matematiqa

Setiap suapan makanan kedalam mulut ditemani dengan perbincangan hangat. Marco yang bercerita tentang kampusnya, Jeanno yang berkeluh-kesah, juga Julio yang sedang kasmaran menceritakan tentang kekasihnya, sementara Bianca senantiasa mendengarkan tanpa ada niatan menginterupsi sedikitpun.

“Saran aku ya, Jul. Mending lo jangan terlalu berlarut jatuh cinta sama itu cewek. Emang baru pacaran tuh tai ayam berasa coklat.” Kemudian Jeanno kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya. Jangan terkejut, Jeanno dan Julio jika didepan Bianca memang berbicara dengan bahasa yang sopan. Bianca tidak suka jika mendengar mereka berbicara menggunakan lo-gue.

“Nggak sih. Aku anggap Mei itu sebagai salah satu keajaiban. Mei ngajarin aku banyak hal.”

Marco tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, “Bener kan, Jen? Bener-bener berasa kaya coklat.” Ucapnya, Jeanno mengangguk mengiyakan.

“Sebenarnya Bunda gapapa banget sama pacar kamu, Jul. Yang bunda gak suka itu kalo dia bikin langkah kamu jadi pendek. Paham kan? Bunda susah-susah bikin kamu untuk bisa lompat lebih jauh, jangan sampai pacar kamu bikin usaha bunda jadi hancur gitu aja.”

Julio tertegun mendengarnya, “Iya, Bun,”

Lalu obrolan terus berlanjut dengan suasana yang sama.

Read more...

Kehangatan yang dulu selalu menyelimuti hati Bianca, kini ia kembali kunjungi bangunan kokoh yang berdiri sejak sebelum ia dilahirkan. Sambutan hangat dari kedua orang tuanya membuat tangis yang sedari tadi Bianca tahan hampir saja pecah.

“Udah makan belum, cantik? Kok sendiri aja? Anak-anak mana?” Tegur Sang Ibunda.

“Lagi pada sibuk, Julio ada pendalaman, Jeanno juga, Marco masih ada kelas. Jadi Cia sendirian.”

Laki-laki yang ia panggil Yanda itu langsung menuntun anaknya untuk duduk dibangku didekat mereka. Rambutnya sudah memutih sempurna tak ada sisa. Yanda juga sudah mulai sulit berjalan karena tulang di lututnya mulai mengerepos.

“Apa kabar, Nda? Maaf Cia baru sempet mampir sekarang.”

Yanda menggeleng keras, “Nggak apa-apa, cantik. Yanda ngerti. Yanda sehat, sangat sehat. Ada Bunda yang mengurus Yanda juga.” Yanda menunjuk ke arah dapur, dimana wanita yang ia sebut Bunda itu berada.

“Gimana anak-anak, Cia? Sehat semuanya kan?”

“Sehat, Nda. Udah mulai pada sibuk jadi jarang di rumah. Makin jarang ketemu sama Cia.”

Yanda mengusap pundak Bianca, “Itu ada masanya. Dulu, kamu juga begitu. Lebih ke sok sibuk sih jatuhnya.”

“Ih!—Nggak ya! Aku dulu beneran sibuk tau..” Yanda terkekeh mendengar elakan anaknya.

Tiba-tiba keduanya diam.

“Kamu belum punya pacar, Cia?” Pertanyaan itu membuat Bianca tersedak teh buatan Ibundanya.

“Kok kaget? Yanda serius nanya lho, Ci.”

“Yanda tuh ada benernya, Cia. Anak-anak udah makin gede harusnya paham kalau bundanya juga butuh pendamping. Apalagi nanti mereka bakal nikah, bakal punya istri.”

“Nggak tau deh kalau itu. Baru aja tadi malam Cia denger Marco sama Jeanno ngobrol kalo Jean itu penasaran gimana bentuk ayahnya.” Yanda dan Bunda saling melempar tatap.

“Terus Cia berpikir, ada benernya. Cia gak pernah sama sekali cerita tentang Jeffran ke mereka, bahkan mereka gak tau harus manggil sosok ayah itu dengan panggilan apa.”

Bianca menggigit bibirnya resah, “Sebenarnya Cia salah gak sih, Nda, Bun? Cia cuma gak mau bikin mereka benci sama ayahnya sendiri.” Bianca menatap Yanda dan Bunda bergantian meminta jawaban yang lebih memuaskan dibanding tatapan heran mereka.

