matematiqa

Perasaan gelisah terus menerus menemani Regan sepanjang perjalanan pulang, giginya tiada henti menggigit kuku juga bibirnya sendiri secara tanpa disengaja. Belum ada dua puluh empat jam Debora meninggalkannya, hanya kata-kata sebagai selamat tinggal itu membuatnya tak lepas dari perasaan bersalah.

Kecepatan roda mobilnya berputar sudah tidak jelas lagi mau bagaimana, yang ia pikirkan hanya bagaimana istrinya disana dan pulang untuk menghubungi temannya yang ia tugaskan untuk menemukan keberadaan Debora. Tidak peduli lagi bagaimana kondisinya sendiri, entah sudah makan atau belum ia tidak peduli. Bahkan, ia lupa kalau anaknya menunggu di rumah.

Berkali-kali ia melihat pada telepon genggamnya dengan harapan akan ada pesan masuk dari perempuan yang paling ia cinta, namun nyatanya sang perempuan masih enggan menghubunginya. Tangan kanan yang terus berfokus pada stir didepannya, dan tangan kiri yang penuh harapan akan telepon genggamnya. Perasaan kecewa seolah tak mau menyerah, selalu ada ketika layar benda pipih itu hampa.

Sampai tidak terasa pekarangan rumah abu-abu menyambut pria berpakaian merah marun. Ia masih terdiam di dalam mobilnya, menatap pintu putih tempat alasannya berpulang dan merasakan kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Biasanya, jika ia mengetuk pintu itu akan keluar seorang wanita dengan tampilan sederhana yang selalu terlihat cantik di matanya, juga anak laki-laki yang ikut berdiri menyambutnya. Senyuman hangat dan sapaan mesra senantiasa mereka berikan.

Baru ia sadar apa arti kehilangan sebenarnya.

Sepasang sepatu hitam mengkilap mengalaskan kaki pemiliknya memasuki pagar rumah. Rasanya hampa, hanya itu saja yang bisa ia pikirkan. Tidak ada warna, kebahagiaan bagaikan sirna seketika. Tidak ada rasa antusias menunggu kepulangannya.

Dapat ia tangkap dengan sepasang bola mata mengantuk tanpa semangat itu, anak lelaki berumur lima tahun sedang dibujuk makan oleh asisten pribadinya namun ia menolak suapan itu. Regan dapat mendengar beberapa kata yang keluar dari mulut anak itu berupa, “Aku cuma mau makan kalau Abun udah pulang.” Kembali lagi, Regan menyalahkan dirinya lagi dan lagi. Kalau saja ia bisa mengendalikan ucapannya, pasti Debora ada disini dengannya.

Tak sengaja, pandangan Regan bertemu dengan asisten pribadi anak bernama Bima itu. Tersirat tatapan berharap disana, mungkin berharap Regan akan membantunya membujuk Bima untuk setidaknya makan satu suap saja. Seperti yang wanita dari ibu anak itu titipkan padanya untuk mengurus Bima dengan benar.

“Makan dengan benar, Bimasena.” Suara berat itu mengisi ruangan besar berwarna abu-abu

Sang pemilik nama pun menoleh dan menatap ayahnya tidak suka, “Pulangkan Abun, baru Bima mau makan.” Jawabnya tidak kalah tegas. Tatapan mengintimidasi dominan dari sang ayah menurun tepat pada anaknya tanpa berkurang sedikitpun. Caranya berbicara sungguh mirip dengan Regan saat sedang serius bahkan sejak umurnya baru menginjak lima tahun.

“Bimasena.”

“Abuy.”

Permainan adu tatap itu usai karena perempuan paruh baya disebelah Bima akhirnya memerintahkan anak itu untuk kembali duduk di tempatnya tadi. Masih tidak menyerah untuk terus membujuk nya memasukan nasi ke dalam perutnya.

“Makan yang benar di meja makan, Bimasena. Habiskan makananmu dan pergilah tidur siang.” Perintahnya masih dengan tatapan juga alis yang menyatu kuat tanpa ada berniat ia kendurkan. Bima memutar bola matanya lalu melangkahkan kakinya pergi dari sana. Sang asistennya itu mengikuti dan membungkuk sebelum pergi.

Regan berjalan menuju ruang kerjanya yang berada tidak jauh dari tempat ia berdiri ia sebelumnya. Tangannya bergerak membuka baju luaran dan beberapa kancing kemeja dari atas. Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan komputernya untuk membaca perkembangan mengenai pencaharian orang.

Baru saja ia akan mendaratkan bokongnya pada kursi kebanggannya, tiba-tiba suara bel rumahnya berbunyi mengisyaratkan tamu datang. Entah mengapa Regan merasa bahwa ia harus membuka pintu itu, padahal biasanya ia membiarkan para pembantu di rumahnya yang membuka pintu. Tapi kali ini ia mengikuti kata hatinya dan kembali keluar menghampiri pintu utama. Lelaki itu mengangkat telapak tangannya pada perempuan yang memiliki niat yang sama.

Ia buka pintu itu dan menghadirkan sahabatnya sejak semasa kuliah, berdiri dengan tinggi badan yang tidak jauh berbeda dengannya. Regan sulit mengartikan tatapan itu, seperti marah dan tidak suka bercampur disana.

Karena terlalu lama berdiam akhirnya Regan membuka percakapan, “Ada apa?” Biasanya jika akan berkunjung sahabatnya yang bernama Johan itu akan memberi kabar walau satu menit sebelum ia sampai.

BUGH!

Merasa belum puas, Johan mengambil kerah baju Regan yang membuat sang pemilik baju bangun dari jatuhnya. Pipinya terasa panas menerima pukulan itu tapi seperti tidak ada tenaga untuk membalas pukulan itu. Bertengkar seperti ini sudah biasa mereka lakukan, mendebatkan hal kecil sampai berujung kekerasan fisik.

“Bajingan.”

BUGH!

Lagi, Johan melayangkan kepalan tangannya dan mendaratkannya di pipi Regan. Johan adalah orang yang paling cepat marah jika mendengar orang-orang terdekatnya mendua seperti pria didepannya ini. Jika dilemparkan pertanyaan mengapa, Johan tidak pernah mau menjawab.

Sampai pada suatu malam ketika ia mabuk tak sengaja menceritakan alasannya. Alasan yang simpel namun menyakitkan, ia bilang bahwa setiap malam ia menyaksikan ibunya ditindas oleh sang ayah dengan kata-kata kasar dan kekerasan fisik. Usianya masih sangat muda pada saat itu, ia tidak bisa melakukan apa-apa dan bertindak apapun. Diujung akhir cerita keluarga Johan ibunya berkata, “Jangan pernah menyakiti perempuan, Jo. Anggap mereka seperti ibu.” Kemudian sang ibunda menghembuskan napas terakhirnya.

Itu sebabnya Johan tidak pernah segan memukul ketika mengetahui Regan berselingkuh. Kasus seperti ini tidak terjadi satu dua kali, tapi empat kali. Dan semuanya selesai ditangan Johan. Sejak dulu memang Regan lah yang paling sering mencoba.

“Emang anjing lo ya, gak cuma satu dua kali kan begini? Masih gak kapok juga? Mau gue copot mata lo biar gak liat yang lain?” Ucapnya dengan nada rendah dan suara yang berat. Tangannya masih setia mencengkram kerah baju putih yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. Tatapannya tidak berpindah sedikitpun.

Hanya Johan yang berani macam-macam dengan tuan rumah di rumahnya.

“Jo…” Lirih Regan

“Dari awal gue udah kasih tau kalau menikah itu artinya lo komitmen sama satu orang. Gue gak peduli lo dijodohin paksa atau bagaimana, tapi dia perempuan. Dia ibu dari anak lo. Cuma dia yang bakal nemenin lo di masa tua nanti. BUKAN SELINGKUHAN LO!” Dan pukulan terakhir ia lemparkan.

Kini Johan membiarkan Regan tersungkur di lantai dengan wajah yang hampir mati rasa.

“Gue sayang, gue sayang banget sama dia, Jo. Gue kangen banget sama dia.”

“Tai anjing! Debora tuh gak layak buat laki-laki kaya lo! Gue sendiri aja heran kenapa dia betah banget sama modelan brengsek kaya lo.” Hardiknya.

Rasanya Regan ingin sekali memukul sahabatnya itu, namun suasana panas diredakan dengan datangnya Dilan—sahabatnya yang lain memisahkan Regan dengan Johan.

https://i.imgur.com/D2tR83Y.jpg

Perasaan gelisah terus menerus menemani Regan sepanjang perjalanan pulang, giginya tiada henti menggigit kuku juga bibirnya sendiri secara tanpa disengaja. Belum ada dua puluh empat jam Debora meninggalkannya, hanya kata-kata sebagai selamat tinggal itu membuatnya tak lepas dari perasaan bersalah.

