matematiqa

Nama gue Bintang Calista Pamungkas. Biasanya orang-orang manggil gue dengan panggilan “Bintang” atau sekedar “Bin” aja cukup. Pamungkas diambil dari nama belakang bokap, tapi bukan marga, katanya biar keren aja punya nama belakang yang sama satu keluarga. Alhasil terlahir lah gue dan kakak gue dengan nama itu. Bukan bilang nama itu aneh, kadang nama “Pamungkas” dinama perempuan tuh agak kurang aja. Makanya orang-orang yang kenal pertama kali itu sempet kaget.

Gue bukan perempuan yang nakal, hanya menikmati masa muda aja bareng sahabat-sahabat gue. Kata kakak gue, Kak Keenan, “Setiap langkah itu ada maknanya.”

Salah satunya Angkasa. Angkasa adalah temen gue dari kami masih kecil, karena bertetangga dan orang tua kami menjalin hubungan yang cukup dekat menjadikan kami untuk berkomunikasi dan menjadi dekat satu dengan yang lainnya. Mungkin aneh, tapi Angkasa Bratadikara ini memiliki kemampuan yang tidak dimiliki seperti manusia pada umumnya. Bukan bisa mengutuk atau semacamnya, dia cuma bisa melihat yang seharusnya tidak bisa kita lihat. Jujur pertama kali tau soal itu gue jadi sedikit menjaga jarak sama Angkasa, tapi akhirnya deket lagi karena dia bilang kalau dia gak akan ngomong macem-macem semisal dia liat sesuatu.

Angkasa orang yang cerdas dibidang akademik. Nilai sejarah nya selalu diatas rata-rata dan bisa hapal setiap kata perkata. Emang kadang agak sengklek kalau lagi ngobrol biasa, tapi kalau disekolah gausah ditanya seberapa pinter nya. Guru-guru disana juga kaget ternyata Angkasa tuh pinter, kirain bakal jadi murid yang modelan ngelawan guru terus. Ya sering sih, tapi gak sesering yang diekspetasikan.

Coba tanya murid di sekolah, ada gak yang gak kenal Angkasa? Pasti jawabannya nggak.

Angkasa atau yang biasa gue panggil “Asa” ini emang terkenal dengan kesomplakannya dan sebagai manusia yang mudah bergaul. Benar-benar segampang itu untuk Angkasa membuka obrolan tanpa melihat siapa orangnya, entah adik kelas, kakak kelas, teman satu angkatan, bahkan guru sekalipun.


Author POV

Jam yang melingkar ditangan kecil itu sudah menunjukan pukul enam lewat lima belas menit yang mengartikan bahwa ia sudah terlambat akan berangkat kesekolah. Ia berlari keluar rumah, tangannya seraya membereskan lipatan baju yang belum masuk sempurna kedalam bajunya, merasa untuk membetulkan baju saja sudah tak ada waktu lagi. Untung saja tidak ada orang dirumah jadi ia tak perlu bersalaman yang akan memakan waktunya lebih banyak lagi

Saat membuka pintu utama langsung disambut dengan Angkasa terduduk dimotor gagahnya. Motor berwarna hitam doff juga aroma maskulin yang langsung menyambut indra penciuman gadis berumur tujuh belas tahun itu.

“Parfum lo norak deh, Sa!” Maki perempuan itu sambil menyigai motor milik Angkasa.

Sambil tersenyum sombong, Angkasa menjawab dengan nada bercanda, “Enak aja lo! Gue beli mahal nih parfum.” Ucapnya seraya mulai menyalan motor dan mulai terdengar deru bising dari mesin.

“Beli dimana emangnya? Kaya punya uang aja.”

Angkasa menoleh kebelakang, “Lo ngeremehin gue? Emang yang biasanya jajanin lo dikantin, siapa?”

“Siapa? Liona?”

“Iya lah. Masa gue?”

Ya begitu lah Angkasa.

Degup jantung yang tak lagi beraturan, juga lutut yang tak lagi bisa menopang batang tubuh jangkung pria berkacamata itu. Entah speedometer mobilnya hampir rusak karena terlalu cepat dan tak terkendali. Pengemudi itu terlampau panik sehingga pikirannya tak dapat berpikir dengan jernih terlebih hanya untuk mengendalikan kemudi.

Setelah membaca pesan teks dari adiknya, ia langsung gelagapan mencari kunci mobil dan bergegas pergi. Makanan yang sedang ia makan saat itu pun ia tinggal begitu saja.

Ketika sampai, Regan langsung berlari memasuki rumah sakit menuju ruangan yang sudah dipesankan. Untung saja ada Qiya, adiknya. Jadi lebih tanggap untuk menghadapi masalah darurat seperti ini, biarpun begitu tak mampu meredakan sesak di dadanya.

Bagaimana tidak? Belum ada 2 jam mereka saling bertukar pesan, lalu menerima pesan seperti tadi.

