matematiqa

“Jangan lupa.” Larang Regan sebelum Debora membuka pintu mobil dan keluar. Perempuan berusia dua puluh dua tahun itu melirik sebentar kemudian mengangguk, sudah percuma menjawab karena hanya itu pertanyaannya.

“Pergi dulu ya, dadah! Jangan lupa makan nasi yang diatas meja, kalo ada apa-apa nanti kasih tau aku aja. Sama jangan lupa mandi kamu tuh!”

“Lo jangan makan pedes. Jam 6:45 nanti gue jemput.”

Debora mengacungkan jempolnya dan bergegas keluar.

Sepatu tali itu melangkah bergantian untuk mencari tempat yang ia tuju dan sudah dijanjikan. Benar-benar hanya Debora dan pikiran kosongnya yang menemaninya berjalan.

Matanya bergerak gelisah, mulai mencari logo yang menjadi ciri khas sebuah restoran pizza yang mereka sepakati akan berjumpa disana.

Debora pun menemukannya. Dapat ia tangkap seseorang dengan bahu yang sangat lebar, terduduk menatap sekitarnya dan hanya ada dirinya dimeja tersebut. Wajah tercetak sempurna, membuat beberapa pelayan disana terdistraksi tak sengaja. Harum dari tubuhnya pun berhasil menembus indra penciuman tanpa interupsi.

Namanya Abimana.

Ia adalah sosok yang sangat Debora idam-idamkan sejak umurnya baru menginjak sebelas tahun. Abimana yang selalu menggambarkan sosok yang kuat dan tak terkalahkan. Aura berkuasanya sangat terpancar hanya dengan tatapan mata tajam miliknya.

Asal daerah Abimana yang menggunakan bahasa Sunda, Abimana memanggil dirinya dengan panggilan “Aa.” yang artinya adalah kaka laki-laki. Sejak saat itu, Debora ikut memanggil Abimana dengan panggilan tersebut, dipacu dengan paut umur mereka yang terbilang cukup jauh, yaitu 5 tahun.

Seperti yang dibilang. Debora memanggil Abimana ini adalah Guardian angel nya. Dimana Debora terjadi sesuatu, selalu ada Abimana disana. Itu terjadi cukup lama sampai akhirnya Abimana memilih untuk ikut kedua orang tuanya pindah ke luar negri.

Sedih, tentu saja.

Namun apa yang bisa ia lakukan.


“Apa kabar? Long time no see. Makin cantik aja.” Ucap Abimana saat Debora baru mendaratkan bokongnya dikursi.

Seraya tersipu malu, Debora menjawab. “Hahaha, sejauh ini sih baik kabarnya.” Tangannya mulai membuka daftar menu dan mulai memesan.

“Aa sendiri gimana kabarnya?”

Senyuman manis dan tatapan lembut itu menemani kata-kata yang keluar dari mulutnya, “Baik, sangat baik.”

Suasana canggung tercipta beberapa detik. Mata Abimana tak terlepas dari perempuan yang sudah lama tidak ia jumpa. Paras cantik ciri khas perempuan itu tak pudar walau sedikit saja.

“Istri? apa kabar?” Tanya Debora ragu-ragu.

Ia tau kalau Abimana sudah menikah, namun setelah itu tak pernah menanyakan kabar karena Abimana kurang suka mengumbar tentang hubungan rumah tangganya.

“Baik. Anak juga baik, udah dua.” Jari tengah dan telunjuknya terangkat.

Alis Debora terangkat terkejut dan kesenangan, “Oh ya? Keren banget, kok gak pernah kenalin ke aku?”

“Kapan-kapan kalau mereka ikut ke Indo. Nyokap nya takut kalo bawa anak kesini. Makanya gue sendiri. Lo gimana sama suami? Baik-baik kan?”

Sambil mengangguk paham, kemudian Debora menjawab “Dia ngeselin gitu orangnya, kata adik ipar ku dia emang begitu. Tapi kaya nyebelin gitu deh!” Curah Debora.

“Ngeselin gimana?”

“Contohnya begini, aku bilang aku suka eskim. Terus dia jawab cuma oke doang eh tiba-tiba bawain eskrim sebanyak-banyaknya kaya aku mau jualan. Ngga ngeselin sih, cuma kadang aku tuh validasi kaya bilang aku cantik atau pujian kecil gitu. Tapi dia gak mau.”

“Udah lo coba bikin dia cemburu belum?”

“Itu toxic namanya, gak boleh.”

“Coba mana HP lo, sama sini tangan lo.”

“Ih mau ngapain?”

“Udah sini, nanti kalo cowok lo cemburu itu berarti dia sayang sama lo. Cuma gengsi aja.”

“Aku takut, dia serem kalo udah marah.”