Kecepatan roda mobilnya berputar sudah tidak jelas lagi mau bagaimana, yang ia pikirkan hanya bagaimana istrinya disana dan pulang untuk menghubungi temannya yang ia tugaskan untuk menemukan keberadaan Debora. Tidak peduli lagi bagaimana kondisinya sendiri, entah sudah makan atau belum ia tidak peduli. Bahkan, ia lupa kalau anaknya menunggu di rumah.

Berkali-kali ia melihat pada telepon genggamnya dengan harapan akan ada pesan masuk dari perempuan yang paling ia cinta, namun nyatanya sang perempuan masih enggan menghubunginya. Tangan kanan yang terus berfokus pada stir didepannya, dan tangan kiri yang penuh harapan akan telepon genggamnya. Perasaan kecewa seolah tak mau menyerah, selalu ada ketika layar benda pipih itu hampa.

Sampai tidak terasa pekarangan rumah abu-abu menyambut pria berpakaian merah marun. Ia masih terdiam di dalam mobilnya, menatap pintu putih tempat alasannya berpulang dan merasakan kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Biasanya, jika ia mengetuk pintu itu akan keluar seorang wanita dengan tampilan sederhana yang selalu terlihat cantik di matanya, juga anak laki-laki yang ikut berdiri menyambutnya. Senyuman hangat dan sapaan mesra senantiasa mereka berikan.

Baru ia sadar apa arti kehilangan sebenarnya.

Sepasang sepatu hitam mengkilap mengalaskan kaki pemiliknya memasuki pagar rumah. Rasanya hampa, hanya itu saja yang bisa ia pikirkan. Tidak ada warna, kebahagiaan bagaikan sirna seketika. Tidak ada rasa antusias menunggu kepulangannya.

Dapat ia tangkap dengan sepasang bola mata mengantuk tanpa semangat itu, anak lelaki berumur lima tahun sedang dibujuk makan oleh asisten pribadinya namun ia menolak suapan itu. Regan dapat mendengar beberapa kata yang keluar dari mulut anak itu berupa, “Aku cuma mau makan kalau Abun udah pulang.” Kembali lagi, Regan menyalahkan dirinya lagi dan lagi. Kalau saja ia bisa mengendalikan ucapannya, pasti Debora ada disini dengannya.

Tak sengaja, pandangan Regan bertemu dengan asisten pribadi anak bernama Bima itu. Tersirat tatapan berharap disana, mungkin berharap Regan akan membantunya membujuk Bima untuk setidaknya makan satu suap saja. Seperti yang wanita dari ibu anak itu titipkan padanya untuk mengurus Bima dengan benar.

“Makan dengan benar, Bimasena.” Suara berat itu mengisi ruangan besar berwarna abu-abu

Sang pemilik nama pun menoleh dan menatap ayahnya tidak suka, “Pulangkan Abun, baru Bima mau makan.” Jawabnya tidak kalah tegas. Tatapan mengintimidasi dominan dari sang ayah menurun tepat pada anaknya tanpa berkurang sedikitpun. Caranya berbicara sungguh mirip dengan Regan saat sedang serius bahkan sejak umurnya baru menginjak lima tahun.

“Bimasena.”

“Abuy.”

Permainan adu tatap itu usai karena perempuan paruh baya disebelah Bima akhirnya memerintahkan anak itu untuk kembali duduk di tempatnya tadi. Masih tidak menyerah untuk terus membujuk nya memasukan nasi ke dalam perutnya.

“Makan yang benar di meja makan, Bimasena. Habiskan makananmu dan pergilah tidur siang.” Perintahnya masih dengan tatapan juga alis yang menyatu kuat tanpa ada berniat ia kendurkan. Bima memutar bola matanya lalu melangkahkan kakinya pergi dari sana. Sang asistennya itu mengikuti dan membungkuk sebelum pergi.

Regan berjalan menuju ruang kerjanya yang berada tidak jauh dari tempat ia berdiri ia sebelumnya. Tangannya bergerak membuka baju luaran dan beberapa kancing kemeja dari atas. Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan komputernya untuk membaca perkembangan mengenai pencaharian orang.

Baru saja ia akan mendaratkan bokongnya pada kursi kebanggannya, tiba-tiba suara bel rumahnya berbunyi mengisyaratkan tamu datang. Entah mengapa Regan merasa bahwa ia harus membuka pintu itu, padahal biasanya ia membiarkan para pembantu di rumahnya yang membuka pintu. Tapi kali ini ia mengikuti kata hatinya dan kembali keluar menghampiri pintu utama. Lelaki itu mengangkat telapak tangannya pada perempuan yang memiliki niat yang sama.

Ia buka pintu itu dan menghadirkan sahabatnya sejak semasa kuliah, berdiri dengan tinggi badan yang tidak jauh berbeda dengannya. Regan sulit mengartikan tatapan itu, seperti marah dan tidak suka bercampur disana.

Karena terlalu lama berdiam akhirnya Regan membuka percakapan, “Ada apa?” Biasanya jika akan berkunjung sahabatnya yang bernama Johan itu akan memberi kabar walau satu menit sebelum ia sampai.

BUGH!

Merasa belum puas, Johan mengambil kerah baju Regan yang membuat sang pemilik baju bangun dari jatuhnya. Pipinya terasa panas menerima pukulan itu tapi seperti tidak ada tenaga untuk membalas pukulan itu. Bertengkar seperti ini sudah biasa mereka lakukan, mendebatkan hal kecil sampai berujung kekerasan fisik.

“Bajingan.”

BUGH!

Lagi, Johan melayangkan kepalan tangannya dan mendaratkannya di pipi Regan. Johan adalah orang yang paling cepat marah jika mendengar orang-orang terdekatnya mendua seperti pria didepannya ini. Jika dilemparkan pertanyaan mengapa, Johan tidak pernah mau menjawab.

Sampai pada suatu malam ketika ia mabuk tak sengaja menceritakan alasannya. Alasan yang simpel namun menyakitkan, ia bilang bahwa setiap malam ia menyaksikan ibunya ditindas oleh sang ayah dengan kata-kata kasar dan kekerasan fisik. Usianya masih sangat muda pada saat itu, ia tidak bisa melakukan apa-apa dan bertindak apapun. Diujung akhir cerita keluarga Johan ibunya berkata, “Jangan pernah menyakiti perempuan, Jo. Anggap mereka seperti ibu.” Kemudian sang ibunda menghembuskan napas terakhirnya.

Itu sebabnya Johan tidak pernah segan memukul ketika mengetahui Regan berselingkuh. Kasus seperti ini tidak terjadi satu dua kali, tapi empat kali. Dan semuanya selesai ditangan Johan. Sejak dulu memang Regan lah yang paling sering mencoba.

“Emang anjing lo ya, gak cuma satu dua kali kan begini? Masih gak kapok juga? Mau gue copot mata lo biar gak liat yang lain?” Ucapnya dengan nada rendah dan suara yang berat. Tangannya masih setia mencengkram kerah baju putih yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. Tatapannya tidak berpindah sedikitpun.

Hanya Johan yang berani macam-macam dengan tuan rumah di rumahnya.

“Jo…” Lirih Regan

“Dari awal gue udah kasih tau kalau menikah itu artinya lo komitmen sama satu orang. Gue gak peduli lo dijodohin paksa atau bagaimana, tapi dia perempuan. Dia ibu dari anak lo. Cuma dia yang bakal nemenin lo di masa tua nanti. BUKAN SELINGKUHAN LO!” Dan pukulan terakhir ia lemparkan.

Kini Johan membiarkan Regan tersungkur di lantai dengan wajah yang hampir mati rasa.

“Gue sayang, gue sayang banget sama dia, Jo. Gue kangen banget sama dia.”

“Tai anjing! Debora tuh gak layak buat laki-laki kaya lo! Gue sendiri aja heran kenapa dia betah banget sama modelan brengsek kaya lo.” Hardiknya.

Rasanya Regan ingin sekali memukul sahabatnya itu, namun suasana panas diredakan dengan datangnya Dilan—sahabatnya yang lain memisahkan Regan dengan Johan.

Di tempat perempuan bergaun merah yang yang ia anggap aman dari sang ayah, untuk kesekian kalinya ia mengajak pria untuk masuk ke dalam tempat itu. Dengan pikiran bahwa ia jauh dari sang ayah yang berarti ia bebas. Ayahnya yang menuntutnya untuk melakukan segala hal dalam kondisi sempurna membuatnya merasa tidak aman akan beberapa saat, akan tetapi jiwa pembangkang darinya ikut serta pada anak perempuan satu-satunya.

Gaun merah yang digunakannya tertutup oleh rambut hitam panjang yang menutupi dari kepala sampai ke pinggang. Bokong idaman setiap pria yang bergerak ke kanan dan ke kiri setiap ia melangkah, membuat mata kaum adam terbuka lebar-lebar. Seperti apa yang Regan lihat sekarang, ia dapat melihat perempuan bernama Aurel itu berjalan mendekati lemari pendingin dan mengambil beberapa botol minuman disana. Regan mengalihkan pandangannya setiap kali perempuan itu dengan sengaja mengangkat bokongnya lebih tinggi demi terlihat seksi.

