Wanita.
“Raya udah tidur?” Tanya pria berkepala tiga sebagai basa-basi ketika wanita yang ia tunggu datang dengan beberapa makanan di tangannya. Seraya mendaratkan bokongnya dibangku yang berada tak jauh dari sang pria, wanita berstatus temannya itu mengangguk mengiyakan dengan wajah datar tanpa emosi dan ekspresi.
Ketika menemukan posisi nyaman duduknya, wanita itu membetulkan posisi kacamata yang ia gunakan agar lebih naik dan berkata, “Mau curhat apa? Tumben banget lo mau curhat sama gue?” Ucapnya. Karena benar adanya, selama hampir sepuluh tahun berteman tidak pernah sekalipun pria di depannya itu mencurahkan hatinya padanya. Biasanya hanya akan untuk teman lelakinya atau tidak sama sekali.
Pria yang kaku tak tau memulai dari mana memilih untuk mengambil makanan yang disediakan dan memakannya setengah bagian, kemudian berkata, “Cuma mau curhat dan tau pandangan dari seorang perempuan aja, kalo ke Jul yang ada gue dimarahin.” Tuturnya jujur. Semua orang di kampusnya pasti mengetahui keberadaan Juliet, disitu ada Remora.
Wanita bernama Remora itu mengangguk paham dan diam menunggu teman di depannya melanjutkan tuturan yang ia niat sampaikan.
Perasaan penasaran kembali menggebu ketika pria bernama Regan itu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak dan menatap matanya intens, seolah akan berbicara sesuatu yang rahasia dan begitu penting.
“Opini lo tentang perselingkuhan.”
Remora menyatukan alis tebalnya heran. Teman didepannya ini sangat jarang berinteraksi, hanya sekedar saling sapa dan kenal. Namun sekalinya mengobrol intens justru melontarkan pertanyaan yang aneh menurutnya karena ia tak tahu apa konteks dan apa maksudnya.
“Apapun, kasih tau gue.”
Karena kebingungan, Remora membungkukkan tubuhnya dan kedua tangannya bertengger diatas paha kekar miliknya, ia balik bertanya, “Maksudnya apa? Lo mau selingkuh? Debora ketahuan selingkuh? Atau gimana?” Ketika dua manusia tidak suka basa-basi dipertemukan, beginilah jadinya.
Regan memutar bola matanya dan sedikit berpikir berpikir kembali atas pertanyaannya yang baru saja ia lontarkan. “Bukan begitu, brengsek. Gue cuma mau tau aja opini dan pandangan lo tentang perselingkuhan bukan gue atau Debora selingkuh.” Ucapnya dengan suara yang pelan di akhir kalimat entah kenapa.
Mendengar itu, Remora kembali menyandarkan punggungnya pada sofa yang ia duduki, sambil memakan kue buatannya yang kesekian kalinya. Pandangannya tak luput dari mata lawan bicaranya demi melihat kebenaran dari tatapannya. Ketika menemukan sesuatu dari pandangan itu secara otomatis Remora tersenyum miring dan tertawa singkat, entah, menurutnya ini suatu hal yang lucu.
“Siapa yang dateng?”
“Ngaku aja, Re, siapa yang dateng?” Tanya Remora langsung pada intinya. Regan adalah salah satu orang yang memiliki peran di kampus mereka dulu, jadi mengenai hubungannya yang ia jalin, Remora cepat mengetahuinya tanpa harus bertanya pada orangnya langsung.
Karena merasa tertangkap basah, Regan langsung mengalihkan pandangannya. Cepat mengerti dan paham adalah salah satu kemampuan Remora yang tidak diketahui Regan. Tadinya ia hanya akan bertanya tentang bagaimana cara wanita di depannya memandang sebuah perselingkuhan, tak disangka niat aslinya diungkap.
“My ex.” Jawab Regan dengan suara kecil.
Lagi dan lagi, Remora mengangguk paham dan merasa menang karena mendapatkan jawaban yang harapkan. Sembari menunggu lanjutan dari ucapan Regan barusan, Remora terus menatap matanya dan memakan kue di tangannya.
Disisi lain, Regan yang sedang bergelut dengan pikirannya yang disatu sisi ia tak mau urusan rumah tangganya diikut campuri orang lain namun sudah terlanjur terucap. Disisi lain pula ia kebingungan tentang perasaan yang tak jelas arahnya mau kemana. Rasa rindu kembali ada namun rasa cinta yang kental dan telah dijanjikan tak akan pernah hilang. Rasa rindu dengan hubungan yang bervariasi namun kembali pada masa lalu, dan rasa cinta yang membantunya melupakan masa lampau. Semuanya bersatu menjadi satu.
Rasa bersalah tentu ada pastinya, terkadang rasanya lelah terus berbohong kepada hatinya sendiri. Oleh karena itu, bercerita kepada wanita bernama Remora inilah jawabannya menurut sang pemilik perasaan tersebut. Manusia paling netral dan tidak pernah memihak siapapun, ia hanya akan berdiri dengan pemikirannya.
“Did you still love her?” Tanya wanita dengan satu anak itu. Nada bicaranya sama sekali tidak terdengar menyalahkan, hanya seperti pertanyaan santai bahkan ia melontarkannya seraya mengupas kuaci dengan tangan dan mulutnya. Tatapannya juga tidak mengintimidasi. Justru dengan itu lawan bicaranya semakin gelagapan karena pertanyaan yang ia takutkan akhirnya dilontarkan.
“Sorry.”
“No, You’re not.”
“Iya, Mor, Iya!” Bantah Regan dengan nada bicara satu oktaf lebih tinggi. Menyadari emosinya yang lepas kendali, Regan langsung menarik napas panjang dan menyisir rambutnya ke belakang dan membiarkan pembicaraan hening seketika.
Remora dengan santainya masih terus memakan kuaci dan mengambilnya ketika selesai memakan satu demi satu.
“Sorry, gue kelepasan.” Ucapnya kemudian bangun dari duduknya beranjak meninggalkan obrolan yang belum selesai. Perasaan tidak enak dan bersalah karena membentak mendominasi Regan yang mengharuskannya untuk melakukan itu. Baru beberapa langkah, ucapan Remora membuat langkah kakinya terhenti tanpa perintah. “Lo gak cinta sama dia, Re. Lo cuma kangen kenangannya.”
Regan menoleh dan membuka mulutnya untuk mejawab, namun dipotong suara Remora yang lekat dan mendominasi, “Lo udah bikin lebih banyak kenangan sama istri lo sekarang. Gausah coba-coba yang lain.” Sambil berjalan keluar meninggalkan balkon tempat mereka mengobrol.
Menyisakan Regan yang diam bergelut kembali dengan pikiran dan perasaannya.