Lorong

Dengan langkah cepat, suara dentuman hentakan dari kaki Qiya menghiasi lorong yang sepi. Didampingi dengan kedua orang tuanya yang mengikuti langkah panjang milik anak bungsu nya tersebut. Semua pikiran mereka entah dimana, satu tujuannya hanya menemui anak sulung nya.

Sampai lah Qiya bertemu dengan Alfie yang menunggu didepan ruang oprasi sejak dini hari tadi. Dengan tatapan kosong dan kaos putih yang penuh bercak kemerahan, ia terduduk lemas disana. Memandang ke dalam ruangan tempat bertaruhnya nyawa disana.

“Fie! Bang Regan mana?” Tanya Qiya dengan napas yang belum teratur, sembari sedikit menggunjang pundak Alfie karena tidak sabar diberikan kepuasan atas pertanyaan nya barusan.

“Nak... Dimana Regan..” Tegur Bunda dengan lembut walau jantungnya berdetak cepat tidak siap mendengar kabar tentang putra nya.

Tatapan yang tadinya lurus beralih menatap bunda dan ayah secara bergantian, dan disitulah tangis Alfie pecah tak tertahan. Ia menangis di pelukan bunda. Ayah, bunda, dan Qiya hanya bisa saling tatap heran dengan air mata yang memenuhi pelupuk mata.

“Tante... Maafin Alfie.. Tadi Alfie berusaha tahan Reza biar gak lepas kendali, tapi ternyata Reza terlalu ngebut terus nabrak kak Regan....”

Bunda hanya bisa terdiam, bahkan tangan yang ia gunakan untuk mengusap punggung Alfie pun terdiam. Shock berat pasti. Selama ini yang ia tau, Regan anak yang tak pernah membuat keluarga apalagi bundanya kecewa sedikit pun. Namun siapa sangka, Regan yang didalam rumah berbanding terbalik dengan Regan yang ada diluar.

“Terus sekarang Regan gimana?” Tanya Ayah dengan satu titik jatuh ke pipi nya.

Tangis Alfie mereda dan mulai melepas pelukannya. Sejenak ia menatap kamar yang tadi, dan berkata “Dari pertama dibawa kesini keadaannya emang udah kritis, bahkan kalau Alfie telat 30 detik aja kak Regan udah gak ketolong. Sampai sekarang kak Regan belum ngasih aba-aba kalau akan sadar dalam waktu dekat.”

“MAKSUD LO?!”

“Maafin aku ya Qiya.. Kak Regan koma.”

Rasanya seperti disambar petir ratusan kali diotaknya. Teringat tentang pikirannya sejak malam tadi yang memang kurang mengenakan soal kakak laki-laki nya ini. Ternyata benar, ini jawabannya.

Kakinya serasa tidak lagi dapat menopang tubuhnya. Benda-benda disana terasa berputar begitu hebatnya. Untung saja ada ayah di belakang yang menangkap tubuh Qiya dan mendudukkannya di kursi tunggu didekat mereka. Kepala Qiya bersandar dipundak Alfie karena tak kuasa menopang seorang diri.

“Bisa ceritain semuanya dari awal?” Ucap Qiya lemas.

“Nanti aku ceritain kalo-”

“Cerita, Fie!”

Seperti satu hal yang berat untuk Alfie, dapat terdengar dari tarikan dan hembusan napas yang ia ambil saat akan memulai ceritanya. Perlahan tapi pasti, Alfie mulai menegapkan tubuhnya dan mengambil napasnya sekali lagi.

“Dulu Reza punya kembaran, namanya Rion. Sebelum kecelakaan yang menimpa keluarganya, yang membuat Reza kehilangan ayah, ibu dan kembarannya. Mereka keluarga yang bahagia banget, Qi.”

“Tapi gue kenal Reza dari kecil, Fie. Gimana bisa?”

“Wajah mereka emang semirip itu Qi, cuma beberapa orang aja yang bisa tau perbedaan mereka. Dan Kirani, adalah pacar Rion sejak mereka kelas 6 SD. Orang tuanya ngizinin karena mereka pikir itu cuma cinta monyet biasa aja, tapi sampai mereka kelas 1 SMA masih menjalin cinta.”

Sempat terhenti disaat Alfie seperti memilah bahasa yang harus disampaikan. Kemudian ia berkata, “Detik-detik Rion meninggal dipangkuan Reza, Rion seolah-olah memberi wasiat kurang lebih isinya begini...

Zaa... Bahagia sama Kirani ya? Gue titip Kirani.

Baru disaat itu Rion menghembuskan napas terakhirnya.”

“Gak nyangka.. Topeng Reza setebel itu..”

Alfie menghiraukan ucapan Qiya barusan dan melanjutkan tuturannya, “Setelah Reza menemukan jadi dirinya, ternyata ketertarikannya bukan kepada wanita.”

Sungguh.. Qiya terlalu banyak mendapat kejutan hari ini, otak nya tidak mencukupi untuk mencerna ucapan Alfie barusan. Setelah paham, akhirnya Qiya berusaha mengontrol ekspresi nya agar kembali tenang.

“Wow...”