Pulang.
TOK TOK TOK
Ketukan pintu sebanyak tiga kali berhasil mengambil seluruh atensi wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu. Sejenak ia meninggalkan pakaian yang sedang ia kemas untuk pulang ke rumahnya esok hari. Sepertinya satu minggu cukup baginya untuk beristirahat sebentar walau tidak tenang karena meninggalkan anaknya dan berkesan lepas tangan begitu saja.
Ia buka pintu berwarna putih yang menutupi ruangannya.
Terkejut saat dapat ia melihat bahwa yang datang adalah sosok manusia yang ia kenal dengan amat sangat. Suami nya sendiri, berdiri didepan pintu dengan tatapan sayu nya dan baju nya yang lusuh.
Tatapan mereka bertemu. Ditemani dengan riuh angin di luar juga suara hewan malam yang menjadi ciri khas setiap kegelapan ketika matahari mulai tenggelam. Perasaan tidak nyaman bercampur rasa rindu ketika bola mata cantik kesukaannya, kembali ia tatap dengan arti tatapan yang sama. Rasa ingin merengkuh yang tinggi namun ia urungkan ketika sadar apa kesalahan yang diperbuat. Merasa tidak pantas berada di depannya, berstatuskan suaminya.
“Aku,” Kembali ia menunduk menatap jari-jari kakinya, dan melanjutkan tuturannya. “Minta maaf.” Tak kuasa ia menahan tangan dan tubuhnya untuk memeluk sang wanita. Ia rengkuh relung hangat dan melepaskan semua dahaga akan semua rindu yang perempuan itu perbuat.
Air matanya tidak bisa ia bendung lagi. Berjuta-juta kali ia mengucapkan maaf dan tiada kata yang tidak ditemani dengan titikan air mata. Ia baru sadar arti kehilangan sebenarnya. Meminta maaf rasanya tidak cukup setelah apa yang ia perbuat.
Tidak ada balasan dari pelukan itu, hanya mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya. Membiarkan suaminya untuk meluapkan emosi yang ia tahan begitu lamanya. Berusaha memberi pengertian lagi dan lagi, tanpa ada niat menginterupsi diantara setiap kalimat yang dilontarkan. Tanpa ada niatan membalas rengkuhan hangat yang dipastikan akan rasa rindunya.
“Jangan pulang ke Papa, ayo pulang ke rumah aja. Bima kangen sama kamu.” Untuk ketiga kalinya, telinga nya menangkap kata itu lagi. Dapat Debora rasakan bagaimana pelukan yang mengerat ketika kata itu diucapkan. Perasaan khawatir dan panik disalurkan dari rengkuhan itu. Ia dapat merasakannya.
Air hujan turun kian mengeras. Seolah semesta mendukung dua insan ini untuk tetap pada dunia yang sedang berusaha mereka perbaiki. Pada lorong yang sepi, membiarkan mereka dengan dunianya sendiri.
“Cukup, satu minggu cukup kok. Udah ya? Pulang yuk?” Masih tidak ada jawaban dari pertanyaan dan ajakan itu. Perempuan terkasihnya masih terdiam, menatap lurus kedepan dengan tangan yang masih diam tegak di samping tubuhnya.
Ketika sadar bahwa tidak ada jawaban dari Debora, laki-laki berpakaian kemeja putih itu melepas pelukannya dan tatapan mereka kembali bertemu. Ia tatap dalam-dalam sepasang bola mata yang sedari dulu selalu menjadi kesukaannya, kini arti tatapan itu sudah berbeda.
“Maaf,” Lagi. Ia mengusap pipi dimana air matanya jatuh. “Aku gak tau diri banget dateng-dateng minta kamu pulang. Setelah apa yang aku ucapkan beberapa malam lalu, pasti itu nyakitin kamu banget. Aku minta maaf.” Ia selipkan tawaan kering di kata-katanya. Terkesan menyakitkan namun dengan maksud membangun suasana yang tiba-tiba terasa canggung padahal tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Sungguh, ia sama sekali tidak bisa menahan tangis dan sesak di dadanya.
“Aku kacau, Deb. Aku bingung harus ngapain gak ada kamu. Setiap pagi yang biasanya ada kamu disamping aku, tapi sekarang gak ada. Rasanya hampa.” Ucapnya dengan tangisan dan isakan. “Bima pinter ya, Deb? Setiap hari dia ngingetin aku makan, padahal aku selalu tolak.”
Mata sayu itu kembali berpulang pada sepasang mata cantik di depannya
“Deb—”
“Mas.”
“Maaf.”
Tembok yang ia bangun, akhirnya runtuh.
Debora ikut menangis kencang dan memeluk tubuh besar Regan. Debora adalah wanita yang kuat, menangis adalah sesuatu yang sakral baginya. Sejak dulu dibiasakan untuk menerima dan menormalisasikan segalanya. Tapi lelaki kurang ajar ini, yang secara dipaksa masuk ke dalam hidupnya bahkan menjadi bagian dari alasan ia tetap ada di dunia ini.
“Jangan begitu lagi.”
“Mas?”
“Mas?!”