Yanda
Kehangatan yang dulu selalu menyelimuti hati Bianca, kini ia kembali kunjungi bangunan kokoh yang berdiri sejak sebelum ia dilahirkan. Sambutan hangat dari kedua orang tuanya membuat tangis yang sedari tadi Bianca tahan hampir saja pecah.
“Udah makan belum, cantik? Kok sendiri aja? Anak-anak mana?” Tegur Sang Ibunda.
“Lagi pada sibuk, Julio ada pendalaman, Jeanno juga, Marco masih ada kelas. Jadi Cia sendirian.”
Laki-laki yang ia panggil Yanda itu langsung menuntun anaknya untuk duduk dibangku didekat mereka. Rambutnya sudah memutih sempurna tak ada sisa. Yanda juga sudah mulai sulit berjalan karena tulang di lututnya mulai mengerepos.
“Apa kabar, Nda? Maaf Cia baru sempet mampir sekarang.”
Yanda menggeleng keras, “Nggak apa-apa, cantik. Yanda ngerti. Yanda sehat, sangat sehat. Ada Bunda yang mengurus Yanda juga.” Yanda menunjuk ke arah dapur, dimana wanita yang ia sebut Bunda itu berada.
“Gimana anak-anak, Cia? Sehat semuanya kan?”
“Sehat, Nda. Udah mulai pada sibuk jadi jarang di rumah. Makin jarang ketemu sama Cia.”
Yanda mengusap pundak Bianca, “Itu ada masanya. Dulu, kamu juga begitu. Lebih ke sok sibuk sih jatuhnya.”
“Ih!—Nggak ya! Aku dulu beneran sibuk tau..” Yanda terkekeh mendengar elakan anaknya.
Tiba-tiba keduanya diam.
“Kamu belum punya pacar, Cia?” Pertanyaan itu membuat Bianca tersedak teh buatan Ibundanya.
“Kok kaget? Yanda serius nanya lho, Ci.”
“Yanda tuh ada benernya, Cia. Anak-anak udah makin gede harusnya paham kalau bundanya juga butuh pendamping. Apalagi nanti mereka bakal nikah, bakal punya istri.”
“Nggak tau deh kalau itu. Baru aja tadi malam Cia denger Marco sama Jeanno ngobrol kalo Jean itu penasaran gimana bentuk ayahnya.” Yanda dan Bunda saling melempar tatap.
“Terus Cia berpikir, ada benernya. Cia gak pernah sama sekali cerita tentang Jeffran ke mereka, bahkan mereka gak tau harus manggil sosok ayah itu dengan panggilan apa.”
Bianca menggigit bibirnya resah, “Sebenarnya Cia salah gak sih, Nda, Bun? Cia cuma gak mau bikin mereka benci sama ayahnya sendiri.” Bianca menatap Yanda dan Bunda bergantian meminta jawaban yang lebih memuaskan dibanding tatapan heran mereka.
“Kata Jean betul, ada sudut pandang yang gak aku ngerti. Mungkin ada beberapa pemikiran Jeffran yang aku gak ngerti.”
Bunda meraih tangan Bianca dan mengusapnya beberapa kali dengan niat menenangkan, “Bunda tau—perpisahan kamu sama Jeffran terlalu menyakitkan. Bunda sangat mengerti, dan bahkan salut sama kamu. Kalau Bunda yang ada di posisi kamu mungkin bunda gak akan kuat.”
Bunda menatap mata Bianca lamat-lamat. “Tapi anak juga butuh sosok ayah. Kamu gak bisa bilang kamu bisa jadi ayah dan ibu sekaligus. Itu bohong, Cia. Nyatanya gak bisa.”
“Bunda bener, Cia. Anak-anak kamu udah besar. Mungkin dengan kamu cerita, mereka bisa menilai dengan pemikiran mereka sendiri.” Sahut Yanda.
Bianca menatap Bunda dan Yanda bergantian. “Nggak harus sekarang. Nanti saat kamu siap.” Ucap Bunda ketika melihat keraguan yang luar biasa dimata Bianca.
“Kalo mereka mau ketemu sama Jeffran gimana? Aku gak siap, Bun..”
“Bunda juga gak yakin setelah denger cerita kamu mereka masih mau kenal sama Jeffran atau nggak.”