Jika ia tidak mendapatkan ancaman saja, Regan sudah akan melaporkan ke polisi atas kerusuhan yang terjadi di tempat kerjanya beberapa bulan lalu. Tetapi ancaman dari perempuan seusianya itu yang berkata jika ia menolaknya, ia akan bunuh diri di depan matanya. Yang benar saja, tentu Regan tidak mau hal itu terjadi. Mengorbankan sedikit waktunya bukan masalah besar bagi Regan.

Dengan pakaiannya yang formal ia masih berdiri tegak ditempat Aurel meninggalkan dirinya. Tidak ada niat untuk mengistirahatkan lutut besarnya apalagi menghampiri perempuan gila itu.

“Sekarang apa?” Ujar Regan dari tempat ia berdiri.

Aurel menyesap minuman beralkohol yang tadi ia tuang dengan tatapan mata sayu yang menatap Regan lekat. Ketika sudah habis ia menyodorkan gelas yang lain untuk Regan minum. Gerakannya sangat tenang, samapi-sampai membuat Regan yang emosi menjadi sedikit lebih tenang. Saat Regan menatap Aurel untuk memastikan, Aurel hanya tersenyum miring dan menganggukan kepalanya meyakinkan

Tanpa banyak ragu lagi, pria berumur tiga puluh dua tahun itu langsung menenggak habis minuman keras yang diberikan. Tidak ada masalah, hanya kesan membakar setiap tetes cairan yang menerobos masuk ke dalam tenggorokan. Rasanya seperti berwisata ke masa lalu dimana ia dengan pergaulannya yang bebas juga pola pikir nya yang belum jelas. Sampai akhirnya semesta mempertemukan ia dengan Debora yang mengajarkan arti kehidupan sebenarnya.

Terlalu lama ia meresapi minuman itu sampai tidak sadar akan perempuan di depannya sudah tidak mengenakan kain merah itu lagi. Hanya menyisakan celana dalam dan bra hitam yang menutupi bagian-bagian tertentu saja. Tentu saja Regan terkejut, ditambah secara tiba-tiba tubuhnya merasakan panas yang luar biasa.

“Kalau gak kuat, jangan ditahan.” Bisiknya tepat pada daun telinga Regan. Sempat terkejut dengan suaranya, Regan dengan cepat bergerak menjauh menghindar dari kecupan yang akan Aurel berikan pada telinganya. Regan masih bisa mengingat apa maksud yang tubuhnya rasakan.

What did you do?” Lontarnya dengan nada yang dijepit memberikan efek menggemaskan disana. Namun menggelikan bagi Regan.

I Gotta go.” Tangan Regan dengan lembut mencengkram pundaknya dan mendorongnya sedikit agar memberi jarak antara mereka. Regan masih terus membuka dan menutup matanya supaya tetap pada kesadarannya. Ia sadar bahwa ini adalah salah.

“Tapi malam kita baru mulai, loh? Mau pergi kemana sih? Kita kan jarang banget having fun berdua.”

Daripada terus berlama-lama, Regan memilih untuk melangkahkan kakinya begitu cepat dan meninggalkan Aurel sendirian. Menghiraukan panggilan yang dapat membuat seluruh warga disana terbangun.


Begitu susah nya ia mengemudi kendaraan beroda empatnya untuk sampai ke rumah dengan selamat, dalam keadaan pengaruh obat-obatan. Sepanjang jalan tiada hentinya ia menyumpahi Aurel agar mati segera, mungkin terdengar berlebihan namun siapa yang tidak marah diberi obat seperti itu tanpa seizinnya? Bahkan sudah bertelanjang di depan laki-laki yang sudah memiliki anak dan istri.

Belum perjalanan dari apartemen Aurel menuju rumahnya terbilang cukup jauh. Jika kalian akan menyumpah serapahi Regan sekarang, pernahkah kalian berpikir untuk berada di posisi nya? Yang harus menuruti wanita gila itu dengan ancaman akan bunuh diri. Mengimbangi istrinya di rumah. Pekerjaannya yang terbengkalai karena wanita itu lagi.

Setelah berjuang mati-matian, akhirnya ia dapat melihat pagar rumahnya. Ia memarkir mobil ditempat biasa ia menaruh mobilnya. Entah mengapa, obat itu semakin lama semakin terasa panas didalam tubuhnya. Ia menahan sekuat tenaga agar istrinya tidak curiga.

Tok Tok Tok!

Suara ketukan pintu pelan mengiringi heningnya malam. Ketenangan yang diinterupsi di rumahnya sendiri. Jam di telepon genggamnya menunjukkan pukul dua malam, tetapi ia baru saja melangkahkan kaki di pekarangan rumah. Tak lama, sang istri tercintanya keluar dengan rambut yang berantakan dan sepasang bola mata yang masih tertutup rapat.

“Mas Regan?” Tanyanya memastikan.

Regan yang sedari tadi menunduk menepis rasa aneh di tubuhnya, akhirnya mengangkat pandangan dan menatap wanita di depannya. Tanpa berbasa-basi lagi ia langsung melangkahkan kakinya masuk dan berjalan memasuki kamar untuk beristirahat, seraya berjalan ia melepaskan satu persatu pakaiannya.

“Mabuk lagi?” Tanya Debora sekali lagi.

Lawan bicaranya menoleh, “Sedikit.”

Namun matanya berkata lain. Kedua bola mata itu merah dan tidak terbuka selebar biasanya. Juga harum alkohol yang masih melekat kuat pada pakaian nya. Kejadian seperti ini jarang didapatkan, hanya mungkin sesekali ketika Regan izin berpesta di kantornya dan pulang dengan supir. Jika pulang sendirian dalam keadaan mabuk seperti ini sangat jarang terjadi.

“Besok ke Surabaya kan? Kok belum siap?” Lantur Regan tak lagi menatap Debora. Satu tangannya berpegangan pada lemari coklat setinggi pinggang nya, dan tangan lainnya memegang kepalanya yang pening luar biasa.

Dengan tangan yang dilipat didepan dada, “Gak usah, aku sendiri juga bisa.” Ucapnya.

Regan menoleh kebelakang agar dapat melihat Deboora, “Maksud lo?” Alisnya menyatu tidak suka. Debora dengan kesadaran penuhnya, menaruh tangan di pinggangnya dan ikut menatap suaminya tidak suka. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak terlihat lemah lagi di depan siapapun.

“Waktu aku tanya kamu jadi atau nggak, kamu bilang nanti kamu kabarin lagi. Tapi sampe sekarang kamu belum kasih kepastian mau jadi apa nggak.” Bantah perempuan berpakaian piyama dengan tangan yang masih setia berlipat didadanya.

“Gue kan suruh lo untuk pesan tiket nya tiga? Gue, Lo, sama Bima.” Tekannya tersulut emosi. Debora tertawa sinis dan menatap ke lain arah, merasa mual terus menerus menatap pria di depannya itu. Rasanya hanya akan percuma jika menjawab.

Debora menyisir sorainya kebelakang dengan satu kali gerakan. Menelan air liur di mulutnya yang tiba-tiba terasa begitu penuh, “Kamu gak konfirmasi lagi. Nanti siang udah terbang pesawat nya.” Lalu melangkahkan kaki melewati Regan dan masuk ke kamar.

Pria setengah sadar itu mengikuti di belakangnya.

Di dalam kamar Debora membereskan pakaian yang akan nanti ia bawa, sebenarnya semuanya sudah siap di dalam koper. Namun beberapa perlengkapan lainnya di masukan diakhir persiapan seperti perlengkapan mandi, beberapa produk kecantikannya, dan perlengkapan Bima.

Mata Regan terus mengikuti pergerakan Debora meski pandangannya buram dan kurang jelas, “Kenapa? Takut ketahuan cowok lo ya?” Entah apa yang ada dipikirannya, hanya sepatah kalimat aneh yang dilontarkan.

“Jaga mulut kamu.” Tegas Debora benar-benar tersinggung.

“Terus apa? Lo emang sengaja kan gak pesen tiket biar lo bisa sendirian dan berduaan sama cowok lo yang di Surabaya? Ngaku aja, akal busuk lo ketauan.”

Debora menghela napas berat, ia juga berdiri dari jongkoknya dan berkata, “Harusnya aku yang bilang kaya gitu! Aku ke Surabaya kan kamu jadi sendirian, jadi enak dong bisa puas ketemu sama cewek mu itu!” Jari telunjuknya mengacung tegak menunjuk keluar kamar, “Malah nuduh aku punya cowok lain. Harusnya kan aku yang marah?” Gumamnya seraya melanjutkan kegiatan mengemas.

“Lagi pula aku sama Bima, mana mungkin sih aneh-aneh?” Ucap Debora setengah berteriak.

“Gak.”

Debora menoleh, “Nggak?”

“Bima gak ikut.” Alis tebal Debora menyatu keheranan, sama sekali tidak bisa paham bagaimana pola pikir pria mabuk ini.

