matematiqa

Juno yang telah hafal password apartemen sejoli nya masuk tanpa permisi, sang pemilik rumah pun tak masalah dengan itu.

“Gigi belum dateng?” Kalimat pertama setelah keheningan cukup lama. Gigi adalah salah satu personil band mereka, posisinya adalah vokalis.

Julian menoleh singkat, “Udah, lagi beli pembalut.” Gigi perempuan satu-satunya di band itu, dan satu-satunya yang banyak bicara. Bagi Julian dan Juno yang irit bicara untuk pertama-tama Gigi memang mengganggu, namun hanya satu orang yang bisa mempererat hubungan mereka yaitu Gigi.

Tiga serangkai itu telah bersama sejak menduduki bangku SMA, hingga kini telah menginjak kepala dua, lima tahun yang lalu.

Tak lama suara pintu terbuka kembali terdengar, tanpa menoleh mereka sudah tahu siapa yang datang dari betapa heboh pergerakannya. Ia hanya memberi tahu Julian bahwa ia akan membeli pembalut, entah mengapa ia membawa begitu banyak kantong plastik di tangannya.

“HAI, JUNO!”

Tidak ada balasan untuk sapaan itu, Gigi sudah terbiasa. Ia menaruh plastik-plastik itu diatas meja dapur dan mengeluarkan semuanya satu persatu. Julian dan Juno sibuk dengan peralatan mereka masing-masing.

“Jul! Gue masak.” Mungkin maksud Gigi meminta izin, tapi memberi kesan pernyataan itu hanya sebuah informasi.

Akhirnya Julian menoleh, “Emang bisa?”

“Bisa, lah! Di rumah kalo bukan gue yang masak, keluarga gue mati kelaparan sekarang.” Ungkapnya. Julian hanya mengangguk beberapa kali dan kembali pada alat-alatnya.

Seraya memotong beberapa bahan masakan, ia melontarkan pertanyaan, “Cewek lo gak kesini, Jun?” Tanyanya tanpa mengalihkan fokusnya.

“Nggak, Gabby mau bikin konten sama temennya.” Juno berkata seadanya, karena begitu adanya.

“Ih! Curang, anjir! Gue gak pernah diajak bikin konten, padahal kalo diajak kan gue bisa pansos.”

Julian terkekeh, “Minimal cakep dulu, Bu Brigita.”

Gigi menatap Julian dengan mata yang lebar, ia tunjuk Julian menggunakan pisau yang ia pegang. “Lo melanggar banyak peraturan. Lo ngeledek gue gak cakep dan lo manggil nama gue.”

“Cuma dua.” Sahut Juno.

“Dua banyak, anjir!”

“Lo masih lama masaknya? Kita duluan ya.” Julian dan Juno bangun dari duduknya, mengambil posisi formasi biasanya.

“Pengalihan topik.” Bisik Gigi sambil berjalan menghentakkan kakinya dan ikut masuk formasi.

Saat ini mereka sedang berlatih untuk album pertama mereka. Mulai dari instrumen, nada, lirik, dibuat dari personilnya sendiri. Gigi yang mengulik nada, Julian mengulik instrumen, dan Juno membuat lirik. Tidak semudah itu, untuk mendapatkan ekspektasi masing-masing mereka juga harus berlatih berkali-kali sampai akhirnya rekaman.

Seusai latihan dan perdebatan, mereka akan bersantai sesukanya di rumah Julian. Jarang sekali memilih untuk pulang karena akan sulit jika mendapat ide secara tiba-tiba dan jauh dari alat musik.

“Kata Gabby, dia mau balikin novelnya secara langsung aja.” Ucap Juno seraya mengisap rokok di jarinya.

Gigi mengangguk, “Santai, gue lagi gak baca novel itu sih.” Jawabnya sebelum menyesap kopi yang telah ia seduh beberapa menit lalu.

Ia taruh cangkir kopi itu di atas meja, “Gue baru tau cewek lo suka baca novel, sejak kapan? Bisa jadi gue sama dia satu frekuensi.” Tambah Gigi.

“Dia ketemu Gabby di toko buku.” Sahut Julian tak acuh, tangannya sibuk dengan ponselnya.

Gigi menoleh kaget, “Serius? Kok gak pernah cerita sama gue!?”

“Buat apa?” Tanya Juno balik. Pertanyaan itu membuat Gigi kembali bersandar di sofa.

Sambil bersandiwara seolah paling tersakiti, “Gue kira lo inget gue suka banget baca, Jun. ,Thank you udah ngasih tau gue kalo hubungan kita gak se-spesial yang gue kira.” Begitu ucapnya, suaranya perlahan mengecil mendalami karakter.

Juno sedikit tertawa, “You're welcome.

Argh!” Gigi melanjutkan sandiwaranya, kini ia berpura-pura seolah-olah sesuatu menancap dadanya. Julian tertawa melihat tingkah Gigi.

Kini ia duduk bersila di sofa dan menatap Juno berbinar, “Sekarang ceritain dong kok Gabby bisa mau sama lo?”

Juno di sebelahnya menatap sekilas, “Kaya di film-film, gue ngebantu ambilin Gabby buku di rak yang lumayan tinggi.” Gigi memasang ekspresi terkejut—menutup mulutnya

Julian tertawa lumayan keras, “Lo yang caper? Serius?” Bahkan Julian sahabat lelakinya saja tidak tahu kisah percintaan Juno.