Ruang 209. Matanya dapat menangkap Bunda dan Qiya disana. Bergegas Regan langsung menghampiri kedua perempuan itu diikuti dengan Ayah dan Papa mertuanya di belakangnya, yang berarti adalah ayah dari Debora.

“Gimana? Debora, anak Regan. Mereka nggak apa-apa kan? Iya kan?” Tiba-tiba ada rangkulan lembut menyambut pundaknya. Telapak sang ayah, yang mengusap perlahan pundak anak sulungnya hendak menenangkan sedangkan semuanya merasakan panik yang sama.

Qiyani, Adiknya. Ikut mengusap pundak Regan dan menjawab, “Sekarang udah nggak apa-apa. Lo gak perlu panik, mending masuk sana temenin Kak Debora nya.”

Regan tebarkan pandangannya untuk menatap semua orang disana, mereka dengan kompak memberikan tatapan yakin dan anggukan mempersilahkan. Tentu, suaminya harus menemani istrinya melahirkan bukan? Untuk pertama kalinya.

Tanpa banyak pikir lagi, pria itu langsung melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam. Perasaannya campur aduk disana, ada senang, sedih, haru, takut, terkejut, semuanya ada dalam waktu yang bersamaan. Dapat dipandang, Debora dengan keringat bercucuran di dahi dalam keadaan perut yang sudah sangat besar juga kaki yang ditekuk dan sudah ditutupi kain.

“Mas?” Lirih perempuan itu.

Dengan sigap Regan langsung mendatangi ranjang lembut yang ditiduri istrinya. Langsung ia cengkram kuat-kuat tangan kecil yang selalu jadi kesukaannya. Tangan lainnya menyisir surai kecoklatan panjang yang basah karena keringat.

Tak lupa ia salurkan rasa paniknya melalui kecupan lama di pelipis wanitanya.

“Kuat ya.” Tanpa melepas bibirnya dari tempat kesukaan nya itu. Tiada tatapan saling menguatkan, hanya cengkraman yang semakin kuat.

Dengan suara serak hampir menangis, Debora berkata, “Temenin aku ya, Mas?”

“Pasti sayang, pasti.” Ucapnya dengan sebegitu yakinnya. Baru ia lepaskan kecupannya ketika beberapa bidan datang untuk memulai persalinan.

Hal yang tak pernah Regan bayangkan sebelumnya. Dulu, ia hanya melihat perut sang ibunda yang semakin hari semakin membesar. Tentu ia tidak tahu bagaimana caranya mengeluarkan isi perut besar itu, semata-mata melihat secara tiba-tiba datang seorang bayi berwarna merah masuk ke dalam kehidupannya. Yang diberi nama Qiyani, oleh sang ayah.

Tetapi hari ini, hari yang tidak akan pernah Regan lupakan sampai selamanya. Dimana anak pertamanya datang kedunia dengan sambutan yang tiada tara. Dimana keringat sang istri tercinta keluar tanpa adanya tanda akan berhenti saat itu juga. Genggaman saling menguatkan dan ucapan untuk memberi semangat, sudah dikeluarkan bagaimanapun bentuknya.

Hanya dengung yang terdengar di telinga Regan. Otaknya tidak bisa menerima ucapan dalam bentuk apapun. Nafasnya juga tak beraturan, entah bagaimana dengan Debora.

“1.. 2.. 3.. Iya, teken ya bunda..”

Debora mengikuti instruksi nya.

Sampai terdengar..

Suara tangisan menggelegar.

“Selamat ya, bapak Regan dan Bunda Debora.. Bayinya laki-laki.”

Barisan gigi Regan seolah berontak ingin menampakan diri mereka. Sungguh tak kuasa menahan senyuman juga tangisan haru yang luar biasa rasanya. Sulit untuk dijelaskan, seperti bangga juga tak menyangka beradu di dalam hatinya.

Langsung ia memeluk erat istrinya yang masih terbaring lemah di ranjangnya. Beribu-ribu kali ia ucapkan terima kasih tepat ditelinga Debora. Tak tau lagi ucapan apa yang harus diucapkan demi mengutarakan rasa senang yang ada dihatinya sekarang.

Tiga kali Debora menepuk punggung suaminya dan berkata, “Aku berhasil ya?”

Sambil mengeratkan pelukannya, Regan menggangguk dan menjawab, “Iya cantik. Kamu berhasil, Terima kasih banyak.”

Selamat datang Bimasena keanu Gazham.

Sudah tiga panggilan suara dari Debora yang Regan diamkan sebab rasa cemas didadanya terus menggebu-gebu sampai diri nya kesulitan untuk bernapas. Bahkan setelah ia berada diluar pun masih sulit untuk mengatur degup jantungnya.

Ini dia bagian yang paling Regan benci dari hidupnya. Yaitu ketika ia merasa panik yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan segitunya, tapi dirinya menolak dan menilai bahwa itu adalah masalah yang sangat besar.

Ia masih sulit mengendalikan dirinya.

