Surabaya

Di tempat perempuan bergaun merah yang yang ia anggap aman dari sang ayah, untuk kesekian kalinya ia mengajak pria untuk masuk ke dalam tempat itu. Dengan pikiran bahwa ia jauh dari sang ayah yang berarti ia bebas. Ayahnya yang menuntutnya untuk melakukan segala hal dalam kondisi sempurna membuatnya merasa tidak aman akan beberapa saat, akan tetapi jiwa pembangkang darinya ikut serta pada anak perempuan satu-satunya.

Gaun merah yang digunakannya tertutup oleh rambut hitam panjang yang menutupi dari kepala sampai ke pinggang. Bokong idaman setiap pria yang bergerak ke kanan dan ke kiri setiap ia melangkah, membuat mata kaum adam terbuka lebar-lebar. Seperti apa yang Regan lihat sekarang, ia dapat melihat perempuan bernama Aurel itu berjalan mendekati lemari pendingin dan mengambil beberapa botol minuman disana. Regan mengalihkan pandangannya setiap kali perempuan itu dengan sengaja mengangkat bokongnya lebih tinggi demi terlihat seksi.

Jika ia tidak mendapatkan ancaman saja, Regan sudah akan melaporkan ke polisi atas kerusuhan yang terjadi di tempat kerjanya beberapa bulan lalu. Tetapi ancaman dari perempuan seusianya itu yang berkata jika ia menolaknya, ia akan bunuh diri di depan matanya. Yang benar saja, tentu Regan tidak mau hal itu terjadi. Mengorbankan sedikit waktunya bukan masalah besar bagi Regan.

Dengan pakaiannya yang formal ia masih berdiri tegak ditempat Aurel meninggalkan dirinya. Tidak ada niat untuk mengistirahatkan lutut besarnya apalagi menghampiri perempuan gila itu.

“Sekarang apa?” Ujar Regan dari tempat ia berdiri.

Aurel menyesap minuman beralkohol yang tadi ia tuang dengan tatapan mata sayu yang menatap Regan lekat. Ketika sudah habis ia menyodorkan gelas yang lain untuk Regan minum. Gerakannya sangat tenang, samapi-sampai membuat Regan yang emosi menjadi sedikit lebih tenang. Saat Regan menatap Aurel untuk memastikan, Aurel hanya tersenyum miring dan menganggukan kepalanya meyakinkan

Tanpa banyak ragu lagi, pria berumur tiga puluh dua tahun itu langsung menenggak habis minuman keras yang diberikan. Tidak ada masalah, hanya kesan membakar setiap tetes cairan yang menerobos masuk ke dalam tenggorokan. Rasanya seperti berwisata ke masa lalu dimana ia dengan pergaulannya yang bebas juga pola pikir nya yang belum jelas. Sampai akhirnya semesta mempertemukan ia dengan Debora yang mengajarkan arti kehidupan sebenarnya.

Terlalu lama ia meresapi minuman itu sampai tidak sadar akan perempuan di depannya sudah tidak mengenakan kain merah itu lagi. Hanya menyisakan celana dalam dan bra hitam yang menutupi bagian-bagian tertentu saja. Tentu saja Regan terkejut, ditambah secara tiba-tiba tubuhnya merasakan panas yang luar biasa.

“Kalau gak kuat, jangan ditahan.” Bisiknya tepat pada daun telinga Regan. Sempat terkejut dengan suaranya, Regan dengan cepat bergerak menjauh menghindar dari kecupan yang akan Aurel berikan pada telinganya. Regan masih bisa mengingat apa maksud yang tubuhnya rasakan.

What did you do?” Lontarnya dengan nada yang dijepit memberikan efek menggemaskan disana. Namun menggelikan bagi Regan.

I Gotta go.” Tangan Regan dengan lembut mencengkram pundaknya dan mendorongnya sedikit agar memberi jarak antara mereka. Regan masih terus membuka dan menutup matanya supaya tetap pada kesadarannya. Ia sadar bahwa ini adalah salah.

“Tapi malam kita baru mulai, loh? Mau pergi kemana sih? Kita kan jarang banget having fun berdua.”

Daripada terus berlama-lama, Regan memilih untuk melangkahkan kakinya begitu cepat dan meninggalkan Aurel sendirian. Menghiraukan panggilan yang dapat membuat seluruh warga disana terbangun.


Begitu susah nya ia mengemudi kendaraan beroda empatnya untuk sampai ke rumah dengan selamat, dalam keadaan pengaruh obat-obatan. Sepanjang jalan tiada hentinya ia menyumpahi Aurel agar mati segera, mungkin terdengar berlebihan namun siapa yang tidak marah diberi obat seperti itu tanpa seizinnya? Bahkan sudah bertelanjang di depan laki-laki yang sudah memiliki anak dan istri.

Belum perjalanan dari apartemen Aurel menuju rumahnya terbilang cukup jauh. Jika kalian akan menyumpah serapahi Regan sekarang, pernahkah kalian berpikir untuk berada di posisi nya? Yang harus menuruti wanita gila itu dengan ancaman akan bunuh diri. Mengimbangi istrinya di rumah. Pekerjaannya yang terbengkalai karena wanita itu lagi.

Setelah berjuang mati-matian, akhirnya ia dapat melihat pagar rumahnya. Ia memarkir mobil ditempat biasa ia menaruh mobilnya. Entah mengapa, obat itu semakin lama semakin terasa panas didalam tubuhnya. Ia menahan sekuat tenaga agar istrinya tidak curiga.

Tok Tok Tok!