“Kamu bisa urus Bima?” Tanya Debora menantang.

“Gue gak tau apa yang bakal lo lakuin di luar sana, gue cuma gak mau Bima kena imbas nya.” Jelasnya dengan suara yang serak kehabisan napas. Namun ia masih kukuh pada pendirian tidak jelasnya itu.

Debora berjalan mendekati Regan dengan tatapan horor yang tak lepas sedetik pun, “Kamu pulang mabuk begini aja aku gak banyak tanya abis ngapain aja? Kamu diluar nganu sama orang selain aku, aku gak banyak tanya. Kamu kalau gak bisa ngomong yang baik sama aku mending diem atau keluar sekalian dan jangan pernah pulang lagi. Aku bisa hidup tanpa kamu.”

“Kamu bilang bisa urus Bima kan? Buktiin, aku dua minggu di Surabaya. Gausah cari aku.”

Lalu Debora melangkahkan kakinya keluar meninggalkan rumah yang rasanya seperti neraka baginya.

Namanya Remora, sudah ia kenal sejak lima tahun lalu dikarenakan ketidaksengajaan. Salah satu faktor pendukung mereka memiliki hubungan yang dekat adalah sama-sama mempunyai hobi dan bekerja dibidang yang sama, yaitu fashion designer. Namun Remora sudah tidak lagi melanjutkannya karena mengurus anak, suami, dan pekerjaannya dalam waktu yang bersamaan membuatnya kewalahan.

Remora adalah definisi dewasa menurut Debora dan banyak orang mengakuinya. Cara bicara dan berpikirnya terkadang tidak terpikirkan oleh manusia biasa namun benar-benar menyelesaikan masalah yang ada. Remora juga bukan perempuan suka bergosip, tapi jika ada orang berbicara tentang suami dan anaknya, ia tak segan untuk menampar pipi orang itu. Juliet, sahabatnya sejak perguruan tinggi tentu saja mengenalnya lebih dalam dibanding yang lain.

Remora diambil dari nama ikan yang berada di perairan laut beriklim tropis di seluruh dunia. Orang tuanya memberikan nama itu yang mengartikan bahwa berlindung. Hanya itu yang tertinggal sampai keduanya meninggalkannya saat ia duduk dibangku SMP, secara bersamaan sertakan kakak laki-lakinya. Hal itu lah yang mengharuskan Remora untuk dewasa dan bertahan hidup sebatang kara, sampai di akhir cerita bahwa ia berhasil berdiri dengan kaki nya sendiri.

Kesendirian yang membesarkan perempuan malang itu.


“Hai, Kak? Nunggu lama ya?” Sapa Debora saat baru saja datang, sedikit merasa tidak enak karena padatnya lalu lintas yang menyebabkannya terlambat.

Lawan bicaranya mendongak dan tersenyum singkat , dalam sekejap langsung kembali datar. “Nggak lama, kok. Gue juga baru sampai.” Ucapnya bohong. Makanan dipiringnya sudah ber sisakan setengah yang berarti ia sudah cukup lama terduduk disana.

“Gimana Bima? Udah lama gue gak ketemu, kangen juga.” Diakhir kalimat ditemani dengan kekehan pelan, Remora berusaha dengan cepat mengalihkan topik agar Debora tidak terus-terusan menunjukkan rasa tidak enak sebab keterlambatannya. Bukan masalah besar menurut Remora, ia hanya cukup duduk diam dan memesan makanan supaya tidak canggung pada pelayan disana.

Dengan cepat Debora menjawab, “Baik kok dia, udah mulai sekolah juga jadi punya waktu buat diri sendiri. Kalau Rayya, gimana kabarnya?”

“Baik juga.”

Keduanya terdiam membiarkan obrolan hening seketika. Debora sibuk dengan pikirannya sementara Remora menunggu sang lawan bicara membuka topik yang akan dibicarakan, sama sekali tidak merasa canggung. Debora sibuk memikirkan perdebatan yang terjadi beberapa jam lalu dengan suaminya, menurutnya, kata-kata yang dilontarkan begitu kasar. Tapi hatinya menolak keras pikiran itu karena mungkin faktor dari datang bulannya yang membuatnya jadi jauh lebih sensitif.

Tujuannya bepergian adalah salah satu bentuk usaha mengalihkan pikiran tersebut walau gagal total. Biasanya ada Juliet yang membuatnya tertawa lepas dan melupakan masalahnya. Tapi hari ini hanya ada Remora dan itu bukan masalah besar bagi Debora,

Karena merasa ada yang aneh, Remora langsung melontarkan pertanyaan, “Lagi ada masalah ya, Deb?” Tidak bertanya bukan berarti tidak peduli, itu adalah kalimat yang menggambarkan Remora. Bertindak cuek padahal sangat peduli.

Debora bergerak salah tingkah karena pertanyaan itu dan tersadar bahwa sedari tadi ia terdiam cukup lama. Tangannya bergerak merapikan sorai coklat di kepalanya dan menggelengkan kepalanya seraya tersenyum ramah menenangkan. Gerakan yang tidak normal dan terlihat jelas bahwa ia salah tingkah.

Lagi-lagi tatapan datar dan pergerakan tenang wanita berumur tiga puluh lima tahun berhasil mendapatkan korban sebab merasa terintimidasi untuk kesekian kalinya. Tangan cantiknya tetap menyuap makanan namun tatapannya lurus menatap Debora tanpa ekspresi. Karena merasa kalah Debora menghela napas berat dan menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki. Ia berbohong pada orang yang salah.

Merasa mendapatkan jawaban yang diinginkan, Remora mengangguk paham kecil baru ia menatap mangkuk sup miliknya. Entah bagaimana caranya Remora mengetahuinya, membaca pikiran dari tatapan mata adalah salah satu kemampuan yang dimilikinya yang sering diremehkan banyak orang.

“Capek ya, Deb? Menolerir kesalahan terus, nutupin kesalahan dan rahasia terus, dengan pikiran cuma boleh lo yang tau, Capek kan?” Ucapnya

Pelayan yang mengantarkan makanan memotong pembicaraan mereka. Ketika pelayan itu melangkah menjauh Debora menjawab dengan nada tenang, “Aku udah gak ngerti lagi mau kaya gimana, Kak. Mau marah nanti dia lebih galak, diem justru dia ngelunjak. Aku gak mau pisah, Kak, Bima masih kecil.” Akhirnya setelah tiga bulan menahan semua rasa sakit yang ia terima, akhirnya ada yang mau mendengarkannya.

“Gue gak suka kalau ikut campur urusan orang, tapi kayaknya yang ini lo harus tau,” Remora membetulkan posisi duduknya. “Beberapa bulan lalu Regan dateng ke gue, dia cerita kalau seseorang dari masa lalunya datang dan dia bilang kalau dia kangen sama masa lalunya ini. Gue juga udah bilang kalau lo gak kangen apalagi cinta sama tuh orang, tapi cuma kangen sama kenangannya. Gue gak nyangka kalau Regan bakal nerima tuh cewek lagi.” Jelasnya.

Debora mendengarkan dengan seksama dan mengucapkan sepatah kata yang dapat membuat Remora terkejut bukan main, “Aurel.” Begitu ucapnya. Remora menatap mata perempuan di depannya tidak percaya.

“Dia chat lo, ya?” Debora terdiam sebentar lalu mengangguk lemah. “Kamu kenal juga ya? Kok sampe gitu mukanya?”

Untuk pertama kalinya, Remora mengalihkan pandangannya.

“Boleh tau tentang cerita masa lalu yang dimaksud? Pasti kamu lebih tau, kan?” Tanya Debora entah kenapa. Ketika semua orang ingin melupakan masa lalu, jauh berbeda dengannya yang justru bertanya.

Gonna lil bit hurt. Gue akan cerita yang gue aja, gue gak begitu tau juga.”

Baru saat itu ia mengenal siapa Aurel sebenarnya dan menemukan jalan keluarnya.

Namanya Remora, sudah ia kenal sejak lima tahun lalu dikarenakan ketidaksengajaan. Salah satu faktor pendukung mereka memiliki hubungan yang dekat adalah sama-sama mempunyai hobi dan bekerja dibidang yang sama, yaitu fashion designer. Namun Remora sudah tidak lagi melanjutkannya karena mengurus anak, suami, dan pekerjaannya dalam waktu yang bersamaan membuatnya kewalahan.

Remora adalah definisi dewasa menurut Debora dan banyak orang mengakuinya. Cara bicara dan berpikirnya terkadang tidak terpikirkan oleh manusia biasa namun benar-benar menyelesaikan masalah yang ada. Remora juga bukan perempuan suka bergosip, tapi jika ada orang berbicara tentang suami dan anaknya, ia tak segan untuk menampar pipi orang itu. Juliet, sahabatnya sejak perguruan tinggi tentu saja mengenalnya lebih dalam dibanding yang lain.