“Kata Jean betul, ada sudut pandang yang gak aku ngerti. Mungkin ada beberapa pemikiran Jeffran yang aku gak ngerti.”

Bunda meraih tangan Bianca dan mengusapnya beberapa kali dengan niat menenangkan, “Bunda tau—perpisahan kamu sama Jeffran terlalu menyakitkan. Bunda sangat mengerti, dan bahkan salut sama kamu. Kalau Bunda yang ada di posisi kamu mungkin bunda gak akan kuat.”

Bunda menatap mata Bianca lamat-lamat. “Tapi anak juga butuh sosok ayah. Kamu gak bisa bilang kamu bisa jadi ayah dan ibu sekaligus. Itu bohong, Cia. Nyatanya gak bisa.”

“Bunda bener, Cia. Anak-anak kamu udah besar. Mungkin dengan kamu cerita, mereka bisa menilai dengan pemikiran mereka sendiri.” Sahut Yanda.

Bianca menatap Bunda dan Yanda bergantian. “Nggak harus sekarang. Nanti saat kamu siap.” Ucap Bunda ketika melihat keraguan yang luar biasa dimata Bianca.

“Kalo mereka mau ketemu sama Jeffran gimana? Aku gak siap, Bun..”

“Bunda juga gak yakin setelah denger cerita kamu mereka masih mau kenal sama Jeffran atau nggak.”

Suara lantunan musik klasik memasuki telinga para pendatang pesta yang diselenggarakan malam hari ini. Acara yang diadakan dalam rangka bentuk rasa syukur pada Tuhan karena telah diberikan umur hingga gadis cantik itu dapat menginjak genap umur dua puluh tahun. Gadis cantik yang dikenal dengan keramahan dan kesopanannya.

Gaun biru tua dengan sedikit gemerlap disana memberikan kesan dewasa pada badan gadis itu. Membuat semua pasang mata menatapnya kagum.

“Selamat ulang tahun, Maya! OMG udah lama gak ketemu lo makin cantik aja?” Puji Sasa—temannya tulus.

Maya tersenyum manis, “Ah—yang bener lo, Sa. Tapi emang gue lagi nyoba skincare baru, gimana?” Tangannya menepuk pipi kanannya beberapa kali dengan lembut.

“Hah? Sumpah? Fix lo harus kasih tau gue produk apaan. Oke?” Sasa menautkan alisnya seolah marah. Kemudian Maya mengangguk dan mengacungkan jempolnya.

“Eh—kado lo udah gue taro sana. Gue gak kasih nama jadi nanti lo tebak ya, punya gue yang mana.” Sahut teman Maya lainnya. Yumi.

“Yang bener aja lo, Yum? Males banget gue…”

“Pokoknya harus bener, terus post di instastory tag gue!” Perintah Yumi mutlak.

Datanglah para laki-laki yang merupakan teman dekat mereka saat duduk dibangku SMA dulu. Dengan pakaian yang senada yaitu putih dan coklat susu.

Wish you all the best lah pokoknya.”

Maya terkekeh, “Thanks, ya, Don.”

“Makasih juga, semuanya udah sempetin dateng. Lama banget gak ketemu setelah gue ke Kanada, tapi glad kalian masih mau dateng.” Maya menaruh tangannya di pundak Sasa.

“Yaudah gue mau ambil makanan dulu, temenin gue, Nel.”

“Gue?!” Tanpa menunggu jawaban Lionel selanjutnya, Yumi langsung menarik tangan Lionel untuk menjauh dari sana.

Sasa yang mengerti kode itu langsung berkata, “Eh—itu Mia bukan sih? Best friend kita dulu kalo dihukum sama Pak Yudi.” Sasa langsung merangkul Donny dan Heksa untuk menjauh dari sana.

Menyisakan hanya Marco dan Maya berdua saja. Pada dasarnya memang Maya yang senang berbicara, ia sama sekali tidak merasakan canggung. Jauh berbeda dengan Marco yang merasa degup jantungnya dapat didengar semua orang yang ada.

“Kok lo gak bawa pacar lo kesini sih, Co? Padahal gue bilang boleh bawa pacar tau, kan gue pengen kenalan juga.”

I don't have a girlfriend—haha.” Marco terkekeh canggung.

Maya menyerit alisnya heran, “Serius lo? Emang anak teknik gak ada yang cantik, Co? Ya… gue tau sih sembilan puluh persen isinya laki-laki, tapi sekalinya perempuan emas banget. Iya gak sih? Apa gue sok tau, ya?”