Dua pesan lagi masuk dari Debora, berisikan

Mas Tenang dulu, angkat ya?

Entah sudah sehancur apa kuku jarinya ia gigit sekuat tenaga berusaha mengurangi getar ditubuhnya. Setelah ia mengambil napas panjang, baru ia akan mengangkat panggilan suara itu.

“Halo?” Tanya Debora.

“Gak ada, Bie. Udah aku cari dimana-mana dia ngga ada, bahkan di mobil pun udah aku cari ngga ada.” Suaranya bergetar ketakutan

Sudah lebih dari sembilan bulan lamanya, satu atap bersama pria bermarga Gazham ini waktu yang cukup untuk Debora mengenal lebih jauh tentangnya. Jadi ketika Regan mengalami seperti ini sudah tau harus bertindak apa, tak perlu menanyakan ada apa.

“Iya, aku disini. Kamu tenangin diri kamu dulu. Ambil napas banyak-banyak, duduk tenang, jauhin kerumunan… Jangan ada interaksi sama siapapun kecuali aku disini.”

Regan menuruti semua ucapan itu.

“Jangan pikirin apapun, Just take a deep breath, and let it flow.”

“Itu kalo ilang, gue mampus, Bie..”

Debora ikut mengatur napasnya, “Tenang dulu, kamu tenang. Kalau panik begini gak bakal ketemu dimana itu flashdisk nya.”

Debora benar-benar menjaga setiap kata dan susunannya, jika ada satu kesalahan saja bisa membuat Regan membanting barang-barang disana.

“Udah? Coba kasih tau aku kapan terakhir kali flashdisk itu ada ditangan kamu? Ditangan.” Tekannya

Hening. Sepertinya Regan terdiam karena berpikir dibalik sana.

“Dari pagi aku udah pegang flashdisk nya. Terus aku taro dimeja sebelum sarapan dibawah. Aku taro dimeja diatas map aku yang lain.” Jawabnya dengan jelas.

“Itu bener-bener gak kamu halangi sesuatu lagi?”

“Ngga.”

“Udah cari dikolong meja?”

“Udah.. Ngga ada.”

“Dikantong baju? Celana? Tas kamu?”

”...”

“Halo? Ada gak?”

“Ternyata aku sangkutin bareng kunci mobil, Bie..”

Sudah tiga panggilan suara dari Debora yang Regan diamkan sebab rasa cemas didadanya terus menggebu-gebu sampai diri nya kesulitan untuk bernapas. Bahkan setelah ia berada diluar pun masih sulit untuk mengatur degup jantungnya.

Ini dia bagian yang paling Regan benci dari hidupnya. Yaitu ketika ia merasa panik yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan segitunya, tapi dirinya menolak dan menilai bahwa itu adalah masalah yang sangat besar.

Ia masih sulit mengendalikan dirinya.

Dua pesan lagi masuk dari Debora, berisikan

Mas Tenang dulu, angkat ya?

Entah sudah sehancur apa kuku jarinya ia gigit sekuat tenaga berusaha mengurangi getar ditubuhnya. Setelah ia mengambil napas panjang, baru ia akan mengangkat panggilan suara itu.

“Halo?” Tanya Debora.

“Gak ada, Bie. Udah aku cari dimana-mana dia ngga ada, bahkan di mobil pun udah aku cari ngga ada.” Suaranya bergetar ketakutan

Sudah lebih dari sembilan bulan lamanya, satu atap bersama pria bermarga Gazham ini waktu yang cukup untuk Debora mengenal lebih jauh tentangnya. Jadi ketika Regan mengalami seperti ini sudah tau harus bertindak apa, tak perlu menanyakan ada apa.

“Iya, aku disini. Kamu tenangin diri kamu dulu. Ambil napas banyak-banyak, duduk tenang, jauhin kerumunan… Jangan ada interaksi sama siapapun kecuali aku disini.”

Regan menuruti semua ucapan itu.

“Jangan pikirin apapun, Just take a deep breath, and let it flow.”

“Itu kalo ilang, gue mampus, Bie..”

Debora ikut mengatur napasnya, *“Tenang dulu, kamu tenang. Kalau panik begini gak bakal ketemu dimana itu flashdisk nya.”*

Debora benar-benar menjaga setiap kata dan susunannya, jika ada satu kesalahan saja bisa membuat Regan membanting barang-barang disana.

“Udah? Coba kasih tau aku kapan terakhir kali flashdisk itu ada ditangan kamu? Ditangan.” Tekannya

Hening. Sepertinya Regan terdiam karena berpikir dibalik sana.

“Dari pagi aku udah pegang flashdisk nya. Terus aku taro dimeja sebelum sarapan dibawah. Aku taro dimeja diatas map aku yang lain.” Jawabnya dengan jelas.

“Itu bener-bener gak kamu halangi sesuatu lagi?”

“Ngga.”

“Udah cari dikolong meja?”

“Udah.. Ngga ada.”

“Dikantong baju? Celana? Tas kamu?”

”...”

“Halo? Ada gak?”

“Ternyata aku sangkutin bareng kunci mobil, Bie..”

Sudah tiga panggilan suara dari Debora yang Regan diamkan sebab rasa cemas didadanya terus menggebu-gebu sampai diri nya kesulitan untuk bernapas. Bahkan setelah ia berada diluar pun masih sulit untuk mengatur degup jantungnya.

Ini dia bagian yang paling Regan benci dari hidupnya. Yaitu ketika ia merasa panik yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan segitunya, tapi dirinya menolak dan menilai bahwa itu adalah masalah yang sangat besar.

Ia masih sulit mengendalikan dirinya.

Dua pesan lagi masuk dari Debora, berisikan

Mas Tenang dulu, angkat ya?

Entah sudah sehancur apa kuku jarinya ia gigit sekuat tenaga berusaha mengurangi getar ditubuhnya. Setelah ia mengambil napas panjang, baru ia akan mengangkat panggilan suara itu.

“Halo?” Tanya Debora.

“Gak ada, Bie. Udah aku cari dimana-mana dia ngga ada, bahkan di mobil pun udah aku cari ngga ada.” Suaranya bergetar ketakutan

Sudah lebih dari sembilan bulan lamanya, satu atap bersama pria bermarga Gazham ini waktu yang cukup untuk Debora mengenal lebih jauh tentangnya. Jadi ketika Regan mengalami seperti ini sudah tau harus bertindak apa, tak perlu menanyakan ada apa.

“Iya, aku disini. Kamu tenangin diri kamu dulu. Ambil napas banyak-banyak, duduk tenang, jauhin kerumunan… Jangan ada interaksi sama siapapun kecuali aku disini.”

Regan menuruti semua ucapan itu.

“Jangan pikirin apapun, Just take a deep breath, and let it flow.”

“Itu kalo ilang, gue mampus, Bie..”

Debora ikut mengatur napasnya, *“Tenang dulu, kamu tenang. Kalau panik begini gak bakal ketemu dimana itu flashdisk nya.*”

Debora benar-benar menjaga setiap kata dan susunannya, jika ada satu kesalahan saja bisa membuat Regan membanting barang-barang disana.

*“Udah? Coba kasih tau aku kapan terakhir kali flashdisk itu ada ditangan kamu? Ditangan.”* Tekannya

Hening. Sepertinya Regan terdiam karena berpikir dibalik sana.

“Dari pagi aku udah pegang flashdisk nya. Terus aku taro dimeja sebelum sarapan dibawah. Aku taro dimeja diatas map aku yang lain.” Jawabnya dengan jelas.

“Itu bener-bener gak kamu halangi sesuatu lagi?”

“Ngga.”

“Udah cari dikolong meja?”

“Udah.. Ngga ada.”

“Dikantong baju? Celana? Tas kamu?”

”...”

“Halo? Ada gak?”

“Ternyata aku sangkutin bareng kunci mobil, Bie..”

Sudah tiga panggilan suara dari Debora yang Regan diamkan sebab rasa cemas didadanya terus menggebu-gebu sampai diri nya kesulitan untuk bernapas. Bahkan setelah ia berada diluar pun masih sulit untuk mengatur degup jantungnya.

Ini dia bagian yang paling Regan benci dari hidupnya. Yaitu ketika ia merasa panik yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan segitunya, tapi dirinya menolak dan menilai bahwa itu adalah masalah yang sangat besar.

Ia masih sulit mengendalikan dirinya.

Dua pesan lagi masuk dari Debora, berisikan

Mas Tenang dulu, angkat ya?

Entah sudah sehancur apa kuku jarinya ia gigit sekuat tenaga berusaha mengurangi getar ditubuhnya. Setelah ia mengambil napas panjang, baru ia akan mengangkat panggilan suara itu.

“Halo?” Tanya Debora.

“Gak ada, Bie. Udah aku cari dimana-mana dia ngga ada, bahkan di mobil pun udah aku cari ngga ada.” Suaranya bergetar ketakutan

Sudah lebih dari sembilan bulan lamanya, satu atap bersama pria bermarga Gazham ini waktu yang cukup untuk Debora mengenal lebih jauh tentangnya. Jadi ketika Regan mengalami seperti ini sudah tau harus bertindak apa, tak perlu menanyakan ada apa.

“Iya, aku disini. Kamu tenangin diri kamu dulu. Ambil napas banyak-banyak, duduk tenang, jauhin kerumunan… Jangan ada interaksi sama siapapun kecuali aku disini.”

Regan menuruti semua ucapan itu.

“Jangan pikirin apapun, Just take a deep breath, and let it flow.”

“Itu kalo ilang, gue mampus, Bie..”

Debora ikut mengatur napasnya, *“Tenang dulu, kamu tenang. Kalau panik begini gak bakal ketemu dimana itu flashdisk nya.*”

Debora benar-benar menjaga setiap kata dan susunannya, jika ada satu kesalahan saja bisa membuat Regan membanting barang-barang disana.

*“Udah? Coba kasih tau aku kapan terakhir kali flashdisk itu ada ditangan kamu? Ditangan.”* Tekannya

Hening. Sepertinya Regan terdiam karena berpikir dibalik sana.

“Dari pagi aku udah pegang flashdisk nya. Terus aku taro dimeja sebelum sarapan dibawah. Aku taro dimeja diatas map aku yang lain.” Jawabnya dengan jelas.

“Itu bener-bener gak kamu halangi sesuatu lagi?”

“Ngga.”

“Udah cari dikolong meja?”

“Udah.. Ngga ada.”

“Dikantong baju? Celana? Tas kamu?”

”...”

“Halo? Ada gak?”

“Ternyata aku sangkutin bareng kunci mobil, Bie..”

Sudah tiga panggilan suara dari Debora yang Regan diamkan sebab rasa cemas didadanya terus menggebu-gebu sampai diri nya kesulitan untuk bernapas. Bahkan setelah ia berada diluar pun masih sulit untuk mengatur degup jantungnya.

Ini dia bagian yang paling Regan benci dari hidupnya. Yaitu ketika ia merasa panik yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan segitunya, tapi dirinya menolak dan menilai bahwa itu adalah masalah yang sangat besar.

Ia masih sulit mengendalikan dirinya.

Dua pesan lagi masuk dari Debora, berisikan

Mas Tenang dulu, angkat ya?

Entah sudah sehancur apa kuku jarinya ia gigit sekuat tenaga berusaha mengurangi getar ditubuhnya. Setelah ia mengambil napas panjang, baru ia akan mengangkat panggilan suara itu.

“Halo?” Tanya Debora.

“Gak ada, Bie. Udah aku cari dimana-mana dia ngga ada, bahkan di mobil pun udah aku cari ngga ada.” Suaranya bergetar ketakutan

Sudah lebih dari sembilan bulan lamanya, satu atap bersama pria bermarga Gazham ini waktu yang cukup untuk Debora mengenal lebih jauh tentangnya. Jadi ketika Regan mengalami seperti ini sudah tau harus bertindak apa, tak perlu menanyakan ada apa.

“Iya, aku disini. Kamu tenangin diri kamu dulu. Ambil napas banyak-banyak, duduk tenang, jauhin kerumunan… Jangan ada interaksi sama siapapun kecuali aku disini.”

Regan menuruti semua ucapan itu.

*“Jangan pikirin apapun, Just take a deep breath, and let it flow.“*

“Itu kalo ilang, gue mampus, Bie..”

Debora ikut mengatur napasnya, *“Tenang dulu, kamu tenang. Kalau panik begini gak bakal ketemu dimana itu flashdisk nya.*”

Debora benar-benar menjaga setiap kata dan susunannya, jika ada satu kesalahan saja bisa membuat Regan membanting barang-barang disana.

*“Udah? Coba kasih tau aku kapan terakhir kali flashdisk itu ada ditangan kamu? Ditangan.”* Tekannya

Hening. Sepertinya Regan terdiam karena berpikir dibalik sana.

“Dari pagi aku udah pegang flashdisk nya. Terus aku taro dimeja sebelum sarapan dibawah. Aku taro dimeja diatas map aku yang lain.” Jawabnya dengan jelas.

“Itu bener-bener gak kamu halangi sesuatu lagi?”

“Ngga.”

“Udah cari dikolong meja?”

“Udah.. Ngga ada.”

“Dikantong baju? Celana? Tas kamu?”

”...”

“Halo? Ada gak?”

“Ternyata aku sangkutin bareng kunci mobil, Bie..”

Setelah perdebatan panjang akhirnya pria berusia dua puluh tujuh tahun itu membiarkan wanitanya masuk dengan makanan di tangannya. Bubur ayam di tangan kanan dan semangkuk sup di tangan kiri, hanya menu andalan setiap orang ketika kurang enak badan.

Senyuman cerianya seolah obat yang hanya perlu dipandang. Rasa sakit yang ia rasakan, hilang dalam sekejap ketika cahaya mata perempuan itu masuk menusuk matanya. Juga perut nya yang sudah mulai membesar.

“Halo, ganteng?” Sapanya begitu duduk disamping ranjang.

Tatapan lesu serta bibir pucat membalas sapaan itu, “Hai, cantik.” Ucapnya manis.

Tangannya sibuk mempersiapkan obat-obatan yang akan diminum setelah suaminya makan makanan yang tadi ia buat secara dadakan. Rasanya dijamin lezat, karena sudah terbiasa, memasak juga salah satu hobi perempuan itu.

Sebelum mulai menyuapi, perempuan bernama Debora itu meletakan punggung tangannya di dahi suaminya yaitu Regan. Suhunya tidak terlalu tinggi juga tak terlalu rendah, menunjukkan tiga puluh enam koma sembilan derajat.

Benar-benar menunjukkan hanya sekedar kelelahan sebab bekerja.

Tak ada lagi bahasan, hanya memulai suapan.

Satu persatu ia masukkan perlahan setiap bulir bubur yang tadi dibuatnya. Didampingi sop yang menghangatkan perut serta tenggorokan. Mata yang tadinya terasa panas, kini mulai mereda.

“Apa yang dirasa?” Tanya Debora

Regan selesaikan makanan yang ada di mulutnya kemudian menjawab, “Cuma pusing.”

Sebenarnya banyak ia rasa, hanya tak mau membuat Debora banyak pikiran ditambah ia sedang mengandung. Kata dokter, Debora sama sekali tidak boleh stress karena apapun itu. Sebagai suami yang baik, tentu ia menerapkan saran dokter, apapun ia lakukan demi calon anak.

“Beneran? Jangan bohong.”

“Untuk apa bohong?”

Akhirnya Debora pun percaya dan menyiapkan obat untuk Regan minum, juga air untuk membantunya menelan 2 pil obat. Akan sangat sulit jika tanpa air.

Baru saja Debora mengangkat bokong nya, untuk menaruh mangkuk-mangkuk tadi ke cucian piring agar tak tertinggal saat ia mencucinya nanti. Namun genggaman erat berhasil membuatnya kembali terduduk di posisi semula.

Kedua tatapan itu bertemu, dipatahkan dengan pertanyaan Debora apakah semuanya baik-baik saja. Sang lelaki mengangguk dan menarik lengan yang kecil di tangannya untuk ia rengkuh.

“Tadi aku disuruh keluar?”

“Nggak jadi, disini aja temenin aku.”

Ketika leher jenjang istrinya sudah di dadanya, ia dekap begitu eratnya seolah lama tak berjumpa. Jika dalam hitungan jam, mereka hanya tidak bertemu selama kurang lebih 7 jam lamanya.

Setelah mencari posisi yang nyaman bagi keduanya, mereka hanya diam di dalam kegelapan. Hanya suara dengung hening yang menemani rengkuhan hangat dua insan tersebut.

Jam dinding menunjukan pukul sebelas malam. Yang biasanya, Regan baru memasuki pekarangan rumah.

Ketika sibuk menghirup aroma khas istrinya, teralihkan dengan pertanyaan yang berhasil membuat nya ikut terdiam untuk beberapa saat.

“Kita udah jadi orang tua, bisa gak ya kita kaya orang tua kita? Kita bisa gak ya jadi orang tua yang baik untuk anak kita?” Suara serak khas malam menemani pertanyaan itu.

Sambil mempererat pelukannya, sang suami menjawab, “Kita gak perlu kaya orang tua kita. Cukup jadi diri sendiri dan lakuin yang terbaik untuk keluarga kita nanti.” Kemudian ia kecup mesra pelipis perempuannya.

Kembali ia lontarkan, “Tapi kita bisa kan?”

“Bisa. Harus bisa. Kita sama sama ya? Cuma kita berdua yang harus bertahan sampai akhir masa.”

“Kamu bikin aku mau nangis.”

Setelah perdebatan panjang akhirnya pria berusia dua puluh tujuh tahun itu membiarkan wanitanya masuk dengan makanan di tangannya. Bubur ayam di tangan kanan dan semangkuk sup di tangan kiri, hanya menu andalan setiap orang ketika kurang enak badan.

Senyuman cerianya seolah obat yang hanya perlu dipandang. Rasa sakit yang ia rasakan, hilang dalam sekejap ketika cahaya mata perempuan itu masuk menusuk matanya. Juga perut nya yang sudah mulai membesar.

“Halo, ganteng?” Sapanya begitu duduk disamping ranjang.

Tatapan lesu serta bibir pucat membalas sapaan itu, “Hai, cantik.” Ucapnya manis.

Tangannya sibuk mempersiapkan obat-obatan yang akan diminum setelah suaminya makan makanan yang tadi ia buat secara dadakan. Rasanya dijamin lezat, karena sudah terbiasa, memasak juga salah satu hobi perempuan itu.

Sebelum mulai menyuapi, perempuan bernama Debora itu meletakan punggung tangannya di dahi suaminya yaitu Regan. Suhunya tidak terlalu tinggi juga tak terlalu rendah, menunjukkan tiga puluh enam koma sembilan derajat.

Benar-benar menunjukkan hanya sekedar kelelahan sebab bekerja.

Tak ada lagi bahasan, hanya memulai suapan.

Satu persatu ia masukkan perlahan setiap bulir bubur yang tadi dibuatnya. Didampingi sop yang menghangatkan perut serta tenggorokan. Mata yang tadinya terasa panas, kini mulai mereda.

“Apa yang dirasa?” Tanya Debora

Regan selesaikan makanan yang ada di mulutnya kemudian menjawab, “Cuma pusing.”

Sebenarnya banyak ia rasa, hanya tak mau membuat Debora banyak pikiran ditambah ia sedang mengandung. Kata dokter, Debora sama sekali tidak boleh stress karena apapun itu. Sebagai suami yang baik, tentu ia menerapkan saran dokter, apapun ia lakukan demi calon anak.

“Beneran? Jangan bohong.”

“Untuk apa bohong?”

Akhirnya Debora pun percaya dan menyiapkan obat untuk Regan minum, juga air untuk membantunya menelan 2 pil obat. Akan sangat sulit jika tanpa air.

Baru saja Debora mengangkat bokong nya, untuk menaruh mangkuk-mangkuk tadi ke cucian piring agar tak tertinggal saat ia mencucinya nanti. Namun genggaman erat berhasil membuatnya kembali terduduk di posisi semula.

Kedua tatapan itu bertemu, dipatahkan dengan pertanyaan Debora apakah semuanya baik-baik saja. Sang lelaki mengangguk dan menarik lengan yang kecil di tangannya untuk ia rengkuh.

“Tadi aku disuruh keluar?”

“Nggak jadi, disini aja temenin aku.”

Ketika leher jenjang istrinya sudah di dadanya, ia dekap begitu eratnya seolah lama tak berjumpa. Jika dalam hitungan jam, mereka hanya tidak bertemu selama kurang lebih 7 jam lamanya.

Setelah mencari posisi yang nyaman bagi keduanya, mereka hanya diam di dalam kegelapan. Hanya suara dengung hening yang menemani rengkuhan hangat dua insan tersebut.

Jam dinding menunjukan pukul sebelas malam. Yang biasanya, Regan baru memasuki pekarangan rumah.

Ketika sibuk menghirup aroma khas istrinya, teralihkan dengan pertanyaan yang berhasil membuat nya ikut terdiam untuk beberapa saat.

“Kita udah jadi orang tua, bisa gak ya kita kaya orang tua kita? Kita bisa gak ya jadi orang tua yang baik untuk anak kita?” Suara serak khas malam menemani pertanyaan itu.

Sambil mempererat pelukannya, sang suami menjawab, “Kita gak perlu kaya orang tua kita. Cukup jadi diri sendiri dan lakuin yang terbaik untuk keluarga kita nanti.” Kemudian ia kecup mesra pelipis perempuannya.

Kembali ia lontarkan, “Tapi kita bisa kan?”

“Bisa. Harus bisa. Kita sama sama ya? Cuma kita berdua yang harus bertahan sampai akhir masa.”

“Kamu bikin aku mau nangis.”

“Udah siap?” Tanya Regan setelah memakai kemeja biru tua nya. Sambil melihat dirinya di pantulan kaca.

Tatapannya beralih kepada istrinya yang menuruni tangga dengan begitu anggunnya. Dress selutut berwarna biru tua itu membuat tubuh Debora semakin cantik dimata Regan.

Tangannya yang memegang kado berisikan baju yang ia buat tadi malam. Tak lupakan dengan kejutan lain di dalam kantong baju itu.

“Ayo.”

“Bajunya bikin sendiri?”

“Iya, cantik gak?”

“Cantikan orang nya.”


“Kak? Bang Regan belum tau kan?”

“Belum.”

Tiba-tiba datang lah bunda dengan gaun cantiknya, “Aduh anak menantu aku udah dateng, gimana kabarnya sayang? Baik-baik aja kan?” Tegur Bunda dengan sangat ramah sambil memeluk erat tubuh Debora.

Bunda terlihat sangat cantik dengan luaran warna coklat muda dan kaos bagian dalam berwarna biru tua. Sama sekali tidak ada yang bisa menebak kalau wanita ini sudah hampir sweet seventeen tiga kali. Memang bahagia membuat wajahnya tampak jauh lebih muda.

“Baik, bunda sendiri gimana? Selamat ulang tahun ya bunda sayang, maafin kadonya cuma ini dari Mas Regan sama Debora.” Sembari tangannya memberikan kotak yang ia siapkan selama tiga hari itu.

Bunda menerimanya sambil tersenyum manis perasaan terharu juga tersirat disana, “Aduh, gak usah repot-repot. Kita disini cuma makan siang bersama aja kok. Terimakasih ya.”

Hiasan rumahnya pun menjelaskan itu. Hanya ada makanan yang memenuhi meja makan tidak ada hiasan lain seperti akan adanya pesta untuk dirayakan. Inilah tradisi mereka, setiap ada yang berulang tahun akan ada acara makan bersama hanya untuk sekedar mengingat momen hari lahir saja.

Debora pun bersalaman dengan anggota keluarga lainnya, ada Ayah dan Qiya disana. Ayah sedang duduk dikursi kebangsaannya dan Qiya sedang bulak-balik dapur untuk mempersiapkan makanan yang lain

“Apa kabar, Yah?”

“Baik, papamu datang telat udah tau kan?”

“Udah, tadi malem papah kasih tau. Mau ada yang ditandatangani katanya?”

Ayah mengangguk.

“Regan mana?” Tanya ayah. Karena tidak melihat keberadaan anak sulungnya mengikuti Debora dibelakang.

Debora ikut menoleh kebelakang, “Tadi sih katanya mau angkat telpon dulu, tapi kok lama banget?” Debora ikut keheranan

“Palingan ngerokok diluar.” Sahut Qiya. Tatapan tajam dari sang ayah langsung membuat bibirnya diam seketika. Ia lupa janjinya untuk tidak bercerita pada Debora tentang hal-hal yang tidak perlu ia tau seperti tadi contohnya.

“Oh? Mas Regan merokok?” Ucap Debora keheranan sambil menduduki salah satu kursi disana.

Kini ayah dan Qiya saling tatap keheranan, “Emangnya Bang Regan gak ngerokok disana?” Tanya Qiya. Setaunya, Regan memiliki kecanduan merokok sejak masih SMA dan susah untuk dihilangkan.

“Kaya ada yang ngomongin ya.”

“Bang, lo udah gak ngerokok?” Tanya Qiya langsung.

Sambil duduk disebelah Debora, ia menjawab “Udah ngga, baru 3 bulanan lalu. Kenapa?” Ia jadi ikut heran, kenapa mereka tiba-tiba tau kalau dirinya berhenti merokok?

“Ouh.. Udah punya istri jadi begitu sekarang..”


Setelah acara makan-makan selesai akhirnya sesi pembukaan kado. Astaga, jangan bayangkan betapa gugupnya Debora sekarang. Mungkin degup jantungnya bisa didengar banyak orang sangking cepatnya.

Dimulai dari kado suaminya, Ayah memberikan sebuah kalung emas dengan liontin cantik diujungnya. Terlihat sangat berkelas jika dipakai dileher jenjang nan putih bunda. Tak lupakan dipakaikan langsung oleh ayah, beberapa orang disana terhanyut dengan moment kehangatan itu.

Kado kedua ia dapatkan dari anak bungsunya, berisikan tempat beling untuk sang ibunda taruh bumbu dapur disana. Yang namanya orang tua, akan senang apapun yang diberikan anaknya meskipun itu hanya segumpal pasir.

Hadiah ketiga diberikan dari Papah Theo! Paper bag yang diisi dengan beberapa baju santai untuk dipakainya didalam rumah. Oh iya, bunda Aira dan Papah Theo sudah kenal sejak mereka baru masuk kuliah. Apalagi dulu mereka ketua dan wakil himpunan, dapat terbilang mereka cukup dekat.

Dan hadiah terakhir.

Debora semakin gugup karena kotak pemberian nya sudah ada ditangan bunda dan siap akan dibuka sekarang juga. Tatapan Debora dan Qiya bertemu memberi isyarat kalau kejutannya sebentar lagi akan terungkap.

Moment yang sangat pas bukan? Dimana semua anggota keluarga berkumpul disatu tempat. Diruang keluarga.

Bunda membuka hadiahnya dengan wajah yang sama saat ia membuka kado yang pertama. Begitu girang dan kesenangan. Hadiah yang Debora berikan hanya dibungkus dengan kotak berbahan dus berwarna coklat dan dihias dengan tali goni diatasnya.

“Ini kamu jahit sendiri, sayang?” Tanya bunda saat membuka kotaknya. Debora mengangguk mengiyakan ucapan barusan.

Regan yang berada disebelahnya hanya menatap bundanya dengan tatapan yang turut bahagia tanpa ada kecurigaan sedikit pun.

“Bagus.” Gumam Regan tanpa sadar yang dapat Debora dengar dengan jelas.

Sambil tersenyum malu, Debora menjawab “Makasih, hehe.”

Karena tinggi badan yang dapat terbilang jauh, Regan harus sedikit menunduk agar bisa menatap pujaan hatinya. Ia menoleh dan tersenyum bangga pada Debora. Hatinya menghangat seketika.

Suasana hening mengambil atensi dua insan ini untuk kembali menatap kedepan. Dapat mereka lihat bunda dan beberapa orang disana keheranan ada apa disana. Tatapan bunda yang heran namun senyuman lebar berada dibibir indahnya. Tangan cantik yang memegang beberapa hasil USG dan ada tiga testpack yang bergaris dua.

“Ini? Debora?”

“Selamat menjadi oma!” Serunya.

“BANG! LO NGAPAIN SAMPE GUE JADI AUNTY GINI?” Tangis Qiya yang lebih dulu pecah.

Regan menatap bunda dan ayah yang sedang berpelukan haru, juga Debora yang sedang dipeluk sang papah. Masih mencerna apa yag yang terjadi didepan matanya, lutut nya pun terasa lemas seketika.

Sampai ia merasakan pinggangnya yang dirangkul hangat, juga harum yang ia kenal sangat menempel dibajunya. Ia tatap wanita yang menjadi bagian dari hidupnya itu, seolah bertanya ada apa.

“Selamat menjadi ayah, tuan Regan Gazham.”

Baru lah, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Air mata itu kembali ada.