Seleksi

“Seleksi lomba apaan?” Tegur Abe sebagai sapaan saat bertemu Amara. Lawan bicaranya itu tanpa menjawab, langsung menarik baju lengan Abe dan naik tangga menuju Lab Bahasa.

“Katanya buat lomba english speech gitu.” Ucapnya cuek dengan tangan yang masih menarik baju Abe.

Mendengar itu spontan alis Abe menyatu heran, “Mr. Tyo nggak salah orang? Masa gue?” Tanya Abe memastikan.

Ketika sudah hampir sampai Amara baru melepas cengkramannya dan menjawab pertanyaan Abe, ia tatap mata temannya itu dan mengangkat pundak sebagai tanda 'tidak tahu'. “Tadi Mr. Tyo ketemu sama gue di Lab Komunikasi, nyuruh gue sama Abyan Pradipta buat ke Lab Bahasa. Pas gue tanya buat apa dijawab cuma buat lomba English Speech, terus dia bilang “nanti dijelasin disana, cepetan ke atas ya.” gitu katanya, makanya gue buru-buru nyari lo.”

Abe adalah siswa yang aktif dibidang olahraga, untuk soal kebahasaan Abe cukup lemah. Maka dari itu, Abe keheranan.

Seusai melepas sepatunya, Amara dan Abe masuk kedalam Lab Bahasa dan duduk di kursi yang tersedia. Sudah banyak murid lain yang duduk dan mempersiapkan dirinya untuk lomba ini, wajah mereka begitu tegang dan kaku. Sementara Amara dan Abe masih duduk diam kebingungan apa yang harus dilakukan disini.

“Ra, gue ngga bisa.” Bisik Abe, suaranya terdengar ketakutan dan pasrah.

Amara yang melihat itu langsung menepuk pundak Abe beberapa kali dan berkata, “Cuma seleksi doang, Be. Lakuin yang terbaik aja dulu.”

Belum sempat Abe menjawab, sudah terdengar pintu yang terbuka dan beberapa guru masuk ke dalam. Wajah mereka begitu ceria, membuat beberapa murid yang tadinya tegang menjadi sedikit lebih tenang. Salah satu guru berdiri di tengah-tengah mereka dan bersiap membuka acara.

“Selamat siang semuanya, maaf karena menganggu jam pelajaran. Seperti yang udah saya sampaikan tadi, hari ini kita akan mengadakan seleksi untuk lomba pidato bahasa Inggris. Caranya mudah, kalian cuma butuh menuliskan unforgettable moment kalian and then, kalian ceritakan didepan!”

Beberapa murid mengangguk paham, namun beberapa diantaranya ada yang menggigit bibir dalamnya karena gugup. Tidak semua orang suka jadi pusat perhatian, termasuk Amara.

“Mungkin untuk sebagai contoh, kita akan lihat bagaimana kakak-kakak kita dari english club, yang sudah lebih berpengalaman untuk berbicara didepan.”

Salah satu siswi maju, posturnya tegak, senyuman manis, serta teks pidato yang sudah ada di dalam kepalanya.

Ketika siswi itu akan membuka pidatonya, suara salah satu guru menginterupsi satu ruangan suaranya melengking dan lantang.

“Loh, Din? Daniel mana Daniel? Daniel EC juga kan?” Siswi yang dipanggil 'Din' tersebut menoleh kebelakang supaya dapat menatap guru yang bicara padanya.

“Kayanya tadi Daniel nggak dipanggil deh, Miss. Cuma saya doang tadi. Mau saya panggilin?”

Guru itu melambaikan tangannya dan bangun dari kursi. “Ngga usah, Din. Biar Miss aja. Yaudah kamu lanjut aja speech-nya! Good luck!” Lalu guru itu keluar.

“Ra, lo ikut EC?” Amara yang sedang bengong akhirnya kembali tersadar, dan menggeleng.

Jujur, Amara penasaran dengan Daniel yang dimaksud Guru itu. Apakah yang dia perbuat sampai menjadi anak kesayangan guru tersebut? Tapi tidak mau terlalu ambil pusing, karena perempuan tadi memulai pidatonya. Suaranya bulat, sangat nyaman didengar, pengucapannya juga sangat mudah didengar, gestur yang menandakan bahwa ia sangat percaya diri membuat penampilannya sempurna! Amara sampai lupa berkedip.

“Siapa tadi namanya, Ra?” Tanya Abe tanpa mengalihkan pandangan dari perempuan didepan.

“Adinda. 11 TKJ 2.”

“Cantik banget.”

Amara memincingkan matanya dan menyikut dada Abe. “Yeu, laki.”

Kemudian datanglah laki-laki yang tadi disebut berkali-kali namanya. Tubuhnya tinggi, ia menggunakan kacamata, juga seragam yang masuk terlipat rapih ke dalam padahal sudah menuju petang. Suara ucapan salam ketika memasuki ruangan menarik seluruh atensi siswa yang ada diruangan itu. Suaranya begitu berat, dan sangat nyaman didengar.

Setelah bersalaman dengan guru-guru yang ada, lelaki itu ikut duduk disalah satu bangku yang tersisa.

Kemudian kita dibagikan satu kertas kosong untuk dituliskan cerita yang tak terlupakan disana. Seraya mendengarkan orang kedua yang berbicara didepan.

“Ra, lo nyeritain apa?”

“Entah.. I'm so confused.” Amara menggaruk kepalanya yang tidak gatal.