Suara ketukan pintu pelan mengiringi heningnya malam. Ketenangan yang diinterupsi di rumahnya sendiri. Jam di telepon genggamnya menunjukkan pukul dua malam, tetapi ia baru saja melangkahkan kaki di pekarangan rumah. Tak lama, sang istri tercintanya keluar dengan rambut yang berantakan dan sepasang bola mata yang masih tertutup rapat.

“Mas Regan?” Tanyanya memastikan.

Regan yang sedari tadi menunduk menepis rasa aneh di tubuhnya, akhirnya mengangkat pandangan dan menatap wanita di depannya. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung melangkahkan kakinya masuk dan berjalan memasuki kamar untuk beristirahat, seraya berjalan ia melepaskan satu persatu pakaiannya.

“Mabuk lagi?” Tanya Debora sekali lagi.

Lawan bicaranya menoleh, “Sedikit.”

Namun matanya berkata lain. Kedua bola mata itu merah dan tidak terbuka selebar biasanya. Juga harum alkohol yang masih melekat kuat pada pakaian nya. Kejadian seperti ini jarang didapatkan, hanya mungkin sesekali ketika Regan izin berpesta di kantornya dan pulang dengan supir. Jika pulang sendirian dalam keadaan mabuk seperti ini sangat jarang terjadi.

“Besok ke Surabaya kan? Kok belum siap?” Lantur Regan tak lagi menatap Debora. Satu tangannya berpegangan pada lemari coklat setinggi pinggang nya, dan tangan lainnya memegang kepalanya yang pening luar biasa.

Dengan tangan yang dilipat didepan dada, “Gak usah, aku sendiri juga bisa.” Ucapnya.

Regan menoleh kebelakang agar dapat melihat Deboora, “Maksud lo?” Alisnya menyatu tidak suka. Debora dengan kesadaran penuhnya, menaruh tangan di pinggangnya dan ikut menatap suaminya tidak suka. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak terlihat lemah lagi di depan siapapun.

“Waktu aku tanya kamu jadi atau nggak, kamu bilang nanti kamu kabarin lagi. Tapi sampe sekarang kamu belum kasih kepastian mau jadi apa nggak.” Bantah perempuan berpakaian piyama dengan tangan yang masih setia berlipat didadanya.

“Gue kan suruh lo untuk pesan tiket nya tiga? Gue, Lo, sama Bima.” Tekannya tersulut emosi. Debora tertawa sinis dan menatap ke lain arah, merasa mual terus menerus menatap pria di depannya itu. Rasanya hanya akan percuma jika menjawab.

Debora menyisir sorainya kebelakang dengan satu kali gerakan. Menelan air liur di mulutnya yang tiba-tiba terasa begitu penuh, “Kamu gak konfirmasi lagi. Nanti siang udah terbang pesawat nya.” Lalu melangkahkan kaki melewati Regan dan masuk ke kamar.

Pria setengah sadar itu mengikuti di belakangnya.

Di dalam kamar Debora membereskan pakaian yang akan nanti ia bawa, sebenarnya semuanya sudah siap di dalam koper. Namun beberapa perlengkapan lainnya di masukan diakhir persiapan seperti perlengkapan mandi, beberapa produk kecantikannya, dan perlengkapan Bima.

Mata Regan terus mengikuti pergerakan Debora meski pandangannya buram dan kurang jelas, “Kenapa? Takut ketahuan cowok lo ya?” Entah apa yang ada dipikirannya, hanya sepatah kalimat aneh yang dilontarkan.

“Jaga mulut kamu.” Tegas Debora benar-benar tersinggung.

“Terus apa? Lo emang sengaja kan gak pesen tiket biar lo bisa sendirian dan berduaan sama cowok lo yang di Surabaya? Ngaku aja, akal busuk lo ketauan.”

Debora menghela napas berat, ia juga berdiri dari jongkoknya dan berkata, “Harusnya aku yang bilang kaya gitu! Aku ke Surabaya kan kamu jadi sendirian, jadi enak dong bisa puas ketemu sama cewek mu itu!” Jari telunjuknya mengacung tegak menunjuk keluar kamar, “Malah nuduh aku punya cowok lain. Harusnya kan aku yang marah?” Gumamnya seraya melanjutkan kegiatan mengemas.

“Lagi pula aku sama Bima, mana mungkin sih aneh-aneh?” Ucap Debora setengah berteriak.

“Gak.”

Debora menoleh, “Nggak?”

“Bima gak ikut.” Alis tebal Debora menyatu keheranan, sama sekali tidak bisa paham bagaimana pola pikir pria mabuk ini.

“Kamu bisa urus Bima?” Tanya Debora menantang.

“Gue gak tau apa yang bakal lo lakuin di luar sana, gue cuma gak mau Bima kena imbas nya.” Jelasnya dengan suara yang serak kehabisan napas. Namun ia masih kukuh pada pendirian tidak jelasnya itu.

Debora berjalan mendekati Regan dengan tatapan horor yang tak lepas sedetik pun, “Kamu pulang mabuk begini aja aku gak banyak tanya abis ngapain aja? Kamu diluar nganu sama orang selain aku, aku gak banyak tanya. Kamu kalau gak bisa ngomong yang baik sama aku mending diem atau keluar sekalian dan jangan pernah pulang lagi. Aku bisa hidup tanpa kamu.”

“Kamu bilang bisa urus Bima kan? Buktiin, aku dua minggu di Surabaya. Gausah cari aku.”

Lalu Debora melangkahkan kakinya keluar meninggalkan rumah yang rasanya seperti neraka baginya.