Kesan pertama.
“Di lantai 3 katanya, Resto bakmie.” Ujar Regan dengan wajah malasnya.
Setelah ayah membujuk Regan dengan susah payah, akhirnya Regan pun mau. Memang kalau belum bertengkar belum afdol. Pekerjaan yang ia tunda beberapa hari lalu ditinggalkan begitu saja.
“Tanya dimeja berapa.” Balas ayah.
Baru Regan akan menyanggah pernyataan ayah barusan, tatapan ayah sudah berhasil membuatnya terdiam.
“Meja 13 deket jendela.”
Tanpa basa-basi lagi, Ayah bangun dari duduknya dan meninggalkan Regan. Menuju tempat yang tadi Debora katakan, ia sebenarnya sudah tau dimana mereka duduk, hanya ingin melihat anaknya dan calon istrinya berinteraksi.
Regan mengikuti langkah ayahnya.
Seluruh orang dilorong mall itu menatap dua pria dengan aura mengintimidasi ini dengan tatapan kagum. Cara mereka jalan dan berbicara sangat menjelaskan bahwa mereka adalah orang yang berkelas.
Sepatu pantofel itu berdentum keras disetiap langkah, bersautan setiap dipijak. Tuxedo abu-abu merekapun tak kalah elegan nya. Juga kacamata yang Regan gunakan hanya sebagai aksesoris, menambahkan tampilan tampan diwajahnya.
“Sebentar doang kan, Yah?”
“Bawel.”
Tak terasa, ayah dan anak itu sudah sampai ditujuan awal mereka. Orang yang akan mereka temui juga sudah berada didepan mata.
“Apa kabar?” Tegur Yudha saat bersalaman dengan Theo. Padahal mereka betemu setiap hari.
“Good as well. Ini anak gue, Debora.” Ucap Theo memperkenalkan anaknya.
Gadis cantik itu membungkuk sopan dan mengulurkan tangannya, Yudha dengan senang hati menjabat tangan itu ramah dan tersenyum tipis. “Ini anak saya, Regan.”
Uluran tangannya beralih kepada lelaki disamping Yudha. Senyuman gadis itu merekah seketika, “Hai! Aku Debora.”
“Regan.” Ketus Regan sambil menyambar tangan itu sekilas, hanya untuk menghormati ayahnya saja.
Menyadari keheningan yang ada, Theo berkata “Kalian duduk disana dulu, ya? Ada yang mau diomongin dulu sama Yudha.”
Mata datar Regan langsung berubah menjadi mata yang panik dan kebingungan. Meminta pertolongan dari ayahnya yang ia tau sendiri bahwa ini rencana sang ayah.
Debora juga ikut panik seketika, hanya bingung saat duduk berdua nanti apa yang akan ia bahas agar tidak canggung.
“O-oh gitu ya, Pah? Oke deh.” Debora mengambil makanannya dan menduduki meja yang tadi papahnya tunjuk.
Kedua calon pasangan ini hanya diam, Debora diam sambil memakan makananya dan Regan diam dengan pandangan yang berkeliaran entah kemana. Enggan menatap gadis didepannya.
“Kamu gak makan?” Kalimat pertama yang muncul diantara mereka.
Pandangan sang lelaki teralih, “Nggak.” Jawabnya sambil menatap mata lawan bicaranya datar.
Tatapan mereka bertemu dan terpaku untuk waktu yang cukup lama. Pria dengan marga Gazham itu menatap mata sang perempuan dengan pandangan yang datar, juga dagu yang terangkat.
“Mata kamu bagus. Mirip kaya ayah.”
“Udah tau.”
Debora mengangkat kelopak matanya, “Kata papah mata aku mirip sama mamah. Cantik kan?” Kemudian ia mendekatkan wajahnya tepat ke wajah Regan.
Setelah Regan sadari, memang matanya tak mirip dengan sang papah. Sang papah memiliki mata yang kecil juga sedikit sipit. Sementara sang anak memiliki mata yang besar dan bulat.
Tangan Regan mendorong lembut tubuh Debora agar memberikan jarak akan keduanya. Sekesal-kesalnya Regan pada gadis ini, ia selalu ingat bagaimana memperlakukan seorang wanita.
Kemudian Debora kembali memakan bakmie miliknya.
“Kamu ngga mau cobain? Enak banget tau.”
“Ngga.”
“Kamu sibuk ya? Pasti kerjaannya terganggu karena kamu kesini?” Tebaknya dengan wajah yang yakin bahwa tebakannya benar.
“Iya, makanya gue duluan.” Sulut Regan sambil bangun dari tempat duduknya.
“Oh iya, Congrats“
Wajah murung itu tergantikan dengan wajah sumringah senang.