matematiqa

Suasana hati Naomi seketika berubah ketika mendapati perkataan-perkataan kurang enak dari pacarnya. Ia langsung memasukkan handphonenya kedalam tas dan mencari kunci motor untuk bergegas menghampiri rumah pacarnya.

Melihat pergerakan Naomi yang terlihat buru-buru, sorot mata Nathan mengikuti setiap pergerakan temannya itu.

“Mau kemana sih?!” Ucapnya setengah berteriak dan dengan nada yang sedikit kurang mengenakkan, suara gaduh dari Marching Band membuat Nathan harus meninggikan suaranya.

Naomi menoleh dan mendekatkan mulutnya ke telinga Nathan supaya meminimalisir teriakan, “Ke Kak Davin. Gue berantem lagi.” Mendengar itu reaksi Nathan hanya memundurkan wajahnya dan memutar bola mata, memastikan Naomi melihat tatapannya itu.

Sementara Naomi yang sudah paham akan reaksi Nathan hanya bersikap acuh dan kembali membereskan sampah-sampah bekas jajanannya. Nathan adalah salah satu orang yang tidak menyukai Davin sejak beberapa bulan ini, meskipun Davin adalah teman baiknya.

“Gue anter ya?” Ujaran Nathan membuat pergerakkan Naomi berhenti sejenak, kemudian menggeleng dan menunjukkan kunci motor yang sudah ia temukan didalam tas.

Tanpa aba-aba langsung Nathan meraih pergelangan tangan yang memegang kunci itu, dan berjalan tergesa-gesa menuju gerbang keluar. Dengan rasa kebingungan, Naomi mengikuti derap langkah besar itu kemanapun ia pergi. Sampai didepan gerbang, langkah Nathan terhenti karena merasakan getaran notifikasi pesan sebanyak tiga kali pada saku celananya. Tangan kiri membuka handphonenya tanpa melepas cengkraman pergelangan tangan kanannya.

Wajah Nathan berubah serius, baru ia melepas cengkraman tangan Naomi saat ingin membalas pesan tersebut. Jarinya berkutik begitu cepat disana, timbul rasa penasaran namun Naomi enggan bertanya.

Seraya menunggu, Naomi hanya diam dan mengusap-usap lengannya berlagak kedinginan. Tubuhnya terasa kurang enak badan sebab belakangan hari ini cukup melelahkan. Mungkin didukung karena mendekati tanggal kedatangan tamu.

Lima menit kemudian Nathan memperlihatkan isi pesan teks yang ada disana.

Kak Davin.

Naomi hanya membaca pesan teks yang paling atas. Yang dapat ia simpulkan itu pesan yang ia kirim sehingga Nathan menghentikan langkahnya tadi.

Gue capek banget, than Gue ngelakuin semua hal buat dia tapi balesan dia kaya gini Semua udah gue lakuin buat dia, bayarin makan, anter jemput, bahkan gue sampe hampir ketabrak setiap kali gue jemput dia than. gue capek ngerasain feedback yang gak setimpal.

Suasana hati Naomi seketika berubah ketika mendapati perkataan-perkataan kurang enak dari pacarnya. Ia langsung memasukkan handphonenya kedalam tas dan mencari kunci motor untuk bergegas menghampiri rumah pacarnya.

Melihat pergerakan Naomi yang terlihat buru-buru, sorot mata Nathan mengikuti setiap pergerakan temannya itu.

“Mau kemana sih?!” Ucapnya setengah berteriak dan dengan nada yang sedikit kurang mengenakkan, suara gaduh dari Marching Band membuat Nathan harus meninggikan suaranya.

Naomi menoleh dan mendekatkan mulutnya ke telinga Nathan supaya meminimalisir teriakan, “Ke Kak Davin. Gue berantem lagi.” Mendengar itu reaksi Nathan hanya memundurkan wajahnya dan memutar bola mata, memastikan Naomi melihat tatapannya itu.

Sementara Naomi yang sudah paham akan reaksi Nathan hanya bersikap acuh dan kembali membereskan sampah-sampah bekas jajanannya. Nathan adalah salah satu orang yang tidak menyukai Davin sejak beberapa bulan ini, meskipun Davin adalah teman baiknya.

“Gue anter ya?” Ujaran Nathan membuat pergerakkan Naomi berhenti sejenak, kemudian menggeleng dan menunjukkan kunci motor yang sudah ia temukan didalam tas.

Tanpa aba-aba langsung Nathan meraih pergelangan tangan yang memegang kunci itu, dan berjalan tergesa-gesa menuju gerbang keluar. Dengan rasa kebingungan, Naomi mengikuti derap langkah besar itu kemanapun ia pergi. Sampai didepan gerbang, langkah Nathan terhenti karena merasakan getaran notifikasi pesan sebanyak tiga kali pada saku celananya. Tangan kiri membuka Handphonenya tanpa melepas cengkraman pergelangan tangan kanannya.