“Gue belum nemu yang cocok aja sih, sibuk ngejar cita-cita aja.” Jawab Marco singkat. Maya mengangguk paham.

“Oh iya, nyokap lo gimana? Pasti makin cantik kan? Gue liat di story lo aja kaget gak percaya itu nyokap lo. Cantik banget.”

“Begitu deh, May. Makin sibuk juga, sekarang nyokap udah head chef jadi makin padet jadwalnya. Makin galak juga.” Marco terkekeh diakhir kalimat.

OMG really?” Maya ikut terkekeh mendengar kata itu. “Tapi kasih sayang nyokap ke lo gak ada yang ngalahin sih, man. Berasa banget nyokap jagain lo.”

Your father does the same, anyway. Wherever you go, I can see your father following you.

Maya memutar bola matanya malas. “I just can't understand him. I'm already twenty but still he can let me go.

He will never let you go. You're his one and only precious princess.

Maya mengibaskan rambutnya, “I know.” Kemudian keduanya terkekeh.

But, yeah—I love him, of course. Tapi normal kan kalo gue mau hidup yang lebih bebas, gak perlu text him setiap tiga puluh menit sekali. Pertama kali gue cerita kaya gini ke orang, gue ngerasa kalo anak yang orang tuanya lengkap gak bisa ngerasain ini. Iya gak sih, Co?”

Marco tidak langsung menjawab, membiarkan percakapan hening beberapa saat.

I guess so. Maybe right, gue bisa ngerasain gak nyamannya jadi lo sih. Lo anak cewek tunggal dengan single dad dan gue tiga bersaudara with single mom. Kadang emang susah ngerti point of you kita sih.”

“Gue ngerasa lega banget, asli. Akhirnya ada yang bisa gue ajak cerita.” Maya memejamkan matanya seraya menghembuskan napasnya gusar.

You can text me whenever you need it. I can speak english properly.” Ketika Maya menoleh dapat ia lihat Marco yang sedang mengangkat sebelah alisnya beberapa kali. Kemudian mereka sama sama tertawa.

Ternyata… Tidak se-menyeramkan yang Marco kira. Kita cuma butuh menghadapinya, bukan menghindarinya.

tw // harsh word

Laki-laki berusia tujuh belas tahun sedari tadi berdiri seraya berbicara para khalayak anggota OSIS yang datang. Dengan rambut tersisir rapih keatas, laki-laki itu memiliki ciri khas sifat yang mudah marah, jengkel, dan terlalu banyak bicara sedikit pergerakan. Sehingga tidak sedikit teman seangkatannya yang tidak menyukainya.

Julio, selaku ketua organisasi itu akhirnya angkat bicara. Setelah ia menunggu pria bernama Sabiru menyelesaikan ucapan yang ingin disampaikan, akhirnya ia berbicara.

Okey, I guess that's enough. Temen-temen juga udah dapet pointnya, iya kan?” Adik kelas mereka mengangguk.

“Gue lagi ngomong. Jangan potong pembicaraan gue, brengsek.”

Julio berusaha untuk tidak terpancing emosi. “Jangan dateng telat, menghargai senior, menjaga kebersihan, danus, mereka gak aktif. Itu kan yang lo sampein?” Sabiru tidak menjawab, wajahnya memerah menahan marah.

“Bahkan materi yang mau gue sampein hari ini, gak ada satupun yang kesebut. Lo sendiri yang bilang banyak yang bisa dilakuin dalam tiga puluh menit kan? Ini udah dua jam.”

“Kenapa ucapan lo seolah-olah gue yang salah disini? Jelas dari awal lo yang nunda-nunda karena lo kasian sama junior lo.” Sabiru mengangkat dagunya, berargumen tak mau disalahkan.

“Pas dimulai juga emang lo ada angkat bicara? Kerjaan lo cuma diem di belakang, gak ada niatan bikin mereka ini lebih disiplin.” Sabiru menunjuk anak-anak yang sedang duduk memperhatikan perdebatan yang ada. Berdasarkan kultur, menunjuk orang lain dengan telunjuk adalah perbuatan kurang sopan.

“Lo itu bukan siapa-siapa, Bir. Bacot lo kebanyakan.” Nada, sekretaris OSIS. Angkat bicara dari belakang seraya melipat kedua tangannya didepan dada.

Sabiru menoleh dengan tatapan sengit, “Bersyukur karena lo perempuan, kalo bukan muka lo udah bonyok sekarang.” Ancamnya dengan tajam.

