Salah.

“Bukannya gimana-gimana ya, Ci. Tapi gue suka sebel aja gitu udah hampir dua puluh tahun barengan, tapi masalah yang diributin selalu itu-itu... aja. Gue kan jadi bingung, gue harus berbakti sama suami tapi gue gak bisa ninggalin pekerjaan gue gitu aja.”

Tangan Bianca mengelus pundak Ayara dengan niat menenangkan. Emosi Ayara terlalu meletup-letup.

“Yang sabar... Namanya pernikahan pasti ada cobaannya.”

“Lo tuh gak akan paham sama gue, Ci. Ini bener-bener berat buat gue. Harus ngurusin anak, kerjaan gue banyak, ngurus suami, ngurus rumah juga. Semuanya dibebanin ke gue.” Ungkap Ayara dengan isak tangis luar biasa.

Ayara dan Bianca telah bersahabat sejak menduduki bangku di jenjang menengah pertama. Selain jarak rumah yang berdekatan, berada di kelas yang sama dan duduk sebangku adalah faktor pendukung mereka memiki hubungan yang dekat.

Sejak beberapa bulan ini mereka jarang bertemu karena satu dan lain halnya. Bianca yang sibuk dengan pekerjaan dan anak-anaknya, juga Ayara yang tidak diizinkan suaminya untuk keluar rumah selain bekerja.

Pada dasarnya Ayara adalah orang yang senang bercerita, dan Bianca adalah pendengar yang baik. Jadi setiap ada masalah, ia akan datang pada Bianca dan bercerita. Tugas Bianca hanya mendengarkan sampai emosi sahabatnya itu reda dengan sendirinya.

“Entah gue yang dibentak lah, disindir pake kata-kata yang dia tau kalo gue gak suka dibilang pake kata-kata itu, bahkan dia periksain hp gue setiap gue tidur. GILA KAN?”

Kini tangisannya telah reda, ia mulai mengangkat kepalanya yang dari tadi ia tutup dengan kedua tangan. “Apa gue cerai aja ya, Ci? Gue gak kuat banget.” Tanya nya secara tiba-tiba.

Sempat terkejut beberapa saat, namun Bianca berhasil mengontrol ekspresi nya.

“Pikirin dulu baik-baik. Jangan ambil keputusan saat lo emosi.” Tegur Bianca.

“Sekarang gue cuma bisa mikirin diri gue sendiri aja. Kalula udah diatas delapan belas tahun, dia udah bisa milih mau ikut siapa. Iya kan? Gitu kan, Ci?”

Bianca menghela napas, “Iya. Tapi nggak segampang itu juga. Bukan tentang nanti Lula pilih mau sama siapa, Lula masih butuh kalian berdua. Akan selalu butuh.”

“Buktinya anak-anak lo bisa kan, Ci? Masa Lula yang udah gede aja gak bisa?”

Bianca terlalu sensitif jika membahas tentang anak dan perceraianya.

“Justru itu. Jangan kaya anak-anak gue, Ay. Mereka kehilangan ayahnya, karena gue.”

Ayara sadar akan ucapannya, “Eh jangan nyalahin diri lo sendiri gitu lah, Ci. Gue gak bermaksud nyinggung kesana.

“Sekalinya beneran nyinggung juga gak apa-apa. Gue tau gue yang salah disini.”