Remora diambil dari nama ikan yang berada di perairan laut beriklim tropis di seluruh dunia. Orang tuanya memberikan nama itu yang mengartikan bahwa berlindung. Hanya itu yang tertinggal sampai keduanya meninggalkannya saat ia duduk dibangku SMP, secara bersamaan sertakan kakak laki-lakinya. Hal itu lah yang mengharuskan Remora untuk dewasa dan bertahan hidup sebatang kara, sampai di akhir cerita bahwa ia berhasil berdiri dengan kaki nya sendiri.

Kesendirian yang membesarkan perempuan malang itu.


“Hai, Kak? Nunggu lama ya?” Sapa Debora saat baru saja datang, sedikit merasa tidak enak karena padatnya lalu lintas yang menyebabkannya terlambat.

Lawan bicaranya mendongak dan tersenyum singkat , dalam sekejap langsung kembali datar. “Nggak lama, kok. Gue juga baru sampai.” Ucapnya bohong. Makanan dipiringnya sudah ber sisakan setengah yang berarti ia sudah cukup lama terduduk disana.

“Gimana Bima? Udah lama gue gak ketemu, kangen juga.” Diakhir kalimat ditemani dengan kekehan pelan, Remora berusaha dengan cepat mengalihkan topik agar Debora tidak terus-terusan menunjukkan rasa tidak enak sebab keterlambatannya. Bukan masalah besar menurut Remora, ia hanya cukup duduk diam dan memesan makanan supaya tidak canggung pada pelayan disana.

Dengan cepat Debora menjawab, “Baik kok dia, udah mulai sekolah juga jadi punya waktu buat diri sendiri. Kalau Rayya, gimana kabarnya?”

“Baik juga.”

Keduanya terdiam membiarkan obrolan hening seketika. Debora sibuk dengan pikirannya sementara Remora menunggu sang lawan bicara membuka topik yang akan dibicarakan, sama sekali tidak merasa canggung. Debora sibuk memikirkan perdebatan yang terjadi beberapa jam lalu dengan suaminya, menurutnya, kata-kata yang dilontarkan begitu kasar. Tapi hatinya menolak keras pikiran itu karena mungkin faktor dari datang bulannya yang membuatnya jadi jauh lebih sensitif.

Tujuannya bepergian adalah salah satu bentuk usaha mengalihkan pikiran tersebut walau gagal total. Biasanya ada Juliet yang membuatnya tertawa lepas dan melupakan masalahnya. Tapi hari ini hanya ada Remora dan itu bukan masalah besar bagi Debora,

Karena merasa ada yang aneh, Remora langsung melontarkan pertanyaan, “Lagi ada masalah ya, Deb?” Tidak bertanya bukan berarti tidak peduli, itu adalah kalimat yang menggambarkan Remora. Bertindak cuek padahal sangat peduli.

Debora bergerak salah tingkah karena pertanyaan itu dan tersadar bahwa sedari tadi ia terdiam cukup lama. Tangannya bergerak merapikan sorai coklat di kepalanya dan menggelengkan kepalanya seraya tersenyum ramah menenangkan. Gerakan yang tidak normal dan terlihat jelas bahwa ia salah tingkah.

Lagi-lagi tatapan datar dan pergerakan tenang wanita berumur tiga puluh lima tahun berhasil mendapatkan korban sebab merasa terintimidasi untuk kesekian kalinya. Tangan cantiknya tetap menyuap makanan namun tatapannya lurus menatap Debora tanpa ekspresi. Karena merasa kalah Debora menghela napas berat dan menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki. Ia berbohong pada orang yang salah.

Merasa mendapatkan jawaban yang diinginkan, Remora mengangguk paham kecil baru ia menatap mangkuk sup miliknya. Entah bagaimana caranya Remora mengetahuinya, membaca pikiran dari tatapan mata adalah salah satu kemampuan yang dimilikinya yang sering diremehkan banyak orang.

“Capek ya, Deb? Menolerir kesalahan terus, nutupin kesalahan dan rahasia terus, dengan pikiran cuma boleh lo yang tau, Capek kan?” Ucapnya

Pelayan yang mengantarkan makanan memotong pembicaraan mereka. Ketika pelayan itu melangkah menjauh Debora menjawab dengan nada tenang, “Aku udah gak ngerti lagi mau kaya gimana, Kak. Mau marah nanti dia lebih galak, diem justru dia ngelunjak. Aku gak mau pisah, Kak, Bima masih kecil.” Akhirnya setelah tiga bulan menahan semua rasa sakit yang ia terima, akhirnya ada yang mau mendengarkannya.

“Gue gak suka kalau ikut campur urusan orang, tapi kayaknya yang ini lo harus tau,” Remora membetulkan posisi duduknya. “Beberapa bulan lalu Regan dateng ke gue, dia cerita kalau seseorang dari masa lalunya datang dan dia bilang kalau dia kangen sama masa lalunya ini. Gue juga udah bilang kalau lo gak kangen apalagi cinta sama tuh orang, tapi cuma kangen sama kenangannya. Gue gak nyangka kalau Regan bakal nerima tuh cewek lagi.” Jelasnya.

Debora mendengarkan dengan seksama dan mengucapkan sepatah kata yang dapat membuat Remora terkejut bukan main, “Aurel.” Begitu ucapnya. Remora menatap mata perempuan di depannya tidak percaya.

“Dia chat lo, ya?” Debora terdiam sebentar lalu mengangguk lemah. “Kamu kenal juga ya? Kok sampe gitu mukanya?”

Untuk pertama kalinya, Remora mengalihkan pandangannya.

“Boleh tau tentang cerita masa lalu yang dimaksud? Pasti kamu lebih tau, kan?” Tanya Debora entah kenapa. Ketika semua orang ingin melupakan masa lalu, jauh berbeda dengannya yang justru bertanya.

“Gonna lil bit hurt. Gue akan cerita yang gue aja, gue gak begitu tau juga.”

Baru saat itu ia mengenal siapa Aurel sebenarnya dan menemukan jalan keluarnya.

Sang kepala keluarga dari keluarga kecil yang diciptakannya. Kehangatan dan kegembiraan menyambut kegelapan yang menyelimutinya sejak berada di kantor sepanjang hari. Namun sambutan hangat dan ramah itu diacuhkan oleh pria berumur tiga puluh dua tahun itu. Langkah kakinya terus melaju tanpa memperdulikan anak dan istri nya yang berdiri menerima kedatangannya.

“Mas,” Tegur sang wanita lebih dulu seraya melangkahkan kakinya dan mendekati laki-laki itu. “Ada apa?” paparnya begitu khawatir karena raut wajah suaminya tidak semenyenangkan biasanya.

Lirikan matanya menggeser, menatap perempuan berambut coklat yang diikat rapi keatas. “Capek.” Jawabnya singkat dengan tangan yang bergerak membuka sepatu hitam mengkilap yang membungkus rapi kaki besarnya. Seusai membukanya ia menoleh kearah anaknya yang sedang menunggu ayah tercintanya menganggap keberadaannya.

Lelaki berstatus menikah itu menghampiri sang anak dan mengecup pucuk kepala anaknya singkat lalu melanjutkan langkahnya tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia berjalan masuk ke kamar tempat nya beristirahat. Sang wanita karena merasa tidak enak pada anaknya sendiri akhirnya berkata,

“Bima masuk kamar dulu, ya? Susu nya udah Abun taruh diatas meja, jangan lupa diminum ya, ganteng? Good night, Darling.” Kemudian ia turut mengecup pucuk kepala anaknya dan berjalan mengikuti langkah sang suami.

“Kamu tuh apa-apaan sih?” Sontak pria bernama Regan yang sedang melepas pakaiannya itu menoleh kebelakang agar dapat melihat sumber suara. “Kamu kalau mau jutek kaya gitu ke aku aja, jangan ke Bima, Bima gak akan ngerti kamu lagi capek atau ngga.” Lanjutnya dengan emosi yang menggebu-gebu.

Sambil merotasikan bola matanya, ia melanjutkan kegiatan membuka baju nya untuk mandi membersihkan diri. “Bisa diem gak? Gue lagi capek gak mau diganggu, gak bawel aja gue udah seneng.” Tangannya menyampirkan handuk putih ke pundak lebar polosnya.

“Gak bisa!”

“Gue lagi gak mau berantem, So can you just shut up?” Ketusnya lagi.

“Kamu kalau mau marah ya marah sama aku aja, jangan sama Bima, ngerti gak? Aku bisa ngertiin kamu, Bima cuma tau kalo kamu ayahnya.”

Tatapan Regan semakin menajam serta alis tebalnya semakin menungging tinggi karena marah dan emosi. “Terus sekarang gue harus apa?” Kini tatapan tajam mereka bertemu, didalam hati sama sama saling menggerutu tanpa ada sepatah kata atau suara yang membaur.

“Minta maaf.”

Sorry?” Ucapnya meminta pengulangan.

“Ke Bima, minta maaf, minta maaf ke Bima.” Jari telunjuknya mengacung tegak menunjuk ruangan kamar anak mereka.

Regan merapatkan alis yang sedari tadi ia angkat, perasaaan marah dan tak suka digantikan dengan wajah kebingungan berpikir. Kemudian ia menggeleng keheranan karena ucapan kekasihnya barusan. “Lo aneh.” Baru ia kembali melangkahkan kakinya dan suara khas perempuan kembali menghentikannya, tepat di depan pintunya.

“Kamu tuh kenapa sih?”

Mengambil napas dalam-dalam adalah pilihan paling tepat. Berbicara dengan kepala dingin adalah bagaimana orang dewasa menyelesaikan masalahnya.

“Aku capek, that’s it. Kalo kamu gak bisa ngertiin mending kita jauhan dulu daripada aku ngomong yang nyakitin hati dan yang terjadi adalah lo ngadu ke Bunda.”

“Kok kamu jadi bawa orang lain sih? Disini aku lagi ngomong sama kamu, lagipula emangnya aku pernah ngadu ke Bunda?” Bantah Debora dengan nada yang tidak santai dan merasa tidak terima.

“Oke sekarang gini. Gue tanya balik pertanyaan lo, lo yang kenapa? Gue baru pulang tapi malah diajak berantem gini? Bukan lo banget.” Lalu meninggalkan Debora sendiri dengan perasaan kesal dan marah.

Sebenarnya ia juga bingung apa yang salah dengannya, namun ia baru teringat tentang orang yang mengirimkan pesan aneh serta foto suami tercintanya dengan pakaian dikenakan dan ia lihat beberapa menit lalu yang mengartikan bahwa foto itu belum lama diambil. Ditambah dengan perutnya yang tiba-tiba terasa diperas begitu kuat hingga ingin menjerit rasanya. Belum sang anak yang rewel meminta pulang karena merasa bosan di rumah neneknya.

Memasuki umur segini, Bima, anaknya, itu sangat amat membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dimulai dari bagaimana ia meniru apapun yang ia lihat, menangisi semua hal yang tidak perlu ia tangisi, meminta apapun yang belum tentu ia begitu memerlukannya. Menjaganya sendirian membutuhkan kekuatan super.

Bercerita dengan adik iparnya membuatnya merasa lebih baik meski tidak banyak membantu, hanya sekedar menjadi teman cerita karena kehidupannya adalah miliknya, tentu saja. Adik iparnya tidak bisa melakukan apa-apa selain membantu menyuapi beberapa suap nasi untuk keponakan tercintanya.

Terlalu sibuk menyalahkan dirinya, Debora sampai tidak menyadari kalau Regan sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Tidak sedikit pun ia melirik sang istri yang masih berdiri didepan pintu dengan rambutnya yang sedikit berantakan karena kekacauan yang ia ciptakan.

Seraya mendaratkan di bibir ranjang, Debora membuka suaranya mencoba menceritakan apa yang ia rasakan. “Tadi ada yang DM aku di Instagram, dia bilang kalau aku—”

“Apa lagi? Kan udah gue bilang hapus sosmed lo, lo gak mau dengerin gue sih.”

“Bukan itu maksud aku..” Matanya mengikuti pergerakan Regan yang sedang memakai kaus kebesarannya dan mulai membenarkan posisinya untuk tertidur. Mengabaikan Debora yang hanya ingin mencurahkan hatinya.

“Udah lah.. Tidur sana, lo kecapean.” Ia tertidur dengan posisi membelakangi tempat biasa Debora tertidur, di sebelahnya.

“Semoga selalu inget Bima ya, Mas. Bima masih kecil.”

“Raya udah tidur?” Tanya pria berkepala tiga sebagai basa-basi ketika wanita yang ia tunggu datang dengan beberapa makanan di tangannya. Seraya mendaratkan bokongnya dibangku yang berada tak jauh dari sang pria, wanita berstatus temannya itu mengangguk mengiyakan dengan wajah datar tanpa emosi dan ekspresi.

Ketika menemukan posisi nyaman duduknya, wanita itu membetulkan posisi kacamata yang ia gunakan agar lebih naik dan berkata, “Mau curhat apa? Tumben banget lo mau curhat sama gue?” Ucapnya. Karena benar adanya, selama hampir sepuluh tahun berteman tidak pernah sekalipun pria di depannya itu mencurahkan hatinya padanya. Biasanya hanya akan untuk teman lelakinya atau tidak sama sekali.

Pria yang kaku tak tau memulai dari mana memilih untuk mengambil makanan yang disediakan dan memakannya setengah bagian, kemudian berkata, “Cuma mau curhat dan tau pandangan dari seorang perempuan aja, kalo ke Jul yang ada gue dimarahin.” Tuturnya jujur. Semua orang di kampusnya pasti mengetahui keberadaan Juliet, disitu ada Remora.

Wanita bernama Remora itu mengangguk paham dan diam menunggu teman di depannya melanjutkan tuturan yang ia niat sampaikan.

Perasaan penasaran kembali menggebu ketika pria bernama Regan itu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak dan menatap matanya intens, seolah akan berbicara sesuatu yang rahasia dan begitu penting.

“Opini lo tentang perselingkuhan.”

Remora menyatukan alis tebalnya heran. Teman didepannya ini sangat jarang berinteraksi, hanya sekedar saling sapa dan kenal. Namun sekalinya mengobrol intens justru melontarkan pertanyaan yang aneh menurutnya karena ia tak tahu apa konteks dan apa maksudnya.

“Apapun, kasih tau gue.”

Karena kebingungan, Remora membungkukkan tubuhnya dan kedua tangannya bertengger diatas paha kekar miliknya, ia balik bertanya, “Maksudnya apa? Lo mau selingkuh? Debora ketahuan selingkuh? Atau gimana?” Ketika dua manusia tidak suka basa-basi dipertemukan, beginilah jadinya.

Regan memutar bola matanya dan sedikit berpikir berpikir kembali atas pertanyaannya yang baru saja ia lontarkan. “Bukan begitu, brengsek. Gue cuma mau tau aja opini dan pandangan lo tentang perselingkuhan bukan gue atau Debora selingkuh.” Ucapnya dengan suara yang pelan di akhir kalimat entah kenapa.

Mendengar itu, Remora kembali menyandarkan punggungnya pada sofa yang ia duduki, sambil memakan kue buatannya yang kesekian kalinya. Pandangannya tak luput dari mata lawan bicaranya demi melihat kebenaran dari tatapannya. Ketika menemukan sesuatu dari pandangan itu secara otomatis Remora tersenyum miring dan tertawa singkat, entah, menurutnya ini suatu hal yang lucu.

“Siapa yang dateng?”

“Ngaku aja, Re, siapa yang dateng?” Tanya Remora langsung pada intinya. Regan adalah salah satu orang yang memiliki peran di kampus mereka dulu, jadi mengenai hubungannya yang ia jalin, Remora cepat mengetahuinya tanpa harus bertanya pada orangnya langsung.

Karena merasa tertangkap basah, Regan langsung mengalihkan pandangannya. Cepat mengerti dan paham adalah salah satu kemampuan Remora yang tidak diketahui Regan. Tadinya ia hanya akan bertanya tentang bagaimana cara wanita di depannya memandang sebuah perselingkuhan, tak disangka niat aslinya diungkap.

My ex.” Jawab Regan dengan suara kecil.

Lagi dan lagi, Remora mengangguk paham dan merasa menang karena mendapatkan jawaban yang harapkan. Sembari menunggu lanjutan dari ucapan Regan barusan, Remora terus menatap matanya dan memakan kue di tangannya.

Disisi lain, Regan yang sedang bergelut dengan pikirannya yang disatu sisi ia tak mau urusan rumah tangganya diikut campuri orang lain namun sudah terlanjur terucap. Disisi lain pula ia kebingungan tentang perasaan yang tak jelas arahnya mau kemana. Rasa rindu kembali ada namun rasa cinta yang kental dan telah dijanjikan tak akan pernah hilang. Rasa rindu dengan hubungan yang bervariasi namun kembali pada masa lalu, dan rasa cinta yang membantunya melupakan masa lampau. Semuanya bersatu menjadi satu.

Rasa bersalah tentu ada pastinya, terkadang rasanya lelah terus berbohong kepada hatinya sendiri. Oleh karena itu, bercerita kepada wanita bernama Remora inilah jawabannya menurut sang pemilik perasaan tersebut. Manusia paling netral dan tidak pernah memihak siapapun, ia hanya akan berdiri dengan pemikirannya.

Did you still love her?” Tanya wanita dengan satu anak itu. Nada bicaranya sama sekali tidak terdengar menyalahkan, hanya seperti pertanyaan santai bahkan ia melontarkannya seraya mengupas kuaci dengan tangan dan mulutnya. Tatapannya juga tidak mengintimidasi. Justru dengan itu lawan bicaranya semakin gelagapan karena pertanyaan yang ia takutkan akhirnya dilontarkan.

Sorry.

No, You’re not.

“Iya, Mor, Iya!” Bantah Regan dengan nada bicara satu oktaf lebih tinggi. Menyadari emosinya yang lepas kendali, Regan langsung menarik napas panjang dan menyisir rambutnya ke belakang dan membiarkan pembicaraan hening seketika.

Remora dengan santainya masih terus memakan kuaci dan mengambilnya ketika selesai memakan satu demi satu.

Sorry, gue kelepasan.” Ucapnya kemudian bangun dari duduknya beranjak meninggalkan obrolan yang belum selesai. Perasaan tidak enak dan bersalah karena membentak mendominasi Regan yang mengharuskannya untuk melakukan itu. Baru beberapa langkah, ucapan Remora membuat langkah kakinya terhenti tanpa perintah. “Lo gak cinta sama dia, Re. Lo cuma kangen kenangannya.”

Regan menoleh dan membuka mulutnya untuk mejawab, namun dipotong suara Remora yang lekat dan mendominasi, “Lo udah bikin lebih banyak kenangan sama istri lo sekarang. Gausah coba-coba yang lain.” Sambil berjalan keluar meninggalkan balkon tempat mereka mengobrol.

Menyisakan Regan yang diam bergelut kembali dengan pikiran dan perasaannya.

Setelah beberapa saat sibuk bergelut dengan pikirannya, pria penerima bunga itu akhirnya turun dari ruangannya menuju lantai letak terjadinya keributan yang disebabkan seseorang yang ia kenal, dalam kata lain ia yang bertanggung jawab atas masalah ini. Beberapa keluhan yang dikeluhkan pada sekretarisnya kemudian disampaikan membuat Regan merasa tidak enak pada karyawan akibat kerusuhan yang meledak di pintu utama. Tak lupakan ayah kandung dan mertuanya yang ikut merasa terganggu.

Sepasang kaki jenjang menuntunnya menuruni gedung besar milik keluarga Gazham itu. Tatapan marah dan tak suka menemani setiap langkah besar putra sulung dari pemilik perusahaan ini. Kaki nya secara reflek bergerak lebih cepat ketika mendapat telepon dari sekretarisnya dengan maksud melaporkan keadaan disana.

Ketika mendengar suara dentingan elevator berbunyi, langsung ia melangkah keluar dan melihat apa yang terjadi disana.

Dapat ia tangkap dari kedua bola matanya, seorang wanita yang memberontak dari beberapa penjaga yang ditugaskan untuk menjaga pintu utama. Tampilannya sudah tidak beraturan lagi, sorai kecoklatan yang terikat rapi kini terurai berantakan dan beberapa helainya mencuat keluar karena gerakan kasar yang dibuat olehnya. Baju merah yang membantunya menutupi bagian tubuh sudah tidak jelas lagi bentuknya. Sepatu tinggi cantiknya sudah terlempar entah kemana, menyebabkan kaki putih cantiknya telanjang menyentuh tanah.

Gerakannya secara tiba-tiba terhenti ketika melihat lelaki yang dicarinya berada di depan matanya. Dengan cepat ia menepis kasar tangan-tangan yang menahan tubuhnya dan langsung maju beberapa langkah demi mendekati lelaki berkepala tiga yang letaknya tak jauh dari sana.

Seraya menata kembali sorainya, ia berucap, “What did your fucking people do to me.” Tatapan sinis ia tebarkan kepada orang-orang yang menatapnya aneh secara kompak.

Tanpa mengucap banyak kata lagi, pria bernama Regan melangkahkan kakinya menjauh dari gedung perusahaannya dan meninggalkan wanita yang ia anggap gila itu.


Disinilah, dimana mereka terduduk berhadapan saling bertukar pandang, dimana semesta memberikan obat pada luka yang mereka buat dahulu kala, atau mungkin justru memberikan garam diatas luka itu.

Keheningan menemani dua insan yang masih enggan membuka percakapan, merasa nyaman dengan dengungan serta dentingan yang disebabkan oleh pengunjung restoran yang datang demi mengisi perut mereka yang keroncongan. Tatapan dari sang wanita yang menjelaskan jutaan makna disana, serta tatapan sang lelaki yang merasa risih rasa ingin mengakhiri sampai disini namun ia tahan demi maksud orang didepannya kemari.

Sampai sang lelaki lebih dulu memutus tatapan itu dengan menundukkan kepalanya dan berkata, “Ngomong, Rel.” Senyuman wanita bergincu merah itu merekah seketika ketika mendengar lawan bicaranya menyelipkan namanya pada kalimat perintah yang ia lontarkan dengan nada ketus beberapa saat lalu.

“Gue gak akan ngomong macem-macem kok, Re, gue juga sadar gue cuma masa lal—”

“Iya, udah, apa yang gak macem-macem itu? Cepet, gue gak punya banyak waktu.”

Sempat diam sesaat, kemudian ia menghela napas panjang dan berucap singkat, “Gue masih sayang sama lo, Re.”

Terkejut? Tentu saja.

Ia melanjutkan tuturannya, “Bertahun-tahun, berkali-kali gue cari pengganti lo, nyatanya cuma lo yang cocok di sisi gue.” Dengan nada lembut yang diharapkan Regan akan merasa kasihan dengannya dan akan kembali. Tatapan mata berharap tak pernah lepas matanya. Sungguh, Regan benci tatapan itu.

“Terserah lo mau bilang gue gak tau diri atau gimana, tapi…

... gue mau minta kesempatan kedua, Re.”

Pandangan sang lawan bicara kembali padanya, tatapan terkejut tentu saja. Bagaimana bisa? Jika dihitung, terakhir mereka bertemu dan mengobrol adalah sepuluh tahun yang lalu atau bahkan lebih dan berpisah secara tidak baik.

Dulu, saat mereka berdua duduk dan berstatus sebagai mahasiswa, mereka sempat menjalin hubungan yang terbilang tidak sehat untuk keduanya. Saling mengekang satu sama lain, tidak adanya komunikasi yang jelas, dan banyak lainnya yang mereka lalui dalam hubungan itu. Regan sebagai seorang lelaki yang ingin berniat serius akhirnya pun jatuh cinta dan dibutakan oleh perasaan sendiri. Dahulu, jika Aurel berkata harus datang lima menit lagi, Regan tidak peduli apa yang akan terjadi, ia benar-benar datang lima menit. Jika ia terlambat atau melakukan kesalahan ia juga tidak ragu untuk meminta maaf sampai berlutut di hadapan semua orang.

Namun, Aurel, tidak melakukan hal yang sama, bahkan mengakui Regan sebagai kekasihnya di depan teman-temannya saja tidak pernah. Pada saat itu, Regan tidak pernah masalah dengan hal itu dan menganggapnya hal yang sama. Pada suatu saat ia sadari ada hal yang salah pada dirinya, adik perempuannya yang menjauh darinya entah kenapa, sahabat-sahabatnya yang hilang entah dimana. Namun ia tak terlalu memikirkannya.

Sampai yang membuatnya murka adalah mendapati kekasihnya sedang bercumbu di salah satu diskotik yang Regan datangi pada saat itu dengan maksud menjemputnya disana, justru malah hubungan yang kandas yang ia dapat. Bahkan ia melihat kekasihnya yang ia jaga mati-matian, bercumbu, dengan pakaian yang sudah tak lagi lengkap. Dan mulai saat itu lah Regan takut menjalin cinta kembali sampai ia dijodohkan dengan istrinya sekarang, itu juga alasan mengapa ia selalu marah ketika istrinya, Debora, pergi dengan lelaki lain.

Lamunannya terpecahkan dengan sentuhan lembut di tangannya, “Tolong, Re, gue hopeless.” Ucapnya dengan nada lembut.

Regan menarik tangannya dan berkata, “Minta tolong sama cowok lo sana.”

“Dia ninggalin gue, Re, dia kuliah di Aussie. Gue kesepian disini. Dan gue sadar kalo yang selalu ada itu cuma lo, Re.”

Perhatian Regan memilih untuk memperhatikan seorang gadis yang mengajak jalan-jalan peliharaannya dan mengabaikan tuturan Aurel yang semakin membuat hatinya tersayat sebab menguak luka lama.

“Gue janji bakal setia, Re.”

“Bawa pulang tuh omong kosong lo, gue masih punya otak untuk gak jatuh di lubang yang sama, apalagi cewek sampah kaya lo.”

Setelah menerima pesan teks itu, dengan gesit langsung perempuan berambut bergelombang yang diikat kuda itu berlari sekuat tenaga dari kelasnya menuju kantin yang berjarak tak terlalu jauh. Namun jika berlari, sangat terasa lelahnya. Akan tetapi rasa panik yang menyelimutinya lebih mendominasi hingga membuatnya lupa akan rasa lelah yang ia rasa.

Namanya Angkasa. Temannya sejak dirinya menginjak kelas dua sekolah dasar, karena dituntut pekerjaan sang ayah yang mengharuskan seorang Bintang untuk berpindah sekolah mengikuti keluarga yang ia cintai dengan amat sangat. Pada saat itu, Angkasa adalah teman pertama yang ia kenal dan yang ia cepat akrab karena kepribadian Angkasa yang menyenangkan juga tak membandingkan, ia orang yang sangat baik.

Yang tidak Bintang ketahui adalah, Angkasa memiliki kemampuan yang tidak dimiliki pada manusia pada wajarnya. Ia dapat melihat makhluk lain yang bukan sejenis kita. Orang biasanya dengan Indigo. Berkenalan diwaktu yang tidak sebentar membuat Bintang mau tidak mau terbiasa dengan Angkasa yang terkadang berbicara entah dengan siapa. Angkasa juga ikut terkejut ketika ia berbicara dengan teman nya, tapi Bintang tak takut atau menjauh. Disitu lah mulai persahabatan yang mereka jalin hingga kini kelas dua belas.

Bintang tidak merasa itu suatu hal yang menjadi alasannya untuk kehilangan teman semenyenangkan Angkasa.

Sampailah Bintang ditempat yang ia kenal betul tempatnya, kantin. Dapat ia tangkap beberapa orang memandang Angkasa ketakutan juga tak sedikit dari mereka yang menatap Angkasa jijik entah dengan alasan apa. Buru-buru ia duduk disamping lelaki tersebut, dan menepuk pipinya perlahan namun dapat dirasakan sensasi pedas setiap tepukannya.

“Sa? Halo?” Lirikannya bergerak perlahan menatap perempuan di depannya. Bibir pucat itu terbuka untuk menyampaikan sepatah kata, namun yang dapat Bintang dengar hanya sebuah hembusan nafas

“Iya? Kenapa?” Ulangnya, sambil kembali mendekatkan telinganya ke bibir Angkasa.

Kali ini dapat ia dengar bahwa ia berkata, “Jahat.” begitu ujarnya yang Bintang dengar. Kemudian Angkasa kembali tertunduk dan tatapan kosongnya kembali menemani wajah tampan milik Angkasa.

Bintang menebarkan pandangannya kepada teman-teman yang sedari tadi bersama Angkasa untuk bertanya ada apa, tapi dengan kompak mereka menjawab tidak tahu ada apa sebenarnya. Membuatnya ikut terheran padahal biasanya Angkasa mudah untuk mengontrol pikirannya agar tak mudah untuk digunakan sebagai medianya berbicara.

Tiba-tiba Angkasa merangkul Bintang dan berbisik dengan suara yang bukan milik Angkasa, “Anak tampan ini.. Punya saya..” Jari telunjuknya menunjuk dadanya sendiri dan menekannya sebanyak tiga kali, meminta validasi bahwa ucapannya benar

Beberapa dari mereka terkejut mendengarnya, cepat-cepat menghampiri temannya dan ikut menepuk pipi pria yang sedang menjadi media dan melepas rangkulan lembut miliknya. Lamun genggaman erat dari tangan kiri Angkasa membuat Bintang mengisyaratkan pada mereka untuk berhenti menyadarkan Angkasa secara paksa. Bintang bisa merasakan Angkasa sedang berusaha disana. Sambil mengguncang keras pundak sahabat nya. Takut jiwanya ikut terbawa, siapa yang tahu?

Yang membuat semuanya bernapas lega adalah, Angkasa memasang wajah kebingungan yang menjadi ciri khasnya, semuanya langsung dapat menebak kali ini adalah benar-benar dirinya. Satu persatu kembali duduk di posisi sebelumnya, sambil tertawa canggung karena masih sedikit ketakutan, kejadian tadi masih suatu hal yang asing dimata mereka.

Bintang dan Angkasa saling bertukar padangan, sampai bibir Angkasa bergerak mengatakan, “Nenek-nenek, Bin.” Bintang mengangguk membenarkan ucapan itu, karena dari nada bicaranya saat berbicara tadi sangat menjelaskan bahwa itu adalah orang tua. Lelaki berambut hitam pendek ikut tertawa canggung, entah rasanya seperti kembali dari dunia lain.

“Lo kenapa sih?” Tanya salah satu temannya yang masih merasa ketakutan, terdengar dari suaranya yang lantang namun bergetar.

Lawan bicaranya mengusap dahi penuh keringat miliknya, dan menjawab, “Abis deep talk” Ucapnya begitu santai.

“Gue balik ya? Belum ngerjain tugas.” Bintang bangun dari duduk nya dan berpamitan satu-persatu dari mereka. Tak semuanya ia kenal, hanya saling tahu tentang nama masing-masing saja.

“Siap, makasih ya, Bin! Sorry ngerepotin lo.” Ujar teman Angkasa yang bernama Lionel, yang memberinya pesan teks tadi.

Sambil merapikan seragam bajunya, ia menatap Lionel sekilas dan menepuk pundak Angkasa, “Jangan dibiarin bengong ya anaknya, gue mau ulangan gak bisa diganggu.” Matanya menatap setiap pasang mata yang ada di meja itu. Serempak mereka mengangguk patuh.

“Lo kaya ngelepas anaknya mau sekolah pertama kali tau, gak?”

“Berisik, pikirin deh lo baru aja mau dibawa nenek-nenek.”

Nama gue Bintang Calista Pamungkas. Biasanya orang-orang manggil gue dengan panggilan “Bintang” atau sekedar “Bin” aja cukup. Pamungkas diambil dari nama belakang bokap, tapi bukan marga, katanya biar keren aja punya nama belakang yang sama satu keluarga. Alhasil terlahir lah gue dan kakak gue dengan nama itu. Bukan bilang nama itu aneh, kadang nama “Pamungkas” dinama perempuan tuh agak kurang aja. Makanya orang-orang yang kenal pertama kali itu sempet kaget.

Gue bukan perempuan yang nakal, hanya menikmati masa muda aja bareng sahabat-sahabat gue. Kata kakak gue, Kak Keenan, “Setiap langkah itu ada maknanya.”

Salah satunya Angkasa. Angkasa adalah temen gue dari kami masih kecil, karena bertetangga dan orang tua kami menjalin hubungan yang cukup dekat menjadikan kami untuk berkomunikasi dan menjadi dekat satu dengan yang lainnya. Mungkin aneh, tapi Angkasa Bratadikara ini memiliki kemampuan yang tidak dimiliki seperti manusia pada umumnya. Bukan bisa mengutuk atau semacamnya, dia cuma bisa melihat yang seharusnya tidak bisa kita lihat. Jujur pertama kali tau soal itu gue jadi sedikit menjaga jarak sama Angkasa, tapi akhirnya deket lagi karena dia bilang kalau dia gak akan ngomong macem-macem semisal dia liat sesuatu.

Angkasa orang yang cerdas dibidang akademik. Nilai sejarah nya selalu diatas rata-rata dan bisa hapal setiap kata perkata. Emang kadang agak sengklek kalau lagi ngobrol biasa, tapi kalau disekolah gausah ditanya seberapa pinter nya. Guru-guru disana juga kaget ternyata Angkasa tuh pinter, kirain bakal jadi murid yang modelan ngelawan guru terus. Ya sering sih, tapi gak sesering yang diekspetasikan.

Coba tanya murid di sekolah, ada gak yang gak kenal Angkasa? Pasti jawabannya nggak.

Angkasa atau yang biasa gue panggil “Asa” ini emang terkenal dengan kesomplakannya dan sebagai manusia yang mudah bergaul. Benar-benar segampang itu untuk Angkasa membuka obrolan tanpa melihat siapa orangnya, entah adik kelas, kakak kelas, teman satu angkatan, bahkan guru sekalipun.


Author POV

Jam yang melingkar ditangan kecil itu sudah menunjukan pukul enam lewat lima belas menit yang mengartikan bahwa ia sudah terlambat akan berangkat kesekolah. Ia berlari keluar rumah, tangannya seraya membereskan lipatan baju yang belum masuk sempurna kedalam bajunya, merasa untuk membetulkan baju saja sudah tak ada waktu lagi. Untung saja tidak ada orang dirumah jadi ia tak perlu bersalaman yang akan memakan waktunya lebih banyak lagi

Saat membuka pintu utama langsung disambut dengan Angkasa terduduk dimotor gagahnya. Motor berwarna hitam doff juga aroma maskulin yang langsung menyambut indra penciuman gadis berumur tujuh belas tahun itu.

“Parfum lo norak deh, Sa!” Maki perempuan itu sambil menyigai motor milik Angkasa.

Sambil tersenyum sombong, Angkasa menjawab dengan nada bercanda, “Enak aja lo! Gue beli mahal nih parfum.” Ucapnya seraya mulai menyalan motor dan mulai terdengar deru bising dari mesin.

“Beli dimana emangnya? Kaya punya uang aja.”

Angkasa menoleh kebelakang, “Lo ngeremehin gue? Emang yang biasanya jajanin lo dikantin, siapa?”

“Siapa? Liona?”

“Iya lah. Masa gue?”

Ya begitu lah Angkasa.