Rumah sakit

“Ini udah gak apa-apa, jangan lupa diminum obatnya setiap terasa nyeri, ya.” Anjur Dokter pada Julio.

Julio mengangguk patuh, “Siap, Dok!”

Kemudian datanglah Ibunda dari sang pasien. Wajahnya tak terlihat panik, hanya langkah kakinya menjelaskan bahwa ia sangat khawatir. Bulir keringat tiada henti mengucur membasahi dahi.

“Tenang aja, Bun. Kaya biasa aja.” Julio berkata demikian sebab ini bukan kali pertamanya mengalami patah tulang, sudah berkali-kali sehingga rasa toleransi terhadap rasa sakitnya bertambah.

Bianca menghela napas lega, lalu mengusap gypsum tangan anaknya. “Kamu tuh kalo begini terus lama-lama Bunda larang naik motor, ya.” Protesnya.

“Julio tidak mengalami patah tulang yang parah, hanya bagian lengannya yang retak. Masa pemulihannya akan lebih cepat dibanding patah tulang.” Jelas sang dokter seolah membela Julio yang sedang terpojok.

Bianca menatap dokter itu, dokter yang selalu menangani Julio ketika ia kecelakaan.

“Terima kasih banyak, Dok.” Dokter itu mengangguk dan meninggalkan ruangan.

Julio dan Bianca pun berjalan keluar setelah mereka membereskan beberapa peralatan: memasang sepatu, dan mengenakan kembali tas milik Julio.

“Rumah kosong berarti, Bun?” Ucap Julio sebagai basa-basi seraya menukar resep dokter. Bianca mengiyakan pertanyaan itu.

Kemudian keduanya sibuk dengan telepon genggam seraya menunggu obat yang akan ditebus. Dilihat dari perbedaan tinggi badan, semua orang yang melihat mereka pasti akan mengira dua sejoli itu adalah saudara. Bukan ibu dan anak.

Entah bagaimana, tiba-tiba ekor mata Julio menangkap sesosok laki-laki gagah sedang berlari menuju lantai atas. Laki-laki asing yang ia temui beberapa hari lalu dengan kesan pertama yang begitu buruk. Pakaiannya begitu rapi, kemeja dan jas berwarna coklat membuat kesan gagah padanya semakin lekat.

Matanya terus mengikuti pergerakan pria itu, sampai saat pintu lift akan tertutup tanpa sengaja Julio membuat kontak mata dengan pria itu. Tatapannya… Menyebalkan.

“Gausah diliatin terus.” Tegur Bianca.

“Dia ngapain disini?” Tanya Julio tanpa mengalihkan pandangan dari pintu lift meski sudah tertutup.

“Entah? Keluarganya sakit mungkin?”

Julio menatap Bundanya, sedikit menunduk supaya ia menatap jelas wajah wanita cantik itu. “Dia tinggal di deket sini.”