Nada justru tersenyum miring, dan turun dari meja yang ia duduki. “Ini lo lagi berpikir kalo lo keren banget, ya? Lo lagi berpikir gue bakal takut, gitu?” Nada memang dikenal sebagai perempuan yang tidak kenal takut.

Tangan Sabiru siap melayang saat itu juga. Namun, ditahan oleh Julio yang memiliki tinggi badan tak jauh dari Sabiru.

“Jangan ditahan, Jul. Gue mau tau selembek apa tangan dia.”

“ANJING LO!”

Julio masih dengan erat menggenggam pergelangan tangan Sabiru. Keadaan ruang OSIS semakin panas karena perdebatan semakin merambat kemana-mana. Permasalahan baru kini timbul.

“Rapat saya akhiri. Kembali ke rumah masing-masing, hati-hati di jalan.” Ujar Julio pada para juniornya. Semua orang perlahan meninggalkan ruangan itu kecuali teman seangkatan Julio.

“Tenang dulu, Sabiru. Kita bisa selesain ini baik-baik.”

Sabiru melepaskan cengkraman tangan Julio dan menebarkan tatapan sengit pada seluruh manusia yang ada di ruangan itu.

“Gausah! Gue pulang.” Ia benar-benar berjalan keluar meninggalkan ruangan itu.


“Pulang sama siapa?” Tanya Julio pada dua perempuan yang ada disana. Gia dan Nada.

Gia dan Nada saling melempar tatapan, “Gue sih dijemput cowok gue. Lo gimana, Nad?”

“Kayanya naik ojol sih. Gatau juga liat nanti aja.” Jawab Nada sambil membereskan barang-barangnya yang ada diatas meja.

“Ayo gue anter aja.”

Nada menatap Julio heran, “Yang bener? Nanti cewek lo gimana?” Nada kenal betul bagaimana sikap kekasih Julio ketika melihatnya dengan yang lain.

“Dia juga gak bakal tau. Lagian cuma anter doang.”

“Kalo lo ribut sama cewek lo, gue gak tanggung jawab ya, Jul.”

“Bukannya gimana-gimana ya, Ci. Tapi gue suka sebel aja gitu udah hampir dua puluh tahun barengan, tapi masalah yang diributin selalu itu-itu... aja. Gue kan jadi bingung, gue harus berbakti sama suami tapi gue gak bisa ninggalin pekerjaan gue gitu aja.”

Tangan Bianca mengelus pundak Ayara dengan niat menenangkan. Emosi Ayara terlalu meletup-letup.

“Yang sabar... Namanya pernikahan pasti ada cobaannya.”

“Lo tuh gak akan paham sama gue, Ci. Ini bener-bener berat buat gue. Harus ngurusin anak, kerjaan gue banyak, ngurus suami, ngurus rumah juga. Semuanya dibebanin ke gue.” Ungkap Ayara dengan isak tangis luar biasa.

Ayara dan Bianca telah bersahabat sejak menduduki bangku di jenjang menengah pertama. Selain jarak rumah yang berdekatan, berada di kelas yang sama dan duduk sebangku adalah faktor pendukung mereka memiki hubungan yang dekat.

Sejak beberapa bulan ini mereka jarang bertemu karena satu dan lain halnya. Bianca yang sibuk dengan pekerjaan dan anak-anaknya, juga Ayara yang tidak diizinkan suaminya untuk keluar rumah selain bekerja.

Pada dasarnya Ayara adalah orang yang senang bercerita, dan Bianca adalah pendengar yang baik. Jadi setiap ada masalah, ia akan datang pada Bianca dan bercerita. Tugas Bianca hanya mendengarkan sampai emosi sahabatnya itu reda dengan sendirinya.

“Entah gue yang dibentak lah, disindir pake kata-kata yang dia tau kalo gue gak suka dibilang pake kata-kata itu, bahkan dia periksain hp gue setiap gue tidur. GILA KAN?”

Kini tangisannya telah reda, ia mulai mengangkat kepalanya yang dari tadi ia tutup dengan kedua tangan. “Apa gue cerai aja ya, Ci? Gue gak kuat banget.” Tanya nya secara tiba-tiba.

Sempat terkejut beberapa saat, namun Bianca berhasil mengontrol ekspresi nya.

“Pikirin dulu baik-baik. Jangan ambil keputusan saat lo emosi.” Tegur Bianca.

“Sekarang gue cuma bisa mikirin diri gue sendiri aja. Kalula udah diatas delapan belas tahun, dia udah bisa milih mau ikut siapa. Iya kan? Gitu kan, Ci?”

