Titik darah penghabisan

Degup jantung yang tak lagi beraturan, juga lutut yang tak lagi bisa menopang batang tubuh jangkung pria berkacamata itu. Entah speedometer mobilnya hampir rusak karena terlalu cepat dan tak terkendali. Pengemudi itu terlampau panik sehingga pikirannya tak dapat berpikir dengan jernih terlebih hanya untuk mengendalikan kemudi.

Setelah membaca pesan teks dari adiknya, ia langsung gelagapan mencari kunci mobil dan bergegas pergi. Makanan yang sedang ia makan saat itu pun ia tinggal begitu saja.

Ketika sampai, Regan langsung berlari memasuki rumah sakit menuju ruangan yang sudah dipesankan. Untung saja ada Qiya, adiknya. Jadi lebih tanggap untuk menghadapi masalah darurat seperti ini, biarpun begitu tak mampu meredakan sesak di dadanya.

Bagaimana tidak? Belum ada 2 jam mereka saling bertukar pesan, lalu menerima pesan seperti tadi.

Ruang 209. Matanya dapat menangkap Bunda dan Qiya disana. Bergegas Regan langsung menghampiri kedua perempuan itu diikuti dengan Ayah dan Papa mertuanya di belakangnya, yang berarti adalah ayah dari Debora.

“Gimana? Debora, anak Regan. Mereka nggak apa-apa kan? Iya kan?” Tiba-tiba ada rangkulan lembut menyambut pundaknya. Telapak sang ayah, yang mengusap perlahan pundak anak sulungnya hendak menenangkan sedangkan semuanya merasakan panik yang sama.

Qiyani, Adiknya. Ikut mengusap pundak Regan dan menjawab, “Sekarang udah nggak apa-apa. Lo gak perlu panik, mending masuk sana temenin Kak Debora nya.”

Regan tebarkan pandangannya untuk menatap semua orang disana, mereka dengan kompak memberikan tatapan yakin dan anggukan mempersilahkan. Tentu, suaminya harus menemani istrinya melahirkan bukan? Untuk pertama kalinya.

Tanpa banyak pikir lagi, pria itu langsung melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam. Perasaannya campur aduk disana, ada senang, sedih, haru, takut, terkejut, semuanya ada dalam waktu yang bersamaan. Dapat dipandang, Debora dengan keringat bercucuran di dahi dalam keadaan perut yang sudah sangat besar juga kaki yang ditekuk dan sudah ditutupi kain.

“Mas?” Lirih perempuan itu.

Dengan sigap Regan langsung mendatangi ranjang lembut yang ditiduri istrinya. Langsung ia cengkram kuat-kuat tangan kecil yang selalu jadi kesukaannya. Tangan lainnya menyisir surai kecoklatan panjang yang basah karena keringat.

Tak lupa ia salurkan rasa paniknya melalui kecupan lama di pelipis wanitanya.

“Kuat ya.” Tanpa melepas bibirnya dari tempat kesukaan nya itu. Tiada tatapan saling menguatkan, hanya cengkraman yang semakin kuat.

Dengan suara serak hampir menangis, Debora berkata, “Temenin aku ya, Mas?”

“Pasti sayang, pasti.” Ucapnya dengan sebegitu yakinnya. Baru ia lepaskan kecupannya ketika beberapa bidan datang untuk memulai persalinan.

Hal yang tak pernah Regan bayangkan sebelumnya. Dulu, ia hanya melihat perut sang ibunda yang semakin hari semakin membesar. Tentu ia tidak tahu bagaimana caranya mengeluarkan isi perut besar itu, semata-mata melihat secara tiba-tiba datang seorang bayi berwarna merah masuk ke dalam kehidupannya. Yang diberi nama Qiyani, oleh sang ayah.

Tetapi hari ini, hari yang tidak akan pernah Regan lupakan sampai selamanya. Dimana anak pertamanya datang kedunia dengan sambutan yang tiada tara. Dimana keringat sang istri tercinta keluar tanpa adanya tanda akan berhenti saat itu juga. Genggaman saling menguatkan dan ucapan untuk memberi semangat, sudah dikeluarkan bagaimanapun bentuknya.

Hanya dengung yang terdengar di telinga Regan. Otaknya tidak bisa menerima ucapan dalam bentuk apapun. Nafasnya juga tak beraturan, entah bagaimana dengan Debora.

“1.. 2.. 3.. Iya, teken ya bunda..”

Debora mengikuti instruksi nya.

Sampai terdengar..

Suara tangisan menggelegar.

“Selamat ya, bapak Regan dan Bunda Debora.. Bayinya laki-laki.”

Barisan gigi Regan seolah berontak ingin menampakan diri mereka. Sungguh tak kuasa menahan senyuman juga tangisan haru yang luar biasa rasanya. Sulit untuk dijelaskan, seperti bangga juga tak menyangka beradu di dalam hatinya.

Langsung ia memeluk erat istrinya yang masih terbaring lemah di ranjangnya. Beribu-ribu kali ia ucapkan terima kasih tepat ditelinga Debora. Tak tau lagi ucapan apa yang harus diucapkan demi mengutarakan rasa senang yang ada dihatinya sekarang.

Tiga kali Debora menepuk punggung suaminya dan berkata, “Aku berhasil ya?”

Sambil mengeratkan pelukannya, Regan menggangguk dan menjawab, “Iya cantik. Kamu berhasil, Terima kasih banyak.”

Selamat datang Bimasena keanu Gazham.