Ruang OSIS

tw // harsh word

Laki-laki berusia tujuh belas tahun sedari tadi berdiri seraya berbicara para khalayak anggota OSIS yang datang. Dengan rambut tersisir rapih keatas, laki-laki itu memiliki ciri khas sifat yang mudah marah, jengkel, dan terlalu banyak bicara sedikit pergerakan. Sehingga tidak sedikit teman seangkatannya yang tidak menyukainya.

Julio, selaku ketua organisasi itu akhirnya angkat bicara. Setelah ia menunggu pria bernama Sabiru menyelesaikan ucapan yang ingin disampaikan, akhirnya ia berbicara.

Okey, I guess that's enough. Temen-temen juga udah dapet pointnya, iya kan?” Adik kelas mereka mengangguk.

“Gue lagi ngomong. Jangan potong pembicaraan gue, brengsek.”

Julio berusaha untuk tidak terpancing emosi. “Jangan dateng telat, menghargai senior, menjaga kebersihan, danus, mereka gak aktif. Itu kan yang lo sampein?” Sabiru tidak menjawab, wajahnya memerah menahan marah.

“Bahkan materi yang mau gue sampein hari ini, gak ada satupun yang kesebut. Lo sendiri yang bilang banyak yang bisa dilakuin dalam tiga puluh menit kan? Ini udah dua jam.”

“Kenapa ucapan lo seolah-olah gue yang salah disini? Jelas dari awal lo yang nunda-nunda karena lo kasian sama junior lo.” Sabiru mengangkat dagunya, berargumen tak mau disalahkan.

“Pas dimulai juga emang lo ada angkat bicara? Kerjaan lo cuma diem di belakang, gak ada niatan bikin mereka ini lebih disiplin.” Sabiru menunjuk anak-anak yang sedang duduk memperhatikan perdebatan yang ada. Berdasarkan kultur, menunjuk orang lain dengan telunjuk adalah perbuatan kurang sopan.

“Lo itu bukan siapa-siapa, Bir. Bacot lo kebanyakan.” Nada, sekretaris OSIS. Angkat bicara dari belakang seraya melipat kedua tangannya didepan dada.

Sabiru menoleh dengan tatapan sengit, “Bersyukur karena lo perempuan, kalo bukan muka lo udah bonyok sekarang.” Ancamnya dengan tajam.

Nada justru tersenyum miring, dan turun dari meja yang ia duduki. “Ini lo lagi berpikir kalo lo keren banget, ya? Lo lagi berpikir gue bakal takut, gitu?” Nada memang dikenal sebagai perempuan yang tidak kenal takut.

Tangan Sabiru siap melayang saat itu juga. Namun, ditahan oleh Julio yang memiliki tinggi badan tak jauh dari Sabiru.

“Jangan ditahan, Jul. Gue mau tau selembek apa tangan dia.”

“ANJING LO!”

Julio masih dengan erat menggenggam pergelangan tangan Sabiru. Keadaan ruang OSIS semakin panas karena perdebatan semakin merambat kemana-mana. Permasalahan baru kini timbul.

“Rapat saya akhiri. Kembali ke rumah masing-masing, hati-hati di jalan.” Ujar Julio pada para juniornya. Semua orang perlahan meninggalkan ruangan itu kecuali teman seangkatan Julio.

“Tenang dulu, Sabiru. Kita bisa selesain ini baik-baik.”

Sabiru melepaskan cengkraman tangan Julio dan menebarkan tatapan sengit pada seluruh manusia yang ada di ruangan itu.

“Gausah! Gue pulang.” Ia benar-benar berjalan keluar meninggalkan ruangan itu.


“Pulang sama siapa?” Tanya Julio pada dua perempuan yang ada disana. Gia dan Nada.

Gia dan Nada saling melempar tatapan, “Gue sih dijemput cowok gue. Lo gimana, Nad?”

“Kayanya naik ojol sih. Gatau juga liat nanti aja.” Jawab Nada sambil membereskan barang-barangnya yang ada diatas meja.

“Ayo gue anter aja.”

Nada menatap Julio heran, “Yang bener? Nanti cewek lo gimana?” Nada kenal betul bagaimana sikap kekasih Julio ketika melihatnya dengan yang lain.

“Dia juga gak bakal tau. Lagian cuma anter doang.”

“Kalo lo ribut sama cewek lo, gue gak tanggung jawab ya, Jul.”