemudian sang ibunda menghembuskan napas terakhirnya.

Itu sebabnya Johan tidak pernah segan memukul ketika mengetahui Regan berselingkuh. Kasus seperti ini tidak terjadi satu dua kali, tapi empat kali. Dan semuanya selesai ditangan Johan. Sejak dulu memang Regan lah yang paling sering mencoba.

“Emang anjing lo ya, gak cuma satu dua kali kan begini? Masih gak kapok juga? Mau gue copot mata lo biar gak liat yang lain?” Ucapnya dengan nada rendah dan suara yang berat. Tangannya masih setia mencengkram kerah baju putih yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. Tatapannya tidak berpindah sedikitpun.

Hanya Johan yang berani macam-macam dengan tuan rumah di rumahnya.

“Jo…” Lirih Regan

“Dari awal gue udah kasih tau kalau menikah itu artinya lo komitmen sama satu orang. Gue gak peduli lo dijodohin paksa atau bagaimana, tapi dia perempuan. Dia ibu dari anak lo. Cuma dia yang bakal nemenin lo di masa tua nanti. BUKAN SELINGKUHAN LO!” Dan pukulan terakhir ia lemparkan.

Kini Johan membiarkan Regan tersungkur di lantai dengan wajah yang hampir mati rasa.

“Gue sayang, gue sayang banget sama dia, Jo. Gue kangen banget sama dia.”

“Tai anjing! Debora tuh gak layak buat laki-laki kaya lo! Gue sendiri aja heran kenapa dia betah banget sama modelan brengsek kaya lo.” Hardiknya.

Rasanya Regan ingin sekali memukul sahabatnya itu, namun suasana panas diredakan dengan datangnya Dilan—sahabatnya yang lain memisahkan Regan dengan Johan.