Bianca menghela napas, “Iya. Tapi nggak segampang itu juga. Bukan tentang nanti Lula pilih mau sama siapa, Lula masih butuh kalian berdua. Akan selalu butuh.”

“Buktinya anak-anak lo bisa kan, Ci? Masa Lula yang udah gede aja gak bisa?”

Bianca terlalu sensitif jika membahas tentang anak dan perceraianya.

“Justru itu. Jangan kaya anak-anak gue, Ay. Mereka kehilangan ayahnya, karena gue.”

Ayara sadar akan ucapannya, “Eh jangan nyalahin diri lo sendiri gitu lah, Ci. Gue gak bermaksud nyinggung kesana.

“Sekalinya beneran nyinggung juga gak apa-apa. Gue tau gue yang salah disini.”

Suara gaduh setiap pagi, yang selalu Bianca harap tidak akan pernah pergi. Sekedar pertanyaan dimana letak kaus kaki si bungsu, atau dimana letak kunci motor si sulung. Dan ocehan tidak penting dari sang anak tengah.

Ibu dari tiga anak itu hanya bisa memasak seraya menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Walaupun sibuk bekerja, wanita cantik itu selalu menyempatkan memasak di rumah supaya anak-anaknya sarapan di rumah.

“Masak apa, cantikku, manisku, sayangku?” Tegur laki-laki berusia delapan belas tahun, seraya mendongakkan kepalanya supaya dapat melihat isi wajan ditangan bunda tercinta.

“Mau bawa bekal, kamu?” Ucap Bianca sambil berjalan kearah rak berisi kotak-kotak untuk bekal makanan.

Laki-laki bernama Jeanno itu berpikir sebentar lalu berkata, “Dikit aja boleh deh, Bun. Istirahatnya cuma sedikit.”

“Kenapa?”

“Emang gak ada yang perlu dipelajari lagi. Tinggal ngasih tau ulang tentang ujian praktek minggu depan aja.”

“Julio! Marco! Bawa bekal, jangan berangkat dulu!” Teriak Bianca.

“Bun, aku nggak bawa dulu deh! Udah telat!” Sahut si bungsu dengan kaki terus menuruni anak tangga. Perempuan yang ia panggil bunda menatapnya heran dengan mata yang mengikuti pergerakan Julio.

Marco yang sedang santai di atas meja makan akhirnya menjawab pertanyaan di kepala sang ibunda, “Mau jemput ceweknya, Bun.” Akhirnya Bianca mengangguk paham.

“Pulang sekolah bawa ke rumah, Julio!” Ucap Bianca dengan tegas.

Bianca adalah orang tua yang santai ketika mengetahui anaknya mengencani perempuan, mungkin memang sudah saatnya. Bianca yakin ia sudah membekali mereka ilmu yang cukup untuk menjaga wanita.

“Hayolo, Julio…”

“Gak bisa, Bun! Aku ada rapat OSIS hari ini.”

Jeanno dan Marco terkekeh geli mendengar elakan dari sang bungsu. Mungkin karena tahu ini adalah pacar pertama Julio, jadi ketika salah tingkah terlihat begitu lucu.

“Jangan berangkat dulu, Julio! Ini bekalnya udah siap.” Teriak Bianca sekali lagi. “Tolong anterin ke adik kamu.” Bianca memberikan kotak makan Julio pada Jeanno.

“Bun, makasih ya! Love you! Bunda jawab dong, Bunda!” Teriak Julio dengan pengaman kepala menutupi seluruh wajahnya. Tangannya melambai-lambai di udara meminta atensi perempuan yang ia sebutkan.

“Iya, Julio. Love you more.”

Bianca duduk di meja makan mengikuti Jeanno dan Marco yang sedang sibuk menyantap hidangan yang disajikan.

“Hari ini pulang telat lagi, Bun?”

“Bunda usahain nggak. Kemarin tuh gara-gara ada chef yang telat banget sampe harus Bunda yang gantiin.” Ungkapnya. “Problematic” Final Bianca.

Jeanno yang penasaran akhirnya melontarkan pertanyaan, “Yang Maya itu bukan sih?”

“Ya. How did you know her?” Tentu saja Bianca bertanya, ia sama sekali tidak pernah memperkenalkan perempuan bernama Maya itu pada anak-anak.

“Nggak kenal. Waktu itu pas aku sama Julio nyamperin ke resto, gak sengaja liat yang namanya Maya lagi di marah-marahin sama atasannya. She looks innocent.