Suasana hati Naomi seketika berubah ketika mendapati perkataan-perkataan kurang enak dari pacarnya. Ia langsung memasukkan handphonenya kedalam tas dan mencari kunci motor untuk bergegas menghampiri rumah pacarnya.

Melihat pergerakan Naomi yang terlihat buru-buru, sorot mata Nathan mengikuti setiap pergerakan temannya itu.

“Mau kemana sih?!” Ucapnya setengah berteriak dan dengan nada yang sedikit kurang mengenakkan, suara gaduh dari Marching Band membuat Nathan harus meninggikan suaranya.

Naomi menoleh dan mendekatkan mulutnya ke telinga Nathan supaya meminimalisir teriakan, “Ke Kak Davin. Gue berantem lagi.” Mendengar itu reaksi Nathan hanya memundurkan wajahnya dan memutar bola mata, memastikan Naomi melihat tatapannya itu.

Sementara Naomi yang sudah paham akan reaksi Nathan hanya bersikap acuh dan kembali membereskan sampah-sampah bekas jajanannya. Nathan adalah salah satu orang yang tidak menyukai Davin sejak beberapa bulan ini, meskipun Davin adalah teman baiknya.

“Gue anter ya?” Ujaran Nathan membuat pergerakkan Naomi berhenti sejenak, kemudian menggeleng dan menunjukkan kunci motor yang sudah ia temukan didalam tas.

Tanpa aba-aba langsung Nathan meraih pergelangan tangan yang memegang kunci itu, dan berjalan tergesa-gesa menuju gerbang keluar. Dengan rasa kebingungan, Naomi mengikuti derap langkah besar itu kemanapun ia pergi. Sampai didepan gerbang, langkah Nathan terhenti karena merasakan getaran notifikasi pesan sebanyak tiga kali pada saku celananya. Tangan kiri membuka Handphonenya tanpa melepas cengkraman pergelangan tangan kanannya.

Begitu banyak pesanan kue yang harus diantarkan, biasanya akan ada Aji yang siap membantu mengantarkan kue-kue itu. Namun hari ini Liana harus mengantarkannya sendiri.

Kondisi badannya tidak terlalu fit dikarenakan beberapa hari ini ia tidur larut malam dan bekerja terlalu keras. Tanpa pikir panjang Liana tetap mengantarkan kue-kue itu kepada pemiliknya.

Kendaraan roda dua ia gunakan, dengan beberapa tumpukan kue di depan dan di belakang. Meskipun sudah berusaha agar tetap fokus, kepalanya yang terasa berat mengharuskan Liana untuk melipir sebentar dan sedikit memijat kepalanya sambil sesekali meringis kesakitan.

Setelah ia rasa reda, akhirnya Liana melanjutkan perjalanan.

Satu kue telah diantarkan.

Lalu tiba-tiba..

BRAK!

Pandangannya gelap. Tidak hanya kepalanya, kini dada dan kakinya terasa sakit luar biasa. Berusaha ia kedipkan matanya beberapa kali supaya mengembalikan pandangannya yang tiba-tiba buram.

Samar-samar ia dengar suara teriakan, kini ia pandang langit biru menuju senja. Liana selalu menyukai senja.

Ia toleh kepalanya kekanan, dapat ia pandang kue yang harusnya ia antarkan—hancur berantakan berada dijalanan.

Liana merasakan kantuk yang luar biasa. Ia pastikan ketika dipejamkan matanya, ia akan merasakan tidur yang paling lelap yang pernah ada. Liana turuti rasa kantuknya itu, dipejamkan matanya.

Kemudian ia terlelap.

Sangat lelap.

Selamat tidur, Liana.

tw // broken home

Setelah menerima pesan teks terakhir, perempuan berambut pendek itu melangkahkan kakinya dengan cepat menuju rumah—yang tidak bisa disebut rumah.

Tangisnya pecah diperjalanan, tak peduli berapa pasang mata menatapnya kasihan atau mungkin kebingungan. Pikiran perempuan itu hanya terfokus pada adiknya di rumah. Entah apa yang ia lakukan kali ini, dan entah apa yang akan dilakukan kedua orang tuanya kali ini.

Namanya Liana, terlahir sebagai sulung dari orang tua yang belum siap memiliki seorang anak. Kedua orang tuanya merupakan hasil perjodohan dari nenek dan kakeknya, dengan niatan agar segera memiliki cucu. Ya, seperti pemikiran orang jaman dahulu—menikah untuk memiliki anak.


Belum kakinya menapakkan didalam rumah, suara pecahan piring dan kericuhan lebih dulu menyabut kepulangan Liana. Matanya menangkap adiknya yang sedang meringkuk di tengah ruang tamu, sekilas ia lihat tetesan darah keluar dari pelipis pemuda itu.

“DASAR ANAK SIALAN!” Teriak sang kepala keluarga, kakinya tiada henti melemparkan tendangan yang ia yakin sakitnya bukan main.

“Kerjaan kamu kalo cuma bikin malu mending pergi dari rumah ini!” Sambung dari sang ibu.

Ketika sang ayah menyadari keberadaan Liana disana, alisnya semakin menikuk tinggi dan napasnya semakin terengah-engah.

“PERGI KALIAN!” Kemudian ia mendorong sang adik mendekati Liana.

Segera Liana menunduk untuk mengecek keadaan Aji—adiknya. Benar saja, darah mengalir dari pelipisnya. Badan Liana semakin bergetar, ia panik karena adiknya terluka juga sang ayah yang tiba-tiba mendekat.

Tiada pilihan lain. Liana berlutut saat sang ayah benar-benar berada didepannya. Ia satukan kedua telapaknya dan berkata,

“Iya Ayah, Liana minta maaf. Liana mohon ampun, Ayah..” Lirihnya ketakutan.

Bagaikan tuli, sang ayah tetap melayangkan satu tamparan untuk gadis kecilnya itu.

“KEMASI BARANG-BARANG KALIAN DAN PERGI DARI SINI!”

“Seleksi lomba apaan?” Tegur Abe sebagai sapaan saat bertemu Amara. Lawan bicaranya itu tanpa menjawab, langsung menarik baju lengan Abe dan naik tangga menuju Lab Bahasa.

“Katanya buat lomba english speech gitu.” Ucapnya cuek dengan tangan yang masih menarik baju Abe.

Mendengar itu spontan alis Abe menyatu heran, “Mr. Tyo nggak salah orang? Masa gue?” Tanya Abe memastikan.

Ketika sudah hampir sampai Amara baru melepas cengkramannya dan menjawab pertanyaan Abe, ia tatap mata temannya itu dan mengangkat pundak sebagai tanda 'tidak tahu'. “Tadi Mr. Tyo ketemu sama gue di Lab Komunikasi, nyuruh gue sama Abyan Pradipta buat ke Lab Bahasa. Pas gue tanya buat apa dijawab cuma buat lomba English Speech, terus dia bilang “nanti dijelasin disana, cepetan ke atas ya.” gitu katanya, makanya gue buru-buru nyari lo.”

Abe adalah siswa yang aktif dibidang olahraga, untuk soal kebahasaan Abe cukup lemah. Maka dari itu, Abe keheranan.

Seusai melepas sepatunya, Amara dan Abe masuk kedalam Lab Bahasa dan duduk di kursi yang tersedia. Sudah banyak murid lain yang duduk dan mempersiapkan dirinya untuk lomba ini, wajah mereka begitu tegang dan kaku. Sementara Amara dan Abe masih duduk diam kebingungan apa yang harus dilakukan disini.

“Ra, gue ngga bisa.” Bisik Abe, suaranya terdengar ketakutan dan pasrah.

Amara yang melihat itu langsung menepuk pundak Abe beberapa kali dan berkata, “Cuma seleksi doang, Be. Lakuin yang terbaik aja dulu.”

Belum sempat Abe menjawab, sudah terdengar pintu yang terbuka dan beberapa guru masuk ke dalam. Wajah mereka begitu ceria, membuat beberapa murid yang tadinya tegang menjadi sedikit lebih tenang. Salah satu guru berdiri di tengah-tengah mereka dan bersiap membuka acara.

“Selamat siang semuanya, maaf karena menganggu jam pelajaran. Seperti yang udah saya sampaikan tadi, hari ini kita akan mengadakan seleksi untuk lomba pidato bahasa Inggris. Caranya mudah, kalian cuma butuh menuliskan unforgettable moment kalian and then, kalian ceritakan didepan!”

Beberapa murid mengangguk paham, namun beberapa diantaranya ada yang menggigit bibir dalamnya karena gugup. Tidak semua orang suka jadi pusat perhatian, termasuk Amara.

“Mungkin untuk sebagai contoh, kita akan lihat bagaimana kakak-kakak kita dari english club, yang sudah lebih berpengalaman untuk berbicara didepan.”

Salah satu siswi maju, posturnya tegak, senyuman manis, serta teks pidato yang sudah ada di dalam kepalanya.

Ketika siswi itu akan membuka pidatonya, suara salah satu guru menginterupsi satu ruangan suaranya melengking dan lantang.

“Loh, Din? Daniel mana Daniel? Daniel EC juga kan?” Siswi yang dipanggil 'Din' tersebut menoleh kebelakang supaya dapat menatap guru yang bicara padanya.

“Kayanya tadi Daniel nggak dipanggil deh, Miss. Cuma saya doang tadi. Mau saya panggilin?”

Guru itu melambaikan tangannya dan bangun dari kursi. “Ngga usah, Din. Biar Miss aja. Yaudah kamu lanjut aja speech-nya! Good luck!” Lalu guru itu keluar.

“Ra, lo ikut EC?” Amara yang sedang bengong akhirnya kembali tersadar, dan menggeleng.

Jujur, Amara penasaran dengan Daniel yang dimaksud Guru itu. Apakah yang dia perbuat sampai menjadi anak kesayangan guru tersebut? Tapi tidak mau terlalu ambil pusing, karena perempuan tadi memulai pidatonya. Suaranya bulat, sangat nyaman didengar, pengucapannya juga sangat mudah didengar, gestur yang menandakan bahwa ia sangat percaya diri membuat penampilannya sempurna! Amara sampai lupa berkedip.

“Siapa tadi namanya, Ra?” Tanya Abe tanpa mengalihkan pandangan dari perempuan didepan.

“Adinda. 11 TKJ 2.”

“Cantik banget.”

Amara memincingkan matanya dan menyikut dada Abe. “Yeu, laki.”

Kemudian datanglah laki-laki yang tadi disebut berkali-kali namanya. Tubuhnya tinggi, ia menggunakan kacamata, juga seragam yang masuk terlipat rapih ke dalam padahal sudah menuju petang. Suara ucapan salam ketika memasuki ruangan menarik seluruh atensi siswa yang ada diruangan itu. Suaranya begitu berat, dan sangat nyaman didengar.

Setelah bersalaman dengan guru-guru yang ada, lelaki itu ikut duduk disalah satu bangku yang tersisa.

Kemudian kita dibagikan satu kertas kosong untuk dituliskan cerita yang tak terlupakan disana. Seraya mendengarkan orang kedua yang berbicara didepan.

“Ra, lo nyeritain apa?”

“Entah.. I'm so confused.” Amara menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Halo, semuanya! Supaya bisa lebih akrab biarin gue memperkenalkan diri. Amara, biasanya orang manggil gue Amara atau Ara aja cukup. Kalian bisa panggil gue sesuka kalian.

Usia gue enam belas tahun dan baru duduk dibangku kelas 1. Gue sekolah di STM Neo. Iya, Sekolah Terserah Murid. Gue ambil jurusan Teknik Instalasi Tenaga Listrik (TITL). Di kelas gue ada 35 siswa, dan satu siswi yaitu gue. Sebenarnya diangkatan gue perempuannya lumayan banyak, ada 15. Tapi mereka semua jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ).

Banyak banget pertanyaan yang ditanyakan ke gue, “Kenapa nggak ambil TKJ aja? Biar ada temen nya.” Jawaban gue selalu sama yaitu, “Nggak, emang minatnya di Listrik.” Entah kenapa jawaban itu selalu bikin orang-orang diem dan gak mau memperpanjang obrolan, gue juga sebagai orang yang gak pinter basa-basi jadi ikut diem.

Sekolah di STM selalu jadi simbol anak nakal di mata orang-orang. Tawuran, berantem, senggol bacok, bolos, itu satu-satunya hal yang mereka pikirin kalau ngedenger kata “Anak STM.”

Walau emang iya, tapi itu cuma sebagian kecil dari murid-murid disana. Masih banyak banget anak murid yang berjuang dibidangnya masing-masing.

Jadi cewek satu-satunya di kelas bukan berarti gue jadi anak paling ambis disana, gue cuma orang yang paling mau paham dan paham apa tujuan gue kesekolah. Gue sangat minat dibagian Bahasa, entah bahasa inggris atau bahasa indonesia, gue suka banget. Gue jadi murid kesayangan guru pengajar kedua pelajaran itu karena gue cukup aktif.

Itulah kenapa gue dipilih untuk lomba pidato Bahasa Inggris dan ketemu Daniel disana!

Di ruangan yang kedap suara, ruangan yang memaksa mereka untuk bertemu untuk kesekian kali. Terdapat empat orang laki-laki dan satu orang perempuan dengan makanan di tangannya. Menjadi satu-satunya perempuan didalam sana tidak membuat perempuan yang akrab dipanggil Jojo itu lemah. Justru secara tidak langsung mereka menjadikan Jojo perempuan yang kuat karena berhadapan dengan empat orang dengan karakter yang berbeda-beda setiap harinya.

Posisi Jojo di “O'clock” (nama band mereka) adalah sebagai vokalis utama. Juno sebagai gitaris, Reno sebagai basis, Jairo sebagai keyboardist, dan yang terakhir Hugo sebagai drummer. Semua nama mereka berakhiran “O” maka dari itu band mereka diberi nama “O'clock.

“Cewek gue mau kesini.” Ucap Juno sebelum mematikan handphone-nya dan menaruh di sebelahnya.

Semua temannya mengenal Gabriella—kekasih Juno cukup dalam, memiliki hubungan kurang lebih dua tahun membuat mereka mau tidak mau saling mengenal.

“Serius? Kapan?” Tanya Jojo semangat. Karena kalau ada perempuan lain, biasanya mereka akan latihan dengan serius—caper.

Sambil mengutik senar gitarnya, “Udah menuju kesini, sekitar satu jam lagi sampe.” Jawabnya tanpa menatap Jojo.

Jojo mengepalkan tangannya ke udara, “YES!” lalu menyuap makanannya ke mulutnya dan berdiri di depan mikrofon. Ia berdiri dalam keadaan mulut yang penuh dengan makanan.

“Bisa telen dulu gak makanan lu?” Tanya Hugo tarik urat. Semua member sudah dalam posisi siapnya, hanya menunggu Jojo saja.

Jojo menoleh kebelakang, ke Hugo. “Mulut gue penuh juga lo bakal denger suara indah gue.” Ucapnya sambil berbalik untuk mengatur posisi mikrofonnya seraya mengunyah.

“Telen, Jo.” Tegur Reno dengan suara rendahnya.

“Jangan nyuruh gue.” Sanggah Jojo tak kalah ketus.

Latihan untuk pertunjukan kampus pun dimulai. Karena album sebelumnya berhasil mencetak rekor mereka, lagunya banyak didengar di kalangan anak muda. O'clock diundang untuk mengisi beberapa acara kampus, hanya beberapa yang diterima sebab jadwal yang bentrok dengan jadwal personil yang lain.

Sejak awal terbentuknya O'clock, mereka sudah setuju dan sepakat untuk mendiskusikan masalah apapun apalagi masalah yang menyangkut tentang band. Bukan suatu hal yang merepotkan, justru mempermudah para personil untuk mencapai mufakat dengan mudah. Walau sedikit percekcokan tak jarang terjadi.

Biasanya satu kali penampilan, O'clock akan membawakan tiga lagu atau lebih. Itulah kenapa mereka harus rutin berlatih supaya tidak kaku.

Terlalu serius berlatih sampai tidak sadar, tamu yang ditunggu-tunggu telah datang. Tak bermaksud mengganggu, namun saat melihat figur wanita cantik masuk sontak semuanya terdiam.

“Hai! Kok berhenti? Gue ganggu, ya?” Gabby menatap semua yang ada di dalam sana bergantian, “Sorry..” Tuturnya dengan suara kecil.

“GABBY!” Jojo lebih dulu menyambut Gabby dan memeluknya di bagian leher. Tak lupa Gabby membalas pelukan ramah itu dengan tepukan di punggung Jojo beberapa kali.

“Gue bawain donat, nih! Semoga suka ya.” Perempuan dengan rambut sebahu itu mengangkat plastik yang ia bawa dengan tangan kanannya. Memiliki pemahaman jika berkunjung, jangan datang dengan tangan kosong.

“Mantap… Thanks, Gab!” Sahut Jairo menyambar plastik itu dan berniat membukanya.

Juno melepas gitar yang kalungkan di lehernya, maju beberapa langkah agar dapat menatap perempuan cantiknya dengan seksama.

“Macet?” Tanya Juno sebagai basa-basi. Tangannya bergerak memijat sedikit pundak Gabby.

“Seperti Jakarta pada biasanya.”

“Ini lo dari mana? Tadi Juno ngasih tau lo satu jam perjalanan?” Ungkap Reno sambil ikut melepas bas yang ia kalungi.

Gabby mengambil kursi yang terdekat dari sana dan merilekskan otot punggungnya yang tegang sebab padatnya jalan Jakarta. Ia bukan orang yang mudah terpancing emosi, namun suara nyaring klakson membuatnya stress bukan main.

“Dari Jakpus gue. Ada bikin konten sama Windy.” Jawaban Gabby santai.

Hugo menyahut, “Gue liat-liat lo doang yang ke tempatnya si Windy? Windy gak pernah ke tempat lo?” Dengan mulut yang penuh donat.

Mendengar itu Gabby sedikit menoleh supaya dapat menatap sumber suara, “Pernah, tapi gak sering. Windy gak bisa bawa mobil jadi daripada ribet mending gue aja yang kesana.”

“Setiap hari lo bolak-balik Jakpus-Jaksel?” Pekik Jairo terkejut.

“Nggak setiap hari juga, kalo ada janji bikin konten aja. Kadang ke apart dia atau janjian ke suatu tempat.”

“Kok gak lo anter?” Tanya Reno dengan suara kecil pada Juno, karena ruangan yang kedap suara membuat Gabby ikut mendengar pertanyaan itu.

“Gue yang gak mau dianter sama Juno. Juno kan harus latihan buat event.” Reno mengangguk paham namun tetap menatap Juno sinis.

Reno memiliki pemahaman, kalau perempuan harus ia antar dan jemput dalam keadaan sadar sampai rumah. Sementara Juno, terserah perempuan itu mau bagaimana, Juno akan percaya. Keduanya memiliki arti baik, hanya pemahamannya saja yang berbeda.

“Yaudah. Yuk, mulai.”

Juno yang telah hafal password apartemen sejoli nya masuk tanpa permisi, sang pemilik rumah pun tak masalah dengan itu.

“Gigi belum dateng?” Kalimat pertama setelah keheningan cukup lama. Gigi adalah salah satu personil band mereka, posisinya adalah vokalis.

Julian menoleh singkat, “Udah, lagi beli pembalut.” Gigi perempuan satu-satunya di band itu, dan satu-satunya yang banyak bicara. Bagi Julian dan Juno yang irit bicara untuk pertama-tama Gigi memang mengganggu, namun hanya satu orang yang bisa mempererat hubungan mereka yaitu Gigi.

Tiga serangkai itu telah bersama sejak menduduki bangku SMA, hingga kini telah menginjak kepala dua, lima tahun yang lalu.

Tak lama suara pintu terbuka kembali terdengar, tanpa menoleh mereka sudah tahu siapa yang datang dari betapa heboh pergerakannya. Ia hanya memberi tahu Julian bahwa ia akan membeli pembalut, entah mengapa ia membawa begitu banyak kantong plastik di tangannya.

“HAI, JUNO!”

Tidak ada balasan untuk sapaan itu, Gigi sudah terbiasa. Ia menaruh plastik-plastik itu diatas meja dapur dan mengeluarkan semuanya satu persatu. Julian dan Juno sibuk dengan peralatan mereka masing-masing.

“Jul! Gue masak.” Mungkin maksud Gigi meminta izin, tapi memberi kesan pernyataan itu hanya sebuah informasi.

Akhirnya Julian menoleh, “Emang bisa?”

“Bisa, lah! Di rumah kalo bukan gue yang masak, keluarga gue mati kelaparan sekarang.” Ungkapnya. Julian hanya mengangguk beberapa kali dan kembali pada alat-alatnya.

Seraya memotong beberapa bahan masakan, ia melontarkan pertanyaan, “Cewek lo gak kesini, Jun?” Tanyanya tanpa mengalihkan fokusnya.

“Nggak, Gabby mau bikin konten sama temennya.” Juno berkata seadanya, karena begitu adanya.

“Ih! Curang, anjir! Gue gak pernah diajak bikin konten, padahal kalo diajak kan gue bisa pansos.”

Julian terkekeh, “Minimal cakep dulu, Bu Brigita.”

Gigi menatap Julian dengan mata yang lebar, ia tunjuk Julian menggunakan pisau yang ia pegang. “Lo melanggar banyak peraturan. Lo ngeledek gue gak cakep dan lo manggil nama gue.”

“Cuma dua.” Sahut Juno.

“Dua banyak, anjir!”

“Lo masih lama masaknya? Kita duluan ya.” Julian dan Juno bangun dari duduknya, mengambil posisi formasi biasanya.

“Pengalihan topik.” Bisik Gigi sambil berjalan menghentakkan kakinya dan ikut masuk formasi.

Saat ini mereka sedang berlatih untuk album pertama mereka. Mulai dari instrumen, nada, lirik, dibuat dari personilnya sendiri. Gigi yang mengulik nada, Julian mengulik instrumen, dan Juno membuat lirik. Tidak semudah itu, untuk mendapatkan ekspektasi masing-masing mereka juga harus berlatih berkali-kali sampai akhirnya rekaman.

Seusai latihan dan perdebatan, mereka akan bersantai sesukanya di rumah Julian. Jarang sekali memilih untuk pulang karena akan sulit jika mendapat ide secara tiba-tiba dan jauh dari alat musik.

“Kata Gabby, dia mau balikin novelnya secara langsung aja.” Ucap Juno seraya mengisap rokok di jarinya.

Gigi mengangguk, “Santai, gue lagi gak baca novel itu sih.” Jawabnya sebelum menyesap kopi yang telah ia seduh beberapa menit lalu.

Ia taruh cangkir kopi itu di atas meja, “Gue baru tau cewek lo suka baca novel, sejak kapan? Bisa jadi gue sama dia satu frekuensi.” Tambah Gigi.

“Dia ketemu Gabby di toko buku.” Sahut Julian tak acuh, tangannya sibuk dengan ponselnya.

Gigi menoleh kaget, “Serius? Kok gak pernah cerita sama gue!?”

“Buat apa?” Tanya Juno balik. Pertanyaan itu membuat Gigi kembali bersandar di sofa.

Sambil bersandiwara seolah paling tersakiti, “Gue kira lo inget gue suka banget baca, Jun. Thank you udah ngasih tau gue kalo hubungan kita gak se-spesial yang gue kira.” Begitu ucapnya, suaranya perlahan mengecil mendalami karakter.

Juno sedikit tertawa, “You're welcome.

Argh!” Gigi melanjutkan sandiwaranya, kini ia berpura-pura seolah-olah sesuatu menancap dadanya. Julian tertawa melihat tingkah Gigi.

Kini ia duduk bersila di sofa dan menatap Juno berbinar, “Sekarang ceritain dong kok Gabby bisa mau sama lo?”

Juno di sebelahnya menatap sekilas, “Kaya di film-film, gue ngebantu ambilin Gabby buku di rak yang lumayan tinggi.” Gigi memasang ekspresi terkejut—menutup mulutnya

Julian tertawa lumayan keras, “Lo yang caper? Serius?” Bahkan Julian sahabat lelakinya saja tidak tahu kisah percintaan Juno.

“Gue gak caper, gue cuma ambilin dia buku, pas gue duduk buat baca dia ngikutin dan minta nomor gue.”

“TERUS LO KASIH? GAK MUNGKIN.”

Juno tersenyum tipis, merasa senang Gigi cukup mengenalnya. “Emang nggak, gue kasih nomor Kakak gue.”

“KOK BISA DAPET NOMOR LO?”

Juno berusaha mengingat kembali masa itu, “Gabby mutualan sama kakak gue di instagram terus dapet instagram gue dari following Kak Jo dan chatting gue di DM.”

BRILLIANT!” Nilai Gigi.

Sejak awal bertemu, Juno dapat menilai Gabby orang yang pantang menyerah itu adalah satu-satunya standar Juno. Setelah masa pendekatan selama tiga bulan lamanya, dengan mantap Juno menyatakan perasaannya.

Kini hubungan mereka sudah berjalan satu tahun setengah.

“Bisa-bisanya gue baru tau hari ini.”

“Gue malah berencana untuk gak ngasih tau siapapun tentang Gabby, tapi Gabby salah akun waktu quote retweet tweet gue waktu itu.”

“Ya, sama kaya gue sih. Gue putus sama Leon gara-gara gue salah akun.”

“Itu mah emang lo nya aja yang brengsek.”

“Lo mau gue lempar dari balkon, Jul?”

Juno yang telah hafal password apartemen sejoli nya masuk tanpa permisi, sang pemilik rumah pun tak masalah dengan itu.

“Gigi belum dateng?” Kalimat pertama setelah keheningan cukup lama. Gigi adalah salah satu personil band mereka, posisinya adalah vokalis.

Julian menoleh singkat, “Udah, lagi beli pembalut.” Gigi perempuan satu-satunya di band itu, dan satu-satunya yang banyak bicara. Bagi Julian dan Juno yang irit bicara untuk pertama-tama Gigi memang mengganggu, namun hanya satu orang yang bisa mempererat hubungan mereka yaitu Gigi.

Tiga serangkai itu telah bersama sejak menduduki bangku SMA, hingga kini telah menginjak kepala dua, lima tahun yang lalu.

Tak lama suara pintu terbuka kembali terdengar, tanpa menoleh mereka sudah tahu siapa yang datang dari betapa heboh pergerakannya. Ia hanya memberi tahu Julian bahwa ia akan membeli pembalut, entah mengapa ia membawa begitu banyak kantong plastik di tangannya.

“HAI, JUNO!”

Tidak ada balasan untuk sapaan itu, Gigi sudah terbiasa. Ia menaruh plastik-plastik itu diatas meja dapur dan mengeluarkan semuanya satu persatu. Julian dan Juno sibuk dengan peralatan mereka masing-masing.

“Jul! Gue masak.” Mungkin maksud Gigi meminta izin, tapi memberi kesan pernyataan itu hanya sebuah informasi.

Akhirnya Julian menoleh, “Emang bisa?”

“Bisa, lah! Di rumah kalo bukan gue yang masak, keluarga gue mati kelaparan sekarang.” Ungkapnya. Julian hanya mengangguk beberapa kali dan kembali pada alat-alatnya.

Seraya memotong beberapa bahan masakan, ia melontarkan pertanyaan, “Cewek lo gak kesini, Jun?” Tanyanya tanpa mengalihkan fokusnya.

“Nggak, Gabby mau bikin konten sama temennya.” Juno berkata seadanya, karena begitu adanya.

“Ih! Curang, anjir! Gue gak pernah diajak bikin konten, padahal kalo diajak kan gue bisa pansos.”

Julian terkekeh, “Minimal cakep dulu, Bu Brigita.”

Gigi menatap Julian dengan mata yang lebar, ia tunjuk Julian menggunakan pisau yang ia pegang. “Lo melanggar banyak peraturan. Lo ngeledek gue gak cakep dan lo manggil nama gue.”

“Cuma dua.” Sahut Juno.

“Dua banyak, anjir!”

“Lo masih lama masaknya? Kita duluan ya.” Julian dan Juno bangun dari duduknya, mengambil posisi formasi biasanya.

“Pengalihan topik.” Bisik Gigi sambil berjalan menghentakkan kakinya dan ikut masuk formasi.

Saat ini mereka sedang berlatih untuk album pertama mereka. Mulai dari instrumen, nada, lirik, dibuat dari personilnya sendiri. Gigi yang mengulik nada, Julian mengulik instrumen, dan Juno membuat lirik. Tidak semudah itu, untuk mendapatkan ekspektasi masing-masing mereka juga harus berlatih berkali-kali sampai akhirnya rekaman.

Seusai latihan dan perdebatan, mereka akan bersantai sesukanya di rumah Julian. Jarang sekali memilih untuk pulang karena akan sulit jika mendapat ide secara tiba-tiba dan jauh dari alat musik.

“Kata Gabby, dia mau balikin novelnya secara langsung aja.” Ucap Juno seraya mengisap rokok di jarinya.

Gigi mengangguk, “Santai, gue lagi gak baca novel itu sih.” Jawabnya sebelum menyesap kopi yang telah ia seduh beberapa menit lalu.

Ia taruh cangkir kopi itu di atas meja, “Gue baru tau cewek lo suka baca novel, sejak kapan? Bisa jadi gue sama dia satu frekuensi.” Tambah Gigi.

“Dia ketemu Gabby di toko buku.” Sahut Julian tak acuh, tangannya sibuk dengan ponselnya.

Gigi menoleh kaget, “Serius? Kok gak pernah cerita sama gue!?”

“Buat apa?” Tanya Juno balik. Pertanyaan itu membuat Gigi kembali bersandar di sofa.

Sambil bersandiwara seolah paling tersakiti, “Gue kira lo inget gue suka banget baca, Jun. Thank you udah ngasih tau gue kalo hubungan kita gak se-spesial yang gue kira.” Begitu ucapnya, suaranya perlahan mengecil mendalami karakter.

Juno sedikit tertawa, “You're welcome.

Argh!” Gigi melanjutkan sandiwaranya, kini ia berpura-pura seolah-olah sesuatu menancap dadanya. Julian tertawa melihat tingkah Gigi.

Kini ia duduk bersila di sofa dan menatap Juno berbinar, “Sekarang ceritain dong kok Gabby bisa mau sama lo?”

Juno di sebelahnya menatap sekilas, “Kaya di film-film, gue ngebantu ambilin Gabby buku di rak yang lumayan tinggi.” Gigi memasang ekspresi terkejut—menutup mulutnya

Julian tertawa lumayan keras, “Lo yang caper? Serius?” Bahkan Julian sahabat lelakinya saja tidak tahu kisah percintaan Juno.

“Gue gak caper, gue cuma ambilin dia buku, pas gue duduk buat baca dia ngikutin dan minta nomor gue.”

“TERUS LO KASIH? GAK MUNGKIN.”

Juno tersenyum tipis, merasa senang Gigi cukup mengenalnya. “Emang nggak, gue kasih nomor Kakak gue.”

“KOK BISA DAPET NOMOR LO?”

Juno berusaha mengingat kembali masa itu, “Dia mutualan sama kakak gue di instagram. Dia dapet instagram gue dari following Kak Jo dan chatting gue di DM.”

BRILLIANT!” Nilai Gigi.

Sejak awal bertemu, Juno dapat menilai Gabby orang yang pantang menyerah itu adalah satu-satunya standar Juno. Setelah masa pendekatan selama tiga bulan lamanya, dengan mantap Juno menyatakan perasaannya.

Kini hubungan mereka sudah berjalan satu tahun setengah.

“Bisa-bisanya gue baru tau hari ini.”

“Gue malah berencana untuk gak ngasih tau siapapun tentang Gabby, tapi Gabby salah akun waktu quote retweet tweet gue waktu itu.”

“Ya, sama kaya gue sih. Gue putus sama Leon gara-gara gue salah akun.”

“Itu mah emang lo nya aja yang brengsek.”

“Lo mau gue lempar dari balkon, Jul?”