Who?
Setiap suapan makanan kedalam mulut ditemani dengan perbincangan hangat. Marco yang bercerita tentang kampusnya, Jeanno yang berkeluh-kesah, juga Julio yang sedang kasmaran menceritakan tentang kekasihnya, sementara Bianca senantiasa mendengarkan tanpa ada niatan menginterupsi sedikitpun.
“Saran aku ya, Jul. Mending lo jangan terlalu berlarut jatuh cinta sama itu cewek. Emang baru pacaran tuh tai ayam berasa coklat.” Kemudian Jeanno kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Jangan terkejut, Jeanno dan Julio jika didepan Bianca memang berbicara dengan bahasa yang sopan. Bianca tidak suka jika mendengar mereka berbicara menggunakan lo-gue.
“Nggak sih. Aku anggap Mei itu sebagai salah satu keajaiban. Mei ngajarin aku banyak hal.”
Marco tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, “Bener kan, Jen? Bener-bener berasa kaya coklat.” Ucapnya, Jeanno mengangguk mengiyakan.
“Sebenarnya Bunda gapapa banget sama pacar kamu, Jul. Yang bunda gak suka itu kalo dia bikin langkah kamu jadi pendek. Paham kan? Bunda susah-susah bikin kamu untuk bisa lompat lebih jauh, jangan sampai pacar kamu bikin usaha bunda jadi hancur gitu aja.”
Julio tertegun mendengarnya, “Iya, Bun,”
Lalu obrolan terus berlanjut dengan suasana yang sama.
Sampai akhirnya satu keluarga menghampiri meja mereka. Satu laki-laki dewasa sebagai ayah, satu wanita dewasa sebagai ibu, dan satu gadis sebagai tuan putri kesayangannya. Terlihat dari gelagatnya, sang ayah yang mengajak anak dan istrinya untuk menghampiri mereka.
“Hi, long time no see, ya, Ci.”
Bianca yang mendengar panggilan akrab itu menoleh. Tubuhnya membeku, lidahnya kelu, degup jantungnya memburu. Anak-anak yang mendengar panggilan akrab itu menganggap bahwa itu pasti teman sang Ibunda. Namun kesimpulan mereka dihancurkan ketika melihat wajah terkejut Bunda. Sangat amat terkejut.
Marco berinisiatif untukbangun dan menjulurkan tangannya, ingin menyalami tangan pria itu. “Hi, Marco.” Marco memperkenalkan dirinya dengan tangan yang masih terulur sendirian.
Ketika pria itu ingin membalas jabatan tangan Marco, Bianca lebih cepat menepis tangan itu. Matanya merah menahan marah, dadanya naik-turun, bibirnya masih enggan menjelaskan atau sekedar membalas sapaan ramah tadi.
Jeanno dan Julio yang melihat kejadian itu terkejut tentu saja. Ia kenal bunda nya dengan amat sangat, bunda nya bukan orang yang pemarah. Marco menatap heran Bianca dan pria itu bergantian. Mereka saling melempar tatap namun tatapan yang seratus delapan puluh derajat berbeda. Pria itu menatap Bianca dengan tatapan menantang sementara Bianca menatapnya marah dan tak suka.
“Mom? What happens?”
Bianca masih tidak melepaskan pandangan matanya, “Don't you dare, touch my children, You Jerk!” Sumpah Bianca penuh penekanan setiap katanya. Tentu saja mereka jadi pusat perhatian seluruh pengunjung yang ada, tetapi pandangan Bianca begitu gelap hanya lelaki ini saja yang menjadi satu-satunya atensi.
Pria itu terkekeh kecil, “Chill, Ci. Gue cuma mau nanya kabar aja. Lo malah galak banget, niat gue baik, lho.”
Bianca mengambil tas yang ada di kursinya, lalu berlari keluar dari sana. Tentu saja Julio, Jeanno, dan Marco mengikuti langkah Bianca dan meninggalkan makanan yang belum mereka selesaikan.
“Marco!” Panggil pria itu. Marco menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Jeffran! its Jeffran! Nice to meet you.”
Terkejut? Tentu saja.