I guess so? Bunda lebih dulu tau liciknya dia. But that's nothing wrong kalo kamu ngira Maya itu innocent, ucapan kamu itu pujian buat dia.”

“Apa ya kalo bahasa Indonesia nya.” Marco menyahut. “Menye-menye ya, Jen? Atau apa?”

“Iya, itu.”

“Tapi kalo kalian ketemu sama dia, harus tetep jaga sopan-santun. Jangan nunjukin kalau kalian gak suka atau gimana, kalian belum pernah ngeliat secara langsung.”

“Menurut lo gimana tentang rapat tadi, Jov? Ada merasa keberatan gak?” Thomas Jonathan dari dulu memang sangat pengertian, dalam artian, ia mau mendengar apa yang dirasakan orang lain tentang hal yang akan melibatkan banyak orang. Bukan semata-mata hanya mendapatkan uang saja.

Dengan santai, Jovanka menjawab, “Nggak kok, gue gak ada merasa keberatan.” Ucapnya sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya.

Thomas mengangguk paham, “Oh, bagus deh. Tadi gue ngeliat muka lo agak berubah pas di sebut Bandung. Gue cuma takut lo ada masalah gitu.”

Perempuan dengan usia dua puluh delapan tahun itu sempat tertegun. Berarti selama ini air wajahnya terlalu mudah tampak, begitu pikir nya. Jovanka hanya takut air wajahnya itu dapat melukai hati seseorang, padahal ia tidak bermaksud sama sekali.

“Lagi pula kalau gue ada masalah, gak boleh gue bawa-bawa ke sini, lah. Profesional.” Jawab Jovanka diakhiri oleh kekehan kecil menandakan bahwa ia hanya bergurau saja, mencairkan suasana yang terasa canggung entah kenapa.

Seusai berdiam berdiam beberapa detik, Thomas kembali melontarkan pertanyaan. “Lo kalo ada masalah, gapapa banget cerita ke gue. Jangan pikir gue sama lo cuma sebatas manajer sama artis aja. Gue juga teman dan keluarga lo.” Ungkap Thomas dengan tulus.

Jovanka tertawa menanggapi itu. “Kok ketawa? Gue serius.” Protes Thomas dengan senyuman lebar akibat melihat tawaan Jovanka.

“Nggak apa-apa. Gue agak strange aja denger yang kaya gitu. Thank you, lho.”

Nama gue Jovanka Arawinda. Orang lain biasa manggil gue Jova atau Jov aja. Kecuali Adek-adek gue yang manggil gue dengan panggilan “Kaje”. Itu semua karena adik bungsu gue mau manggil gue dengan santai tapi mau sopan. Jadi lah Kaje.

Dan karena gue suka dengan panggilan itu, jadi ya gak masalah.

Gue bekerja sebagai manajer seorang artis. Biasanya setiap dua tahun gue ganti artis, tapi udah berjalan tiga tahun ini gue masih dengan artis yang sama. Mungkin karena gue nyaman dan beliau juga nyaman dengan perlakuan gue. Mungkin.

Yang ada di sebelah gue saat ini adalah adik gue yang pertama. Jordan Maheswara, yang selalu sedia ketika gue butuhin. Serius bukan gue manfaatin dia atau gimana, mungkin dia berpikir kalau harus menghormati kakaknya? Hehe.

Jordan itu guru Bahasa Inggris di salah satu sekolah, gue agak lupa nama sekolahnya tapi kalo gak salah namanya itu “CSW School” dan ada angkanya, gue lupa berapa. Kalau gak salah udah jalan lima tahun disana.

Bahasa Inggris nya Jordan lebih bagus dari pada Bahasa Indonesia nya. Gue heran.

“Pulang jam berapa?” Tanya Jordan masih fokus sama jalanan.

Gue diam sejenak terus jawab, “Sore. Pastinya kapan gue belum tau, biasanya meeting kaya gini gak jelas selesainya kapan.” Jawab gue sekalian curhat, entah kenapa setiap Jordan melontarkan satu pertanyaan jawaban gue selalu panjang yang melenceng dari pertanyaannya.

“Telpon gue udah pulang.” Lo bayangin aja betapa gantengnya Jordan berucap kaya gitu.

Dari dulu gue suka bingung sama Jordan karena gak pernah banyak tingkah, kalem aja gitu. Padahal Jordan sempat jadi bungsu sepuluh tahun, harusnya masih kesisa manja-manja gitu gak sih?