“Urusan lo itu mah.”

“Aa ih...”

“Ini diitungnya kencan pertama atau kedua?” Tanya Debora sambil menoleh ke Regan yang sedang mengendarai mobilnya. Pandangannya lurus kedepan tanpa ada niatan untuk mengalihkan. Mendengarkan omongan tak penting dari Debora tentunya.

“Jawab dong.” Entah pertanyaan keberapa yang tak mendapat respon dari suaminya.

Ini untuk pertama kalinya mereka berada didalam satu mobil yang sama, dan hanya berdua.

“Mau kemana?”

“Makan bakmie yang enak itu aja yuk? Itu kan tempat pertama kali kita ketemu, termasuk dating gak sih? Kan kita cuma berdua doang?”

“Ada ayah.”

Lagi dan lagi gadis itu menarik napas panjang sambil berpikir, “Iya sih, tapi bisa aja diitung kesan pertama dan kencan pertama.” Ucapnya heboh. Tangga nada yang selalu diatas kadang membuatnya sesak tapi tak terlalu memperdulikannya.

“Ih jadinya aku dibolehin gak sih jalan sama temen aku? Dia orang baik kok, kalo gak baik gak aku temenin.”

“Temen lo aja gak bener semua.”

“Nama dia Abimana, tapi aku panggil nya Aa Abi karena dia orang sunda dan nama panggilan nya Abi jadi Aa Abi. Dulu dia tetangga aku dikomplek yang dulu pas SD, aku pindah rumah dia juga pindah kebetulan dan kita hilang kabar deh.”

Kemudian hening.

“Lo gak salah cerita tentang cowok lain depan cowok lo?”

Debora menatap Regan dengan tatapan horor, “Cowok ku? Siapa?”

“Udah sampe. Turun.”


Dengan kaki yang berirama kompak juga kedua tangan yang dipautkan secara paksa. Mereka mulai berjalan memasuki mall yang ditujukan pada awalnya. Resto bakmie tempat mereka pertama kali bertemu dan saling bertukar kesan pertama.

Kini mereka datang kembali dengan status yang berbeda dan cara pandang yang tak lagi sama. Secara perlahan lelaki itu mulai membuka dirinya untuk wanitanya masuk.

“Ayo gandengan biar makin kaya orang pacaran dong.”

Kata-kata yang Debora lontarkan saat baru keluar dari mobil dan menunggu Regan untuk memarkir mobil diparkiran.

Secara ketus Regan menjawab, “Gausah alay.” Jawaban yang tak membuat Debora ciut apalagi goyah. Ia tetap menyambar tangan suaminya dan menautkan dengan tangan nya.

“Aku pesen yang ini aja deh, Mas.”

“Kamu pesen apa?” Lanjutnya

“Samain aja.”

“Oke, jadi dua ya! Minumnya jus alpukat.”

“Kamu minum apa?”

“Samain aja.”

“Jus alpukatnya dua juga. Makasih, ya!” Ucap Debora tak lupa.

Pelayan itupun pergi dan mulai memproses pesanan Debora dan Regan. Mata Debora masih terpaku pada pelayan yang berjalan kesana kemari.

“Jangan murah senyum ke cowok yang gak lo kenal.”

Lawan bicaranya melebarkan senyumnya hingga barisan giginya nampak begitu jelas. Regan yang sudah kesal menjadi semakin kesal.

“I know you so well, Baby.”

“Can U stop call me baby?”

“What should I call U? Daddy?”

Bulu kuduknya terangkat tiba-tiba. Secara spontan, punggungnya terangkat panik.

“Shut up.”

“Aku merinding.”

Sesuai dengan janji nya pada Debora, ia mandi sebelum bertemu dengan istrinya. Dengan rambut yang masih setengah kering Regan masuk kedalam kamar Debora. Ya, meskipun sudah hampir 1 bulan mereka menikah namun masih pisah kamar.

Regan membuka pintu tanpa permisi. Langsung ditatapnya gundukan selimut berwarna putih tulang yang sedikit bergetar tak karuan. Tanpa pikir panjang lagi, Regan langsung membuka selimut itu untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.

Pikirannya kosong seketika ketika melihat bibir juga pundak istrinya bergetar hebat.

“Hey? Ada apa? Mana yang sakit?” Nada bicara yang jarang Regan lontarkan untuk Debora tentunya.

Ia rengkuh relung hangat itu. Menyalurkan rasa takut yang menyerang secara tiba-tiba juga getar ditangannya yang ia tahan sekuat tenaga. Rasa panik menguasai dirinya tapi dengan susah payah masih berusaha tetap tenang.

“Dingin..”

“Iya sebentar, ya..”