“Gue gak caper, gue cuma ambilin dia buku, pas gue duduk buat baca dia ngikutin dan minta nomor gue.”

“TERUS LO KASIH? GAK MUNGKIN.”

Juno tersenyum tipis, merasa senang Gigi cukup mengenalnya. “Emang nggak, gue kasih nomor Kakak gue.”

“KOK BISA DAPET NOMOR LO?”

Juno berusaha mengingat kembali masa itu, “Dia mutualan sama kakak gue di instagram. Dia dapet instagram gue dari following Kak Jo dan chatting gue di DM.”

BRILLIANT!” Nilai Gigi.

Sejak awal bertemu, Juno dapat menilai Gabby orang yang pantang menyerah itu adalah satu-satunya standar Juno. Setelah masa pendekatan selama tiga bulan lamanya, dengan mantap Juno menyatakan perasaannya.

Kini hubungan mereka sudah berjalan satu tahun setengah.

“Bisa-bisanya gue baru tau hari ini.”

“Gue malah berencana untuk gak ngasih tau siapapun tentang Gabby, tapi Gabby salah akun waktu quote retweet tweet gue waktu itu.”

“Ya, sama kaya gue sih. Gue putus sama Leon gara-gara gue salah akun.”

“Itu mah emang lo nya aja yang brengsek.”

“Lo mau gue lempar dari balkon, Jul?”

Juno yang telah hafal password apartemen sejoli nya masuk tanpa permisi, sang pemilik rumah pun tak masalah dengan itu.

“Gigi belum dateng?” Kalimat pertama setelah keheningan cukup lama. Gigi adalah salah satu personil band mereka, posisinya adalah vokalis.

Julian menoleh singkat, “Udah, lagi beli pembalut.” Gigi perempuan satu-satunya di band itu, dan satu-satunya yang banyak bicara. Bagi Julian dan Juno yang irit bicara untuk pertama-tama Gigi memang mengganggu, namun hanya satu orang yang bisa mempererat hubungan mereka yaitu Gigi.

Tiga serangkai itu telah bersama sejak menduduki bangku SMA, hingga kini telah menginjak kepala dua, lima tahun yang lalu.

Tak lama suara pintu terbuka kembali terdengar, tanpa menoleh mereka sudah tahu siapa yang datang dari betapa heboh pergerakannya. Ia hanya memberi tahu Julian bahwa ia akan membeli pembalut, entah mengapa ia membawa begitu banyak kantong plastik di tangannya.

“HAI, JUNO!”

Tidak ada balasan untuk sapaan itu, Gigi sudah terbiasa. Ia menaruh plastik-plastik itu diatas meja dapur dan mengeluarkan semuanya satu persatu. Julian dan Juno sibuk dengan peralatan mereka masing-masing.

“Jul! Gue masak.” Mungkin maksud Gigi meminta izin, tapi memberi kesan pernyataan itu hanya sebuah informasi.

Akhirnya Julian menoleh, “Emang bisa?”

“Bisa, lah! Di rumah kalo bukan gue yang masak, keluarga gue mati kelaparan sekarang.” Ungkapnya. Julian hanya mengangguk beberapa kali dan kembali pada alat-alatnya.

Seraya memotong beberapa bahan masakan, ia melontarkan pertanyaan, “Cewek lo gak kesini, Jun?” Tanyanya tanpa mengalihkan fokusnya.

“Nggak, Gabby mau bikin konten sama temennya.” Juno berkata seadanya, karena begitu adanya.

“Ih! Curang, anjir! Gue gak pernah diajak bikin konten, padahal kalo diajak kan gue bisa pansos.”

Julian terkekeh, “Minimal cakep dulu, Bu Brigita.”

Gigi menatap Julian dengan mata yang lebar, ia tunjuk Julian menggunakan pisau yang ia pegang. “Lo melanggar banyak peraturan. Lo ngeledek gue gak cakep dan lo manggil nama gue.”

“Cuma dua.” Sahut Juno.

“Dua banyak, anjir!”

“Lo masih lama masaknya? Kita duluan ya.” Julian dan Juno bangun dari duduknya, mengambil posisi formasi biasanya.

“Pengalihan topik.” Bisik Gigi sambil berjalan menghentakkan kakinya dan ikut masuk formasi.

Saat ini mereka sedang berlatih untuk album pertama mereka. Mulai dari instrumen, nada, lirik, dibuat dari personilnya sendiri. Gigi yang mengulik nada, Julian mengulik instrumen, dan Juno membuat lirik. Tidak semudah itu, untuk mendapatkan ekspektasi masing-masing mereka juga harus berlatih berkali-kali sampai akhirnya rekaman.

Seusai latihan dan perdebatan, mereka akan bersantai sesukanya di rumah Julian. Jarang sekali memilih untuk pulang karena akan sulit jika mendapat ide secara tiba-tiba dan jauh dari alat musik.

“Kata Gabby, dia mau balikin novelnya secara langsung aja.” Ucap Juno seraya mengisap rokok di jarinya.

Gigi mengangguk, “Santai, gue lagi gak baca novel itu sih.” Jawabnya sebelum menyesap kopi yang telah ia seduh beberapa menit lalu.

Ia taruh cangkir kopi itu di atas meja, “Gue baru tau cewek lo suka baca novel, sejak kapan? Bisa jadi gue sama dia satu frekuensi.” Tambah Gigi.