Karena gue yang petakilan dan cerewet, gue udah gak kaget lagi ketika ada orang bilang kalo Jordan itu kakak gue. Ya emang sih cuma beda setahun, tapi kan gue yang lebih tua.

Jordan sama Jody tuh sama, kebobolan.

Makanya gue sama Jody bisa beda sebelas tahun ya… karena itu. Padahal kedua orang tua gue sama-sama sibuk kerja, tapi bisa jadi Jody. Makanya gue tuh bingung banget.

Gue gak benci sama orang tua gue karena nitipin gue dan adik-adik gue sama pembantu. Dari dulu gue selalu berusaha untuk paham. Sebel dikit lah, dulu gue pengen banget rapotnya diambil sama bokap nyokap tapi mereka selalu sibuk. Alhasil mba gue yang ambil. Jordan dan Jody ngerasain hal yang sama, pasti gue yang lebih perasa karena gue perempuan. Kali?

“Bawa bekal gak?” Atensi gue yang tadinya ke buku kecil tentang materi meeting gue nanti, akhirnya gue nengok.

“Nggak, paling nanti dapet dari konsumsi sana.” Jawab gue datar

Tanpa sepengetahuan gue, dia ngambil beberapa nominal uang dari kantongnya. Terus ngasih ke tangan gue dalam kondisi udah dilipat-lipat kecil.

“DIH? Apaan nih?” Teriak gue spontan sambil berusaha balikin uangnya ke tangan Jordan.

Tangannya masih setia memegangi stir mobil tanpa tergoyah sedikitpun padahal gue udah berusaha sekuat tenaga biar tangannya kebuka.

“Buat beli minum.”

Otomatis gue nunjukin ekspresi bingung. “Gue kan punya uang.” Gue juga bingung kenapa gue ngomong kaya gini.

“Simpen aja.”

“Jo, lo jangan bertindak kaya bokap gue gitu dong, Jo. Kan gue jadi mau cium tangan lo.” See? Gue tuh se-pick me itu kalo depan Jordan.

Jordan malah naruh telapak tangannya ke depan muka gue, kaya seolah-olah nyuruh gue cium tangannya. Padahal gue cuma bercanda.

“Anjing lo.”

“Aku tuh gak pernah satu pemahaman sama keluarga aku sendiri, kadang aku sampe mikir aku keluarga mereka atau bukan.”

What do you mean? Jelas mereka keluarga kamu lah, kamu mirip banget sama papa kamu.” Jawab Perempuan dengan mulut yang penuh eskrim.

Abayomi menghela napas nya, “that's not what I mean, Babe. Kamu ngerti gak sih, biasanya kalo keluarga biasanya ada satu opini yang sama biar mereka jadi satu. Tapi di keluarga aku ngga.”

Perempuan bernama Kayra itu kembali menjawab, “Come on! Seru kan punya opini yang beda dari orang-orang disekitar? Kita jadi tau point of view orang lain.”

Terdengar kekehan kecil dari mulut Abayomi, tangannya kembali menyuap eskrim yang ia beli, “kamu tuh dipihak nya siapa sih? Di pihak aku, atau di pihak keluarga aku?”

“Demi apapun itu pertanyaan teraneh yang pernah aku dengar. Mana ada aku di pihak kamu atau di pihak keluarga kamu? Aku cuma berusaha jadi pendengar yang baik lho, buat kamu?”

Kayra menatap mata lelaki didepannya, “aku paham kamu lagi banyak masalah sama keluarga kamu, tapi kamu mikirin gak sih aku disini yang berusaha mahamin kamu terus. Kamu yang ngomong gak enak aku maklumin aku pikir karena emang kamu lagi banyak masalah. Lama-lama juga capek lho, mikirin kamu doang. Aku juga mau dingertiin.”

Gadis itu mulai menangis.

“Kita break aja sampe masalah keluarga kamu membaik.” Tutup nya.

TOK TOK TOK

Ketukan pintu sebanyak tiga kali berhasil mengambil seluruh atensi wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu. Sejenak ia meninggalkan pakaian yang sedang ia kemas untuk pulang ke rumahnya esok hari. Sepertinya satu minggu cukup baginya untuk beristirahat sebentar walau tidak tenang karena meninggalkan anaknya dan berkesan lepas tangan begitu saja.

Ia buka pintu berwarna putih yang menutupi ruangannya.

Terkejut saat dapat ia melihat bahwa yang datang adalah sosok manusia yang ia kenal dengan amat sangat. Suami nya sendiri, berdiri didepan pintu dengan tatapan sayu nya dan baju nya yang lusuh.

Tatapan mereka bertemu. Ditemani dengan riuh angin di luar juga suara hewan malam yang menjadi ciri khas setiap kegelapan ketika matahari mulai tenggelam. Perasaan tidak nyaman bercampur rasa rindu ketika bola mata cantik kesukaannya, kembali ia tatap dengan arti tatapan yang sama. Rasa ingin merengkuh yang tinggi namun ia urungkan ketika sadar apa kesalahan yang diperbuat. Merasa tidak pantas berada di depannya, berstatuskan suaminya.

“Aku,” Kembali ia menunduk menatap jari-jari kakinya, dan melanjutkan tuturannya. “Minta maaf.” Tak kuasa ia menahan tangan dan tubuhnya untuk memeluk sang wanita. Ia rengkuh relung hangat dan melepaskan semua dahaga akan semua rindu yang perempuan itu perbuat.

Air matanya tidak bisa ia bendung lagi. Berjuta-juta kali ia mengucapkan maaf dan tiada kata yang tidak ditemani dengan titikan air mata. Ia baru sadar arti kehilangan sebenarnya. Meminta maaf rasanya tidak cukup setelah apa yang ia perbuat.

Tidak ada balasan dari pelukan itu, hanya mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya. Membiarkan suaminya untuk meluapkan emosi yang ia tahan begitu lamanya. Berusaha memberi pengertian lagi dan lagi, tanpa ada niat menginterupsi diantara setiap kalimat yang dilontarkan. Tanpa ada niatan membalas rengkuhan hangat yang dipastikan akan rasa rindunya.

“Jangan pulang ke Papa, ayo pulang ke rumah aja. Bima kangen sama kamu.” Untuk ketiga kalinya, telinga nya menangkap kata itu lagi. Dapat Debora rasakan bagaimana pelukan yang mengerat ketika kata itu diucapkan. Perasaan khawatir dan panik disalurkan dari rengkuhan itu. Ia dapat merasakannya.

Air hujan turun kian mengeras. Seolah semesta mendukung dua insan ini untuk tetap pada dunia yang sedang berusaha mereka perbaiki. Pada lorong yang sepi, membiarkan mereka dengan dunianya sendiri.

“Cukup, satu minggu cukup kok. Udah ya? Pulang yuk?” Masih tidak ada jawaban dari pertanyaan dan ajakan itu. Perempuan terkasihnya masih terdiam, menatap lurus kedepan dengan tangan yang masih diam tegak di samping tubuhnya.

Ketika sadar bahwa tidak ada jawaban dari Debora, laki-laki berpakaian kemeja putih itu melepas pelukannya dan tatapan mereka kembali bertemu. Ia tatap dalam-dalam sepasang bola mata yang sedari dulu selalu menjadi kesukaannya, kini arti tatapan itu sudah berbeda.

“Maaf,” Lagi. Ia mengusap pipi dimana air matanya jatuh. “Aku gak tau diri banget dateng-dateng minta kamu pulang. Setelah apa yang aku ucapkan beberapa malam lalu, pasti itu nyakitin kamu banget. Aku minta maaf.” Ia selipkan tawaan kering di kata-katanya. Terkesan menyakitkan namun dengan maksud membangun suasana yang tiba-tiba terasa canggung padahal tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Sungguh, ia sama sekali tidak bisa menahan tangis dan sesak di dadanya.

“Aku kacau, Deb. Aku bingung harus ngapain gak ada kamu. Setiap pagi yang biasanya ada kamu disamping aku, tapi sekarang gak ada. Rasanya hampa.” Ucapnya dengan tangisan dan isakan. “Bima pinter ya, Deb? Setiap hari dia ngingetin aku makan, padahal aku selalu tolak.”

Mata sayu itu kembali berpulang pada sepasang mata cantik di depannya

“Deb—”

“Mas.”

“Maaf.”

Tembok yang ia bangun, akhirnya runtuh.

Debora ikut menangis kencang dan memeluk tubuh besar Regan. Debora adalah wanita yang kuat, menangis adalah sesuatu yang sakral baginya. Sejak dulu dibiasakan untuk menerima dan menormalisasikan segalanya. Tapi lelaki kurang ajar ini, yang secara dipaksa masuk ke dalam hidupnya bahkan menjadi bagian dari alasan ia tetap ada di dunia ini.

“Jangan begitu lagi.”

“Mas?”

“Mas?!”