Tangannya dengan cepat mengambil ponsel dan mulai menelepon adiknya yang kebetulan berkuliah dijurusan kedokteran. Pasti ia akan mengerti situasi ini.

“Ya? Halo? Kenapa bang?”

“Dek, jadi tadikan gue abis keluar sama temen-temen. Gak minum sih cuma dua batang aja yang mentol, tapi udah makan kok-”

“Intinya apa? Langsung aja.”

“Tadi Debora cerita itu kan sama gue kayanya dia nangis kelamaan gitu, sekarang dia demam terus katanya dingin. Badannya gemeter terus bibirnya juga pucet.”

“Okeoke lo tenang dulu, kira-kira dari Kak Deb cerita terus nangis udah berapa lama?”

“Mungkin 2 jam yang lalu.”

Kemudian hening, “Dehidrasi doang ini. Sama gejala stress.”

“Lo apain sampe bisa stress gini?”

“Obatnya apaan aja ini?”

“Kasih paracetamol, minum air yang cukup, istirahat.”

“Oke makasih.”


“Ayo dimakan dulu.” Ucap Regan sambil mencondongkan sendok ke mulut Debora. Namun lagi dan lagi Debora menolak dengan alasan mulutnya tidak ada rasa.

Regan mengacak rambutnya frustasi dan menaruh mangkuk makanan Debora diatas nakas yang ada disebelahnya. Ia menunduk entah dengan alasan apa kemudian kembali mengangkat pandangannya dan meraih kaki Debora disana. Ia usap secara lembut dan penuh kasih sayang.

Benteng pertahanan itu runtuh untuk hari ini.

“Pasti aku ganggu waktu ngumpul kamu sama temen-temen kamu ya? Balik lagi aja gapapa, aku bisa sendiri kok. Cuma kecapean aja mungkin kemarin begadang hehe.” Gigi kelinci lucu itu tetap terpampang jelas meski bibirnya terlihat pucat

Regan menepuk dada bidangnya, dan berkata “Bagi-bagi sedihnya.”

Tatapan juga ucapannya berhasil membuat Debora terdiam untuk beberapa detik. Lamunannya dipatahkan dengan ucapan Regan lagi yang berbunyi, “Jangan sedih sendirian.”

“Boleh?”

Anggukan lemah dan senyuman tipis langsung membuat tangis Debora percah seketika, secara perlahan juga memeluk tubuh Regan. Hati Regan terasa tersayat pisau, entah memang hatinya sudah diciptakan untuk tidak boleh mendengar wanitanya menangis.

Untuk kedua kalinya, ia mendapatkan kehangatan ini lagi.

Yang pertama saat pernikahan mereka, hanya ada rasa kekesalan disana. Hari ini rasa itu berbeda. Hanya ada rasa nyaman juga kehangatan yang saling mereka salur kan.

“Temen aku nuduh aku hamil diluar nikah makanya aku nikah muda, Katanya butik aku juga bentar lagi bangkrut padahal aku juga lagi berusaha untuk gedein butik ku. Gak gampang lho mas.. Mereka juga bilang aku jual diri..”

Sang suami yang tadinya mendengarkan ikut tersulut emosinya.

“Ngga itu gak bener..”

“Ya aku tau, tapi aku tuh udah anggap mereka sahabat gitu lho... Kalo mereka pergi aku gak punya temen lagi..”

“Masih ada Qiya, ada Bunda, Ayah, Papah. Semuanya temen lo sekarang.”

“Kalo aku gagal lagi gimana?”

“Nanti gue bimbing sampe berhasil.”

Pintu kaca nan buram itu dibuka tanpa permisi atas panduan dari sekertaris yang ada didepan pintu tersebut. Harum menghangatkan langsung menyambut indra penciuman. Netra mata hitam pekat mereka bertemu dengan berbagai makna, sang lelaki menatap tidak suka sementara sang wanita menatapnya kesenangan.

“Ngapain?”

Wanitanya mengangkat kotak yang ia bawa, hanya satu. Karna dua lainnya sudah ia berikan pada Ayahnya dan Mertuanya tadi sebelum kakinya masuk kedalam ruangan dingin yang ia pijak sekarang.

Knock the door, please? This is my room.

Sorry, shoud I go?

Pria bermarga Gazham melepas kacamata yang membantu pengelihatannya. Merapihkan jas yang ia kenakan sambil menatap perempuan didepannya yang bergerak membuka kotak yang dia bawa tadi.

“Baju lo jelek.”

“Makasih, ini baju nya aku bikin sendiri.”

Diam-diam Regan menyembunyikan senyuman malu nya. Jujur saja, bajunya bagus, sangat bagus. Hanya rasa gengsi menguasai hatinya. Warna merah muda selalu menjadi ciri khas perempuan bernama Debora ini.

Ingