
Suara lantunan musik klasik memasuki telinga para pendatang pesta yang diselenggarakan malam hari ini. Acara yang diadakan dalam rangka bentuk rasa syukur pada Tuhan karena telah diberikan umur hingga gadis cantik itu dapat menginjak genap umur dua puluh tahun. Gadis cantik yang dikenal dengan keramahan dan kesopanannya.
Gaun biru tua dengan sedikit gemerlap disana memberikan kesan dewasa pada badan gadis itu. Membuat semua pasang mata menatapnya kagum.
“Selamat ulang tahun, Maya! OMG udah lama gak ketemu lo makin cantik aja?” Puji Sasa—temannya tulus.
Maya tersenyum manis, “Ah—yang bener lo, Sa. Tapi emang gue lagi nyoba skincare baru, gimana?” Tangannya menepuk pipi kanannya beberapa kali dengan lembut.
“Hah? Sumpah? Fix lo harus kasih tau gue produk apaan. Oke?” Sasa menautkan alisnya seolah marah. Kemudian Maya mengangguk dan mengacungkan jempolnya.
“Eh—kado lo udah gue taro sana. Gue gak kasih nama jadi nanti lo tebak ya, punya gue yang mana.” Sahut teman Maya lainnya. Yumi.
“Yang bener aja lo, Yum? Males banget gue…”
“Pokoknya harus bener, terus post di instastory tag gue!” Perintah Yumi mutlak.
Datanglah para laki-laki yang merupakan teman dekat mereka saat duduk dibangku SMA dulu. Dengan pakaian yang senada yaitu putih dan coklat susu.
“Wish you all the best lah pokoknya.”
Maya terkekeh, “Thanks, ya, Don.”
“Makasih juga, semuanya udah sempetin dateng. Lama banget gak ketemu setelah gue ke Kanada, tapi glad kalian masih mau dateng.” Maya menaruh tangannya di pundak Sasa.
“Yaudah gue mau ambil makanan dulu, temenin gue, Nel.”
“Gue?!” Tanpa menunggu jawaban Lionel selanjutnya, Yumi langsung menarik tangan Lionel untuk menjauh dari sana.
Sasa yang mengerti kode itu langsung berkata, “Eh—itu Mia bukan sih? Best friend kita dulu kalo dihukum sama Pak Yudi.” Sasa langsung merangkul Donny dan Heksa untuk menjauh dari sana.
Menyisakan hanya Marco dan Maya berdua saja. Pada dasarnya memang Maya yang senang berbicara, ia sama sekali tidak merasakan canggung. Jauh berbeda dengan Marco yang merasa degup jantungnya dapat didengar semua orang yang ada.
“Kok lo gak bawa pacar lo kesini sih, Co? Padahal gue bilang boleh bawa pacar tau, kan gue pengen kenalan juga.”
“I don't have a girlfriend—haha.” Marco terkekeh canggung.
Maya menyerit alisnya heran, “Serius lo? Emang anak teknik gak ada yang cantik, Co? Ya… gue tau sih sembilan puluh persen isinya laki-laki, tapi sekalinya perempuan emas banget. Iya gak sih? Apa gue sok tau, ya?”
“Gue belum nemu yang cocok aja sih, sibuk ngejar cita-cita aja.” Jawab Marco singkat. Maya mengangguk paham.
“Oh iya, nyokap lo gimana? Pasti makin cantik kan? Gue liat di story lo aja kaget gak percaya itu nyokap lo. Cantik banget.”
“Begitu deh, May. Makin sibuk juga, sekarang nyokap udah head chef jadi makin padet jadwalnya. Makin galak juga.” Marco terkekeh diakhir kalimat.
“OMG really?” Maya ikut terkekeh mendengar kata itu. “Tapi kasih sayang nyokap ke lo gak ada yang ngalahin sih, man. Berasa banget nyokap jagain lo.”
“Your father does the same, anyway. Wherever you go, I can see your father following you.“
Maya memutar bola matanya malas. “I just can't understand him. I'm already twenty but still he can let me go.“
“He will never let you go. You're his one and only precious princess.“
Maya mengibaskan rambutnya, “I know.” Kemudian keduanya terkekeh.
“But, yeah—I love him, of course. Tapi normal kan kalo gue mau hidup yang lebih bebas, gak perlu text him setiap tiga puluh menit sekali. Pertama kali gue cerita kaya gini ke orang, gue ngerasa kalo anak yang orang tuanya lengkap gak bisa ngerasain ini. Iya gak sih, Co?”
Marco tidak langsung menjawab, membiarkan percakapan hening beberapa saat.
“I guess so. Maybe right, gue bisa ngerasain gak nyamannya jadi lo sih. Lo anak cewek tunggal dengan single dad dan gue tiga bersaudara with single mom. Kadang emang susah ngerti point of you kita sih.”
“Gue ngerasa lega banget, asli. Akhirnya ada yang bisa gue ajak cerita.” Maya memejamkan matanya seraya menghembuskan napasnya gusar.
“You can text me whenever you need it. I can speak english properly.” Ketika Maya menoleh dapat ia lihat Marco yang sedang mengangkat sebelah alisnya beberapa kali. Kemudian mereka sama sama tertawa.
Ternyata… Tidak se-menyeramkan yang Marco kira. Kita cuma butuh menghadapinya, bukan menghindarinya.