Yoga?
Dengan perlahan-lahan, aku membuka mata. Sedikit sulit karena yang ku tangkap pertama kali saat membuka mata adalah tempat dimana aku dan teman-teman ku tinggal.
Kost.
Yang aneh nya, aku merasakan disana begitu dingin dan sangat amat sunyi. Aku bahkan bisa mendengar deru napas ku sendiri disana.
Tempatnya masih sama saat terakhir kali kami tinggalkan, rapih dan bersih. Hanya tersisa beberapa foto anak muda yang pernah tinggal disana juga.
Aku menelusuri ruangan yang biasanya kami menyebutnya dengan ruang kumpul.
Banyak foto-foto ku dan teman-teman ku disana. Masih dengan aura yang sama, menenangkan.
Sampai satu suara yang mengambil seluruh atensi ku, aku kenal betul suaranya. Makanya saat mendengarnya aku terkejut bukan main.
“Regan? Lo ngapain disini?”
“Yoga?”
Teman ku yang bernama Yoga ini terdiam namun senyuman sangat tipis terukir dibibir nya. Juga matanya yang menyimpan banyak luka didalamnya, aku masih ingat betul tatapan itu.
“Seharusnya lo belum disini, Re.”
“Seharusnya gue gak ketemu lo disini, Yo.”
“Lo masih Re yang gue kenal, Pembangkang.”
Kemudian Yoga memutar tubuhnya dan berjalan kesalah satu ruangan. Ruangan ku.
Kamar itu sekarang kosong. Tak seperti saat aku menempatkannya. Ruangan itu seperti... mati.
Yoga duduk dilantai dengan memangku buku tebal berwarna coklat lusuh. Entah kapan ia mengambilnya, tapi aku tak terlalu memperdulikan nya. Sampai ia menepuk lantai disebelahnya, memintaku untuk duduk disebelahnya.
Apa salahnya menurut?
“Lo masih inget ini gak sih, Re?”
Ditunjuk nya salah satu foto. Aku bisa melihat Johan, Dilan, Hasbi, Yoga, dan Diri ku disana. Aku berusaha memutar memory yang ada didalamnya.
“Ini pas pertama kalinya Dream band dibuat, Inget?”
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Moment yang sedikit haru menurut ku, ternyata mereka sudah lama bersama-sama.
Yoga membuka lembaran selanjutnya. Hati ku sempat menghangat saat melihat kembaran itu.
“Kalo yang ini, Hasbi yang minta buat taro hal terbaik dalam hidup kita. Hasbi taro nyokap nya, Dilan taro kakak perempuannya, Johan taro motor kesayangan nya, Gue taro gitar kesayangan gue, Dan lo taro Adek lo disana.”
Foto 'ku dan Qiya saat masih berusia 12 dan 6 tahun saat itu. Memang kehadiran Qiya adalah satu-satunya hal yang paling ku tunggu dibumi ini pada saat itu.
Tapi aku harus berpisah dengannya, hanya karena sebuah kisah cinta yang ku dengan bodohnya pertahankan.
“Lo liat disana.” Perintah Yoga.
Ia menunjuk jendela luar yang langsung mengarah ke taman, padahal dulu pemandangan nya seekor ayam yang akan buang air di jendela nya.
Aku melihat Ayah memeluk erat Qiya disana. Qiya berteriak histeris dan bahkan Ayah juga menangis disana.
Dengan cepat aku bangun dari duduk ku dan menghampiri jendela itu, kemudian aku berteriak
“AYAH? QIYA KENAPA?” ku jamin ayah akan mendengar suara lantang ku. Namun nihil.
Yoga merangkul pundakku dan berkata, “Mereka tuh sedih tau lo disini, lo tau sendiri gimana gila nya lo kalo udah ngekost sama kita kan?”
“Lo gimana?”
“It's been two years, Re. Ikhlasin gua, ya?”
Aku menepis tangannya dan membalik tubuh ku, menatap dua bola mata itu secara bergantian.
“Pergi, Re. Nanti Hasbi gila lagi.”
Seperkian detik kemudian aku merasa badan ku ditarik kencang hingga aku tak bisa melihat jelas apa yang ku lihat
DOK! DETAK JANTUNG NYA KEMBALI! Jangan pernah kembali kesini, Re.