Remora.

Namanya Remora, sudah ia kenal sejak lima tahun lalu dikarenakan ketidaksengajaan. Salah satu faktor pendukung mereka memiliki hubungan yang dekat adalah sama-sama mempunyai hobi dan bekerja dibidang yang sama, yaitu fashion designer. Namun Remora sudah tidak lagi melanjutkannya karena mengurus anak, suami, dan pekerjaannya dalam waktu yang bersamaan membuatnya kewalahan.

Remora adalah definisi dewasa menurut Debora dan banyak orang mengakuinya. Cara bicara dan berpikirnya terkadang tidak terpikirkan oleh manusia biasa namun benar-benar menyelesaikan masalah yang ada. Remora juga bukan perempuan suka bergosip, tapi jika ada orang berbicara tentang suami dan anaknya, ia tak segan untuk menampar pipi orang itu. Juliet, sahabatnya sejak perguruan tinggi tentu saja mengenalnya lebih dalam dibanding yang lain.

Remora diambil dari nama ikan yang berada di perairan laut beriklim tropis di seluruh dunia. Orang tuanya memberikan nama itu yang mengartikan bahwa berlindung. Hanya itu yang tertinggal sampai keduanya meninggalkannya saat ia duduk dibangku SMP, secara bersamaan sertakan kakak laki-lakinya. Hal itu lah yang mengharuskan Remora untuk dewasa dan bertahan hidup sebatang kara, sampai di akhir cerita bahwa ia berhasil berdiri dengan kaki nya sendiri.

Kesendirian yang membesarkan perempuan malang itu.


“Hai, Kak? Nunggu lama ya?” Sapa Debora saat baru saja datang, sedikit merasa tidak enak karena padatnya lalu lintas yang menyebabkannya terlambat.

Lawan bicaranya mendongak dan tersenyum singkat , dalam sekejap langsung kembali datar. “Nggak lama, kok. Gue juga baru sampai.” Ucapnya bohong. Makanan dipiringnya sudah ber sisakan setengah yang berarti ia sudah cukup lama terduduk disana.

“Gimana Bima? Udah lama gue gak ketemu, kangen juga.” Diakhir kalimat ditemani dengan kekehan pelan, Remora berusaha dengan cepat mengalihkan topik agar Debora tidak terus-terusan menunjukkan rasa tidak enak sebab keterlambatannya. Bukan masalah besar menurut Remora, ia hanya cukup duduk diam dan memesan makanan supaya tidak canggung pada pelayan disana.

Dengan cepat Debora menjawab, “Baik kok dia, udah mulai sekolah juga jadi punya waktu buat diri sendiri. Kalau Rayya, gimana kabarnya?”

“Baik juga.”

Keduanya terdiam membiarkan obrolan hening seketika. Debora sibuk dengan pikirannya sementara Remora menunggu sang lawan bicara membuka topik yang akan dibicarakan, sama sekali tidak merasa canggung. Debora sibuk memikirkan perdebatan yang terjadi beberapa jam lalu dengan suaminya, menurutnya, kata-kata yang dilontarkan begitu kasar. Tapi hatinya menolak keras pikiran itu karena mungkin faktor dari datang bulannya yang membuatnya jadi jauh lebih sensitif.

Tujuannya bepergian adalah salah satu bentuk usaha mengalihkan pikiran tersebut walau gagal total. Biasanya ada Juliet yang membuatnya tertawa lepas dan melupakan masalahnya. Tapi hari ini hanya ada Remora dan itu bukan masalah besar bagi Debora,

Karena merasa ada yang aneh, Remora langsung melontarkan pertanyaan, “Lagi ada masalah ya, Deb?” Tidak bertanya bukan berarti tidak peduli, itu adalah kalimat yang menggambarkan Remora. Bertindak cuek padahal sangat peduli.

Debora bergerak salah tingkah karena pertanyaan itu dan tersadar bahwa sedari tadi ia terdiam cukup lama. Tangannya bergerak merapikan sorai coklat di kepalanya dan menggelengkan kepalanya seraya tersenyum ramah menenangkan. Gerakan yang tidak normal dan terlihat jelas bahwa ia salah tingkah.

Lagi-lagi tatapan datar dan pergerakan tenang wanita berumur tiga puluh lima tahun berhasil mendapatkan korban sebab merasa terintimidasi untuk kesekian kalinya. Tangan cantiknya tetap menyuap makanan namun tatapannya lurus menatap Debora tanpa ekspresi. Karena merasa kalah Debora menghela napas berat dan menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki. Ia berbohong pada orang yang salah.

Merasa mendapatkan jawaban yang diinginkan, Remora mengangguk paham kecil baru ia menatap mangkuk sup miliknya. Entah bagaimana caranya Remora mengetahuinya, membaca pikiran dari tatapan mata adalah salah satu kemampuan yang dimilikinya yang sering diremehkan banyak orang.

“Capek ya, Deb? Menolerir kesalahan terus, nutupin kesalahan dan rahasia terus, dengan pikiran cuma boleh lo yang tau, Capek kan?” Ucapnya

Pelayan yang mengantarkan makanan memotong pembicaraan mereka. Ketika pelayan itu melangkah menjauh Debora menjawab dengan nada tenang, “Aku udah gak ngerti lagi mau kaya gimana, Kak. Mau marah nanti dia lebih galak, diem justru dia ngelunjak. Aku gak mau pisah, Kak, Bima masih kecil.” Akhirnya setelah tiga bulan menahan semua rasa sakit yang ia terima, akhirnya ada yang mau mendengarkannya.

“Gue gak suka kalau ikut campur urusan orang, tapi kayaknya yang ini lo harus tau,” Remora membetulkan posisi duduknya. “Beberapa bulan lalu Regan dateng ke gue, dia cerita kalau seseorang dari masa lalunya datang dan dia bilang kalau dia kangen sama masa lalunya ini. Gue juga udah bilang kalau lo gak kangen apalagi cinta sama tuh orang, tapi cuma kangen sama kenangannya. Gue gak nyangka kalau Regan bakal nerima tuh cewek lagi.” Jelasnya.

Debora mendengarkan dengan seksama dan mengucapkan sepatah kata yang dapat membuat Remora terkejut bukan main, “Aurel.” Begitu ucapnya. Remora menatap mata perempuan di depannya tidak percaya.

“Dia chat lo, ya?” Debora terdiam sebentar lalu mengangguk lemah. “Kamu kenal juga ya? Kok sampe gitu mukanya?”

Untuk pertama kalinya, Remora mengalihkan pandangannya.

“Boleh tau tentang cerita masa lalu yang dimaksud? Pasti kamu lebih tau, kan?” Tanya Debora entah kenapa. Ketika semua orang ingin melupakan masa lalu, jauh berbeda dengannya yang justru bertanya.

“Gonna lil bit hurt. Gue akan cerita yang gue aja, gue gak begitu tau juga.”

Baru saat itu ia mengenal siapa Aurel sebenarnya dan menemukan jalan keluarnya.