Teman?
Sesuai dengan janji nya pada Debora, ia mandi sebelum bertemu dengan istrinya. Dengan rambut yang masih setengah kering Regan masuk kedalam kamar Debora. Ya, meskipun sudah hampir 1 bulan mereka menikah namun masih pisah kamar.
Regan membuka pintu tanpa permisi. Langsung ditatapnya gundukan selimut berwarna putih tulang yang sedikit bergetar tak karuan. Tanpa pikir panjang lagi, Regan langsung membuka selimut itu untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Pikirannya kosong seketika ketika melihat bibir juga pundak istrinya bergetar hebat.
“Hey? Ada apa? Mana yang sakit?” Nada bicara yang jarang Regan lontarkan untuk Debora tentunya.
Ia rengkuh relung hangat itu. Menyalurkan rasa takut yang menyerang secara tiba-tiba juga getar ditangannya yang ia tahan sekuat tenaga. Rasa panik menguasai dirinya tapi dengan susah payah masih berusaha tetap tenang.
“Dingin..”
“Iya sebentar, ya..”
Tangannya dengan cepat mengambil ponsel dan mulai menelepon adiknya yang kebetulan berkuliah dijurusan kedokteran. Pasti ia akan mengerti situasi ini.
“Ya? Halo? Kenapa bang?”
“Dek, jadi tadikan gue abis keluar sama temen-temen. Gak minum sih cuma dua batang aja yang mentol, tapi udah makan kok-”
“Intinya apa? Langsung aja.”
“Tadi Debora cerita itu kan sama gue kayanya dia nangis kelamaan gitu, sekarang dia demam terus katanya dingin. Badannya gemeter terus bibirnya juga pucet.”
“Okeoke lo tenang dulu, kira-kira dari Kak Deb cerita terus nangis udah berapa lama?”
“Mungkin 2 jam yang lalu.”
Kemudian hening, “Dehidrasi doang ini. Sama gejala stress.”
“Lo apain sampe bisa stress gini?”
“Obatnya apaan aja ini?”
“Kasih paracetamol, minum air yang cukup, istirahat.”
“Oke makasih.”
“Ayo dimakan dulu.” Ucap Regan sambil mencondongkan sendok ke mulut Debora. Namun lagi dan lagi Debora menolak dengan alasan mulutnya tidak ada rasa.
Regan mengacak rambutnya frustasi dan menaruh mangkuk makanan Debora diatas nakas yang ada disebelahnya. Ia menunduk entah dengan alasan apa kemudian kembali mengangkat pandangannya dan meraih kaki Debora disana. Ia usap secara lembut dan penuh kasih sayang.
Benteng pertahanan itu runtuh untuk hari ini.
“Pasti aku ganggu waktu ngumpul kamu sama temen-temen kamu ya? Balik lagi aja gapapa, aku bisa sendiri kok. Cuma kecapean aja mungkin kemarin begadang hehe.” Gigi kelinci lucu itu tetap terpampang jelas meski bibirnya terlihat pucat
Regan menepuk dada bidangnya, dan berkata “Bagi-bagi sedihnya.”
Tatapan juga ucapannya berhasil membuat Debora terdiam untuk beberapa detik. Lamunannya dipatahkan dengan ucapan Regan lagi yang berbunyi, “Jangan sedih sendirian.”
“Boleh?”
Anggukan lemah dan senyuman tipis langsung membuat tangis Debora percah seketika, secara perlahan juga memeluk tubuh Regan. Hati Regan terasa tersayat pisau, entah memang hatinya sudah diciptakan untuk tidak boleh mendengar wanitanya menangis.
Untuk kedua kalinya, ia mendapatkan kehangatan ini lagi.
Yang pertama saat pernikahan mereka, hanya ada rasa kekesalan disana. Hari ini rasa itu berbeda. Hanya ada rasa nyaman juga kehangatan yang saling mereka salur kan.
“Temen aku nuduh aku hamil diluar nikah makanya aku nikah muda, Katanya butik aku juga bentar lagi bangkrut padahal aku juga lagi berusaha untuk gedein butik ku. Gak gampang lho mas.. Mereka juga bilang aku jual diri..”
Sang suami yang tadinya mendengarkan ikut tersulut emosinya.
“Ngga itu gak bener..”
“Ya aku tau, tapi aku tuh udah anggap mereka sahabat gitu lho... Kalo mereka pergi aku gak punya temen lagi..”
“Masih ada Qiya, ada Bunda, Ayah, Papah. Semuanya temen lo sekarang.”
“Kalo aku gagal lagi gimana?”
“Nanti gue bimbing sampe berhasil.”