“Dia ketemu Gabby di toko buku.” Sahut Julian tak acuh, tangannya sibuk dengan ponselnya.

Gigi menoleh kaget, “Serius? Kok gak pernah cerita sama gue!?”

“Buat apa?” Tanya Juno balik. Pertanyaan itu membuat Gigi kembali bersandar di sofa.

Sambil bersandiwara seolah paling tersakiti, “Gue kira lo inget gue suka banget baca, Jun. Thank you udah ngasih tau gue kalo hubungan kita gak se-spesial yang gue kira.” Begitu ucapnya, suaranya perlahan mengecil mendalami karakter.

Juno sedikit tertawa, “You're welcome.”

“Argh!” Gigi melanjutkan sandiwaranya, kini ia berpura-pura seolah-olah sesuatu menancap dadanya. Julian tertawa melihat tingkah Gigi.

Kini ia duduk bersila di sofa dan menatap Juno berbinar, “Sekarang ceritain dong kok Gabby bisa mau sama lo?”

Juno di sebelahnya menatap sekilas, “Kaya di film-film, gue ngebantu ambilin Gabby buku di rak yang lumayan tinggi.” Gigi memasang ekspresi terkejut—menutup mulutnya

Julian tertawa lumayan keras, “Lo yang caper? Serius?” Bahkan Julian sahabat lelakinya saja tidak tahu kisah percintaan Juno.

“Gue gak caper, gue cuma ambilin dia buku, pas gue duduk buat baca dia ngikutin dan minta nomor gue.”

“TERUS LO KASIH? GAK MUNGKIN.”

Juno tersenyum tipis, merasa senang Gigi cukup mengenalnya. “Emang nggak, gue kasih nomor Kakak gue.”

“KOK BISA DAPET NOMOR LO?”

Juno berusaha mengingat kembali masa itu, “Dia mutualan sama kakak gue di instagram. Dia instagram gue dari following Kak Jo.”

“BRILLIANT!” Nilai Gigi.

Sejak awal bertemu, Juno dapat menilai Gabby orang yang pantang menyerah itu adalah satu-satunya standar Juno. Setelah masa pendekatan selama tiga bulan lamanya, dengan mantap Juno menyatakan perasaannya.

Kini hubungan mereka sudah berjalan satu tahun setengah.

“Bisa-bisanya gue baru tau hari ini.”

“Gue malah berencana untuk gak ngasih tau siapapun tentang Gabby, tapi Gabby salah akun waktu quote retweet tweet gue waktu itu.”

“Ya, sama kaya gue sih. Gue putus sama Leon gara-gara gue salah akun.”

“Itu mah emang lo nya aja yang brengsek.”

“Lo mau gue lempar dari balkon, Jul?”

Gue Renatta Mahaprana, gue suka dengan nama panggilan “Renatta” atau “Retta.”. Kalau tahun ini masih bisa ulang tahun, berarti gue menginjak umur dua puluh tahun.

Bokap nyokap gue cerai sejak gue umur tiga tahun, gue dibawa sama bokap ke tempat yang jauh dan abang gue sama nyokap. Katanya setelah itu bokap pernah nikah lagi tapi gue kurang tau jelas karena gue masih terlalu kecil.

Sosok yang gue panggil “Bapak” padahal gak pernah dapet sosok bapak adalah orang yang gak peduli tentang apapun yang gue lakuin dan apapun yang terjadi sama gue. Dia juga bukan bapak yang kaya raya nitipin gue sama babysitter, dia bakal ninggalin gue sendirian di rumah sementara dia kelayapan entah kemana.

Sebelum masuk sekolah, kegiatan gue cuma main ke sebelah rumah dimana disitu ada lapangan, taman bermain, dan taman bacaan. Gue belajar banyak disana, belajar baca, belajar menulis, dan bersosialisasi.

Ya.. Walau gue dapet banyak trauma juga dari sana. Gue selalu diolok-olok karena pakaian yang gue pake gak sebagus mereka, karena udah jelas jawabannya. Gak ada yang ngurus gue.

Pas umur gue 16 tahun, tepatnya saat gue masuk SMA. Bokap gak pulang selama 2 bulan lamanya, gue gak begitu khawatir karena gue tau bokap lebih pandai jaga diri.

Iya, bokap pinter jaga diri dan jadiin gue tumbalnya.

Ternyata bokap main taruhan ini itu, main judi, dan lain sebagainya. Sampai uang bapak habis dan jadiin gue sebagai jaminannya. Gimana gue bisa tau? Of course banyak yang dateng ke rumah dan berusaha nyulik gue.

Gue pernah ngobrol sama salah satu dari bapak-bapak mesum yang dateng. Gue nanya apa aja yang bokap janjiin buat mereka, dan mereka jawab kalau mereka bisa ‘make’ gue sepuas mereka. Bahkan bokap gak peduli mau gue dibawa kemanapun itu.

Perbincangan gak sampe disitu, gue tanya selain ’gue’ apa yang bisa jadi pengganti. Napas gue sempat tercekat pas mereka sebutin nominal uang sebanyak tiga digit angka, untuk makan diri gue sendiri aja susah, gimana mau ganti uangnya.

Gue gak mungkin serahin diri gitu aja, gue gak semurah itu.

Setelah lulus SMA, gue kabur dari rumah dan naik kereta tanpa tujuan. Dan bertemulah gue dengan kostan yang menjadi tempat tinggal ternyaman gue sekarang, pemilik kosan yang ramah, tetangga yang nggak tau masa lalu gue, juga deket dari tempat gue kuliah sekarang.

Gue kerja apapun, yang penting bisa buat gue makan, bayar kuliah, dan bayar kost.

Gue punya hubungan yang baik sama pemilik warung rokok yang ada di depan gang kost. Beliau ramah dan baik banget, kadang beliau nanya gue udah makan atau belum, dan bakal ngasih nasi bungkus yang kalau diberi harga hanya lima ribu rupiah tapi dia ngasih gue cuma-cuma.

Beliau juga tau sedikit mengenai masalah keluarga gue, karena gak sengaja dia liat gue lari-larian dikejar sama salah satu orang yang akan bawa gue. Setelah itu gue sedikit cerita, dan beliau janji kalau ngeliat atau ada yang nanya tentang gue, beliau akan jawab “Gak tau.”.

Ibu Ida punya satu anak laki-laki yang umurnya gak jauh dari gue, dia lebih muda dua tahun. Anaknya juga punya sifat yang lembut banget, persis kaya Bu Ida.

Dari situ gue belajar. Anak akan tumbuh dengan bagaimana pola didiknya.

R, 2022

Gue Renatta Mahaprana, gue suka dengan nama panggilan “Renatta” atau “Retta.”. Kalau tahun ini masih bisa ulang tahun, berarti gue menginjak umur dua puluh tahun.

Bokap nyokap gue cerai sejak gue umur tiga tahun, gue dibawa sama bokap ke tempat yang jauh dan abang gue sama nyokap. Katanya setelah itu bokap pernah nikah lagi tapi gue kurang tau jelas karena gue masih terlalu kecil.

Sosok yang gue panggil “Bapak” padahal gak pernah dapet sosok bapak adalah orang yang gak peduli tentang apapun yang gue lakuin dan apapun yang terjadi sama gue. Dia juga bukan bapak yang kaya raya nitipin gue sama babysitter, dia bakal ninggalin gue sendirian di rumah sementara dia kelayapan entah kemana.

Sebelum masuk sekolah, kegiatan gue cuma main ke sebelah rumah dimana disitu ada lapangan, taman bermain, dan taman bacaan. Gue belajar banyak disana, belajar baca, belajar menulis, dan bersosialisasi.

Ya.. Walau gue dapet banyak trauma juga dari sana. Gue selalu diolok-olok karena pakaian yang gue pake gak sebagus mereka, karena udah jelas jawabannya. Gak ada yang ngurus gue.

Pas umur gue 16 tahun, tepatnya saat gue masuk SMA. Bokap gak pulang selama 2 bulan lamanya, gue gak begitu khawatir karena gue tau bokap lebih pandai jaga diri.

Iya, bokap pinter jaga diri dan jadiin gue tumbalnya.

Ternyata bokap main taruhan ini itu, main judi, dan lain sebagainya. Sampai uang bapak habis dan jadiin gue sebagai jaminannya. Gimana gue bisa tau? Of course banyak yang dateng ke rumah dan berusaha nyulik gue.

Gue pernah ngobrol sama salah satu dari bapak-bapak mesum yang dateng. Gue nanya apa aja yang bokap janjiin buat mereka, dan mereka jawab kalau mereka bisa ‘make’ gue sepuas mereka. Bahkan bokap gak peduli mau gue dibawa kemanapun itu.

Perbincangan gak sampe disitu, gue tanya selain ’gue’ apa yang bisa jadi pengganti. Napas gue sempat tercekat pas mereka sebutin nominal uang sebanyak tiga digit angka, untuk makan diri gue sendiri aja susah, gimana mau ganti uangnya.

Gue gak mungkin serahin diri gitu aja, gue gak semurah itu.

Setelah lulus SMA, gue kabur dari rumah dan naik kereta tanpa tujuan. Dan bertemulah gue dengan kostan yang menjadi tempat tinggal ternyaman gue sekarang, pemilik kosan yang ramah, tetangga yang nggak tau masa lalu gue, juga deket dari tempat gue kuliah sekarang.

Gue kerja apapun, yang penting bisa buat gue makan, bayar kuliah, dan bayar kost.

Gue punya hubungan yang baik sama pemilik warung rokok yang ada di depan gang kost. Beliau ramah dan baik banget, kadang beliau nanya gue udah makan atau belum, dan bakal ngasih nasi bungkus yang kalau diberi harga hanya lima ribu rupiah tapi dia ngasih gue cuma-cuma.

Beliau juga tau sedikit mengenai masalah keluarga gue, karena gak sengaja dia liat gue lari-larian dikejar sama salah satu orang yang akan bawa gue. Setelah itu gue sedikit cerita, dan beliau janji kalau ngeliat atau ada yang nanya tentang gue, beliau akan jawab “Gak tau.”.

Ibu Ida punya satu anak laki-laki yang umurnya gak jauh dari gue, dia lebih muda dua tahun. Anaknya juga punya sifat yang lembut banget, persis kaya Bu Ida.

Dari situ gue belajar. Anak akan tumbuh dengan bagaimana pola didiknya.

R, 2022

Nama gue Marissa Anandara, biasa dipanggil Chacha atau Acha aja cukup. Gue adalah anak bungsu dari lima bersaudara, dan satu-satunya perempuan. Bukan karena bokap nyokap pengen banget anak perempuan, tapi kalau mau dijelasin secara gamblang gue adalah ”Anak kebobolan”. Itu lah kenapa gue berjarak dua belas tahun sama kakak gue yang terakhir.

Gue selalu gak suka ketika ada yang melontarkan pertanyaan, ”Lo pasti di treat like a queen kan sama kakak-kakak lo?”. Karena nyatanya nggak sama sekali, jarak umur terlalu jauh jadi gue gak begitu akrab sama mereka. Hubungan gue sama bokap nyokap juga nggak sedeket mereka sama kakak-kakak gue, mungkin karena mereka udah terlalu tua. Bahkan gue punya keponakan yang seumuran sama gue.

Sejak umur dua belas tahun, tepatnya sejak gue masuk SMP. Gue tau gue bakal jadi anak yang kesepian, maka dari itu gue menyibukkan diri dengan ikut lomba ini itu.

Lomba sana-sini, menang juara ini-itu bikin nama gue cukup harum di sekolah. Gue dikenal dengan kemampuan menghafal dan menghitung dengan cepat. Itu karunia mungkin, gue adalah orang yang sangat mengandalkan keberuntungan.

Karena itu lah gue dipertemukan dengan manusia ini. Manusia yang rambutnya lebat luar biasa, dan kemampuan otak yang bukan sebuah tandingan.

Namanya Jodie, gue kurang tau nama panjangnya. Yang gue tau dia dipanggil “J”. Gue sama Jodie selalu ada di ruangan yang sama, entah ruang BK, ruang Kepala Sekolah, Lab, bahkan kelas. Kita gak sedeket itu, gue tau kalo nama dia Jodie dan dia tau kalo nama gue Marissa.

Mungkin jodoh? Gue sama Jodie udah satu sekolah dari kelas 4 SD. Dia pindahan dari Jogja di tengah-tengah semester.

Oh iya, bokap nyokap gue bangga banget sama Jodie ngelebihin bangganya sama gue. Kalau mereka tau gue menang lomba, mereka juga bakal nanya Jodie menang atau nggak. Bukannya itu suatu hal yang wajar untuk gue ngerasa iri? Gue gak pernah dapet kata-kata yang bikin gue merasa bangga atas diri sendiri.

Kalau ditanya soal cita-cita, gue gak pernah jawab dengan yakin apa cita-cita gue. Tapi jawabannya selalu, “Juragan kontrakan.”. Iya, itu cuma bercanda.

Selama ini gue hidup tanpa ada tujuan.

Chacha, 2022.

Panggil aja Jeje, J, atau Jo. Bakal susah buat lo manggil gue Jodie Julio. Gue cuma seorang mahasiswa biasa yang bisa stress sama skripsi juga.

Gue anak bungsu dengan satu kakak perempuan yang bawel luar biasa. Berjarak cuma satu tahun bikin gue merasa kalau gue yang lebih tua. Iya, cuma satu tahun.

Gue selalu berterima kasih sama Tuhan karena dikaruniai otak yang bikin gue berenti dipukulin sama bokap. Bokap orang yang tempramental, beliau bakal marah besar kalau tau temen perempuan gue punya nilai lebih tinggi dari punya gue. Namanya Marissa. Gue gak tau jelas gimana dia bisa tau tentang Marissa.

Sama sekali gue gak dendam sama bokap apalagi sama Marissa. Justru gue kagum banget sama dia, kegigihannya bukan tandingan. Padahal dia yang jadi sebab badan gue memar-memar tapi harus tetep belajar.

Marissa itu terlalu jauh untuk gue bilang sahabat, tapi terlalu deket untuk gue bilang sekedar kenalan atau temen biasa. Dimana ada gue, disitu ada Marissa. Bisa dibilang gue gak pernah ngobrol intens sama Marissa kecuali nanya soal yang gue atau dia kurang paham.

Canggung, tapi nyaman banget ngobrol sama dia tuh.

Kalau soal cita-cita, cita-cita gue adalah jadi guru. Kaya anak SD ya? Gue selalu mau berbagi ilmu, gue mau mengubah pola mengajar anak-anak sekarang, supaya lebih enjoy belajar. Maka dari itu gue buka les kecil-kecilan, dimulai dari anak kecil yang ada di komplek gue.

Sekarang udah berjumlah 43 anak. Hehe.

J, 2022.

“Ini udah gak apa-apa, jangan lupa diminum obatnya setiap terasa nyeri, ya.” Anjur Dokter pada Julio.

Julio mengangguk patuh, “Siap, Dok!”

Kemudian datanglah Ibunda dari sang pasien. Wajahnya tak terlihat panik, hanya langkah kakinya menjelaskan bahwa ia sangat khawatir. Bulir keringat tiada henti mengucur membasahi dahi.

“Tenang aja, Bun. Kaya biasa aja.” Julio berkata demikian sebab ini bukan kali pertamanya mengalami patah tulang, sudah berkali-kali sehingga rasa toleransi terhadap rasa sakitnya bertambah.

Bianca menghela napas lega, lalu mengusap gypsum tangan anaknya. “Kamu tuh kalo begini terus lama-lama Bunda larang naik motor, ya.” Protesnya.

“Julio tidak mengalami patah tulang yang parah, hanya bagian lengannya yang retak. Masa pemulihannya akan lebih cepat dibanding patah tulang.” Jelas sang dokter seolah membela Julio yang sedang terpojok.

Bianca menatap dokter itu, dokter yang selalu menangani Julio ketika ia kecelakaan.

“Terima kasih banyak, Dok.” Dokter itu mengangguk dan meninggalkan ruangan.

Julio dan Bianca pun berjalan keluar setelah mereka membereskan beberapa peralatan: memasang sepatu, dan mengenakan kembali tas milik Julio.

“Rumah kosong berarti, Bun?” Ucap Julio sebagai basa-basi seraya menukar resep dokter. Bianca mengiyakan pertanyaan itu.

Kemudian keduanya sibuk dengan telepon genggam seraya menunggu obat yang akan ditebus. Dilihat dari perbedaan tinggi badan, semua orang yang melihat mereka pasti akan mengira dua sejoli itu adalah saudara. Bukan ibu dan anak.

Entah bagaimana, tiba-tiba ekor mata Julio menangkap sesosok laki-laki gagah sedang berlari menuju lantai atas. Laki-laki asing yang ia temui beberapa hari lalu dengan kesan pertama yang begitu buruk. Pakaiannya begitu rapi, kemeja dan jas berwarna coklat membuat kesan gagah padanya semakin lekat.

Matanya terus mengikuti pergerakan pria itu, sampai saat pintu lift akan tertutup tanpa sengaja Julio membuat kontak mata dengan pria itu. Tatapannya… Menyebalkan.

“Gausah diliatin terus.” Tegur Bianca.

“Dia ngapain disini?” Tanya Julio tanpa mengalihkan pandangan dari pintu lift meski sudah tertutup.

“Entah? Keluarganya sakit mungkin?”

Julio menatap Bundanya, sedikit menunduk supaya ia menatap jelas wajah wanita cantik itu. “Dia tinggal di deket sini.”

Bukan pertama kalinya Bianca melakukan tindakan berani seperti yang ia lakukan pada teman nya bernama Maya itu. Rekan kerja dan koki lainnya menyebut Maya sebagai 'Koki Dadakan' karena entah datang dari mana tiba-tiba datang sebagai asisten kepala koki.

Kemudian tak heran lagi ketika tau bahwa, Maya adalah anak kandung dari pemilik restoran tempat mereka bekerja. Pekerjaannya tidak selamanya bagus, ia hanya kenal memerintah. Suatu hal yang wajar orang-orang yang ingin berada di posisinya dengan usaha yang ada tak suka padanya.

Dengan kemeja berwarna putih tulang, dan celana rapi berwarna coklat susu, Bianca menyusuri lorong menuju ruangan yang telah Maya sebutkan. Ruang Direktur.

Beberapa orang yang mengenal Bianca tak segan untuk menegur dan menunduk menyapanya. Bianca dikenal tak memiliki ekspresi namun ucapan dan perlakuannya begitu hangat.

Sampailah ia di depan ruangan yang megah, ruangan yang disegani banyak orang. Pintu kaca itu Bianca ketuk sebanyak tiga kali seusai ia menghembuskan napasnya gusar guna mengatur degup jantungnya yang tidak beraturan.

Saat ia mendengar suara mengizinkan ia masuk, baru Bianca membuka pintu itu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Senyuman hangat dan hormat menyambut kedatangannya. Dapat ia tangkap dengan kedua bola matanya, ada Maya yang enggan menatapnya. Dagu pemudi itu terangkat setinggi-tingginya.

“Ada apa, Bianca? Jarang sekali kamu kesini.” Benar adanya, Bianca jarang sekali datang ke ruang direktur kecuali ada masalah di dapur.

Direktur itu berbicara dengan gestur tangan yang mengizinkannya untuk menduduki salah satu kursi yang ada di depan mejanya. Kemudian Bianca mengikuti isyaratnya itu.

Ia menoleh ke belakang menatap Maya, “Yang kemarin kita telah bicarakan, Pak. Mengenai saya memberikan Nona Maya surat peringatan karena keterlambatannya yang terus menerus.”

Pria tua di depannya mengangguk semangat, “Iya, betul. Ada apa?” Dibalik sana, wajah Maya berubah seketika.

“Nona Maya barangkali mau menjelaskan apa yang terjadi?” Bianca memberikan tawaran karena dapat ia dengar samar-samar menyumpah-serapahinya dibelakang.

Maya memutar bola matanya malas dan bangun dari duduknya yang begitu terlihat nyaman, “YAH?! Aku ini anak Ayah! Kok Ayah malah izinin dia kasih aku surat peringatan sih?”

Sang Ayah menghela napas lelah, “Di rumah kamu anak Ayah, Maya. Di sini, kamu tetap karyawan Ayah.” Tukasnya tegas.

Bianca yang melihat perselisihan antara anak dan ayah itu hanya menatap bergantian setiap mereka beradu mulut.

Maya adalah anak tunggal kaya raya sesungguhnya. Hidupnya tak pernah lepas dari kekayaan yang melimpah, tanpa ia bekerja pun hidupnya sudah terjamin. Namun ketika usianya telah menginjak dua puluh lima tahun, orang tuanya tetap memaksa untuk ia bekerja. Kemudian di tempatkanlah Maya di posisinya sekarang.

“Kok Ayah malah belain dia sih?!” Teriak Maya menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Telinga Bianca sempat berdengung karena mulut pemudi itu tepat berada disebelahnya.

“Mau gimanapun Bianca ini tetap atasan kamu, Maya. Kamu tetap harus punya hormat.” Bohong kalau Bianca bilang ia tak merasa menang. Dadanya terasa meluas seketika, ingin sekali ia mengangkat dagu seperti yang tadi Maya lakukan, namun ia menahannya.

“Emang harusnya aku gak setuju buat kerja disini, kalau aku sama aja kaya karyawan rendahan!”

“Jaga ucapan kamu!”

Perdebatan itu usai sebab Maya keluar dengan amarah, dapat dikatakan karena ia membanting pintunya begitu keras. Untung saja pintu mahal itu tidak pecah.

Jujur, Bianca merasa deja vu melihatnya. Ia serasa melihat anak-anaknya sepuluh tahun lalu yang marah ketika tak ia belikan mainan.

“Saya minta maaf atas sikap tidak sopan anak saya, Bianca. Kamu pasti merasa tersinggung.”

Bianca dengan tenang menjawab, “Tidak masalah, Pak. Bukan masalah besar untuk saya.” Begitu tuturnya.

Direktur tersenyum, “Kamu memang bisa diandalkan.”

Flashback on

“Jeanno, sayang! Jangan dimakan ya, sayang.” Ujar wanita dengan perut yang besar.

“Bunda? Can you read this book for me? I can't sleep.

Perempuan bernama Bianca itu sedikit menekuk lututnya supaya mensejajarkan tingginya dengan anak laki-laki manis itu. “Coba tanya ayah dulu, ya, Nak. Bunda agak susah kalau naik ke atas dan bacain cerita buat kamu.” Tentu Bianca merasa tidak enak dengan anak sulungnya. Meskipun Bianca sedang mengandung anak ketiga, ia tidak mau anak-anaknya merasa kasih sayangnya terbagi.

I’ve asked him before. He said no.” Wajahnya terlihat sendu.

Hatinya mencelos. “Okey. Bunda bacain di ruang tengah, gapapa ya?”

Bianca dan laki-laki bernama Jeffran Anderson telah menikah empat tahun lamanya dan dikaruniai tiga orang anak. Umur Bianca yang masih terbilang sangat muda saat menikah dan hamil pertama, mengambil keputusan yang nekat untuk menikah dengan Jeffran, laki-laki yang berbeda tujuh tahun dengannya.

Awalnya kedua orang tuanya kurang setuju dengan hal itu, namun dengan alasan satu dan lainnya akhirnya mereka dengan berat hati mengizinkan.

Dari awal menikah, Jeffran sudah mulai menunjukkan sifat aslinya. Sifat tak acuh, semaunya, dan keras kepala. Pada awalnya, Bianca mengira itu terjadi karena suaminya kelelahan sepulang kerja.

Bianca menolak angkat bicara meski ibu dan ayahnya telah memaksanya. Bianca tidak mau malu, dulu saat akan menikah ia yang memaksa untuk meminta restu.

Bianca membuka matanya karena suara bel rumah yang berbunyi berkali-kali. Seperkian detik kemudian ia sadar bahwa ia tertidur di ruang tengah dengan dua anaknya yang tertidur di perutnya. Ia menyingkirkan perlahan kepala yang bersandar nyaman di perutnya, lalu menghampiri pintu utama.

Ketika ia membuka pintu itu, wajah yang terpampang terlihat tidak begitu asing.

“Mana Jeffran?” Ucap perempuan dengan gincu merah dibibirnya. Baru Bianca sadar, bahwa ini adalah sekretaris suaminya di kantor. Nada bicara kurang ramah, memberikan kesan pertama yang kurang mengenakkan bagi Bianca.

“Ada diatas, duduk aja dulu. Saya panggilkan Pak Jeffran.” Ujar Bianca menunjuk kursi yang ada di depan pintu.

Bianca langsung beranjak naik ke atas, menghampiri kamar suaminya. Ketika ia membuka pintunya, dapat ia lihat kamar yang sangat amat berantakan, dan Jeffran yang sedang tertidur telanjang setengah badan.

“Mas? Ada yang nyariin tuh dibawah.” Tegur Bianca dengan sangat amat lembut. Tangan Bianca mengguncang tubuh Jeffran.

Jeffran mengerang, “Bilang aja gak ada, ribet banget sih!” Bentaknya sambil menepis tangan yang menyentuhnya.

“Sekretaris kamu yang nyariin. Ada kerjaan mungkin.” Jawabnya masih dengan nada bicara yang sama. Masih sangat lembut.

Jeffran langsung mmebuka matanya lebar-lebar dan terduduk di pinggir tempat tidur. Sedikit menimbulkan kecurigaan di hati Bianca namun Bianca tepis jauh-jauh firasat buruk itu. Jeffran langsung berlari kebawah, menghampiri wanita yang tadi ciri-cirinya Bianca sebutkan.

Bianca mengikuti langkah Jeffran meski tidak bisa begitu cepat.

Dapat Bianca dengar suara tamparan yang begitu keras. Langkahnya mulai memelan.

“Dasar brengsek!” Teriak perempuan itu. Perempuan itu mulai menangis.

“Katanya kamu mau tanggung jawab? Aku minta pertanggung jawaban itu sekarang. Aku hamil! Aku hamil anak kamu!”

Langkah Bianca benar-benar berhenti. Dadanya mendadak terasa sesak.

Namun yang lebih menyakitkan adalah jawaban suaminya kemudian. “Iya, Agatha, aku bakal tanggung jawab. Kamu tenang aja.”

Nada bicara yang Bianca dengar—hanya ketika ia dilamar.

Bianca dengan amarahnya, berjalan terburu-buru menghampiri mereka.

“Ini ada apa sih?” Tanya Bianca benar-benar mengintimidasi. Air matanya sudah berkumpul dipelupuk mata akan tetapi menolak untuk jatuh sekarang. Tidak, ia harus kuat sekarang.

Dadanya semakin naik turun ketika ia lihat wanita menjijikan itu memeluk tangan Jeffran, dan—Jeffran tidak menolak. Sungguh ia sangat jijik dengan keduanya sekarang.

“Kamu pilih aku kan, Sayang? Kamu gak akan tinggalin aku kan?” Tanya Agatha dengan bibir yang bergetar. Jeffran masih diam menatap Bianca. Ia sedang menyusun kata-kata untuk ia lontarkan. Tak pernah ia lihat Bianca semarah ini.

“Kamu bisa jaga anak-anak sendiri, Ci. Agatha gak bisa.”

Bianca menyerit alisnya heran, “Maksudnya?”

“Aku pilih Agatha.”

Air matanya resmi terjatuh ketika kata itu dilontarkan. Dunianya ikut runtuh bersamaan dengan lelehan air matanya. Keputusannya yang ia pertimbangkan selama ini akhirnya bulat.

“Ci, aku—”

“Oh—Nggak, gue bukan pilihan. Jangan bilang titip anak-anak, karena emang dari awal cuma gue yang ngerawat anak-anak.” Bianca berkata dengan wajah yang basah karena air mata.

Ia menghembuskan napasnya gusar supaya tidak terdengar bergetar. “Lo juga bilang gue bisa jaga anak-anak sendiri. You’re right. Gue juga bisa bikin mereka gak kenal siapa bokapnya!” Klimaks Bianca lalu masuk kedalam untuk membangunkan Jeanno dan Marco dan pergi dari sana.

“Gausah repot-repot. Cukup tanda tangan surat cerai dan mereka bukan anak lo lagi.”


Flashback off

“Bunda yang lagi hamil Julio yang usianya baru enam bulan bener-bener pergi ke tempat yang jauh. Bunda naik kereta tanpa tujuan dan akhirnya sampe di kost yang sesuai dengan uang yang Bunda pegang saat itu.” Bianca masih setia menangis.

“Nggak ada yang bantu bunda pada saat itu. Cuma bunda dan kalian aja.” Julio mengusap pundak Bundanya menenangkan. Bunda yang duduk di kursi penumpang dan Julio di kursi pengemudi.

“Kalian gak perlu tau gimana caranya bunda bisa bertahan hidup, yang jelas alasannya melibatkan kalian semua.” Bianca diam sejenak dan kembali melanjutkan tuturannya. “Maaf waktu itu gak sengaja denger Jeanno sama Marco ngobrol. ‘Ada sudut pandang yang bunda gak ngerti” Bunda sempet mikir mungkin benar. Bunda juga ada niatan ceritain tentang ayah ke kalian, tapi belum nemu waktu yang pas. Malah ketemu sama dia kaya gini.”

“Bunda minta maaf.”

Marco dan Jeanno yang duduk dikursi belakang sedikit maju untuk meraih pundak Bianca dan memeluk sebisanya akibat minimnya ruang gerak.

“Maaf, Bun. Jean gak tau kalo sebegitu menyakitkannya.” Ujar Jeanno merasa bersalah.

“Maaf juga ya, Bun. Selama ini kita banyak ngerepotin bunda.” Sahut Marco.

Julio yang sedang fokus mengemudi ikut menyahut, “Makasih ya, Bun. Kalo aku jadi Bunda pasti udah gugurin anak yang didalem perut aku. Tapi bunda nggak, makasih banyak ya, Bun.”

Its okay, boys. Kalian bahagia aja udah cukup banget buat Bunda.”

“Kalo dia gangguin Bunda lagi, kasih tauin kita ya.”

Setiap suapan makanan kedalam mulut ditemani dengan perbincangan hangat. Marco yang bercerita tentang kampusnya, Jeanno yang berkeluh-kesah, juga Julio yang sedang kasmaran menceritakan tentang kekasihnya, sementara Bianca senantiasa mendengarkan tanpa ada niatan menginterupsi sedikitpun.

“Saran aku ya, Jul. Mending lo jangan terlalu berlarut jatuh cinta sama itu cewek. Emang baru pacaran tuh tai ayam berasa coklat.” Kemudian Jeanno kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Jangan terkejut, Jeanno dan Julio jika didepan Bianca memang berbicara dengan bahasa yang sopan. Bianca tidak suka jika mendengar mereka berbicara menggunakan lo-gue.

“Nggak sih. Aku anggap Mei itu sebagai salah satu keajaiban. Mei ngajarin aku banyak hal.”

Marco tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, “Bener kan, Jen? Bener-bener berasa kaya coklat.” Ucapnya, Jeanno mengangguk mengiyakan.

“Sebenarnya Bunda gapapa banget sama pacar kamu, Jul. Yang bunda gak suka itu kalo dia bikin langkah kamu jadi pendek. Paham kan? Bunda susah-susah bikin kamu untuk bisa lompat lebih jauh, jangan sampai pacar kamu bikin usaha bunda jadi hancur gitu aja.”

Julio tertegun mendengarnya, “Iya, Bun,”

Lalu obrolan terus berlanjut dengan suasana yang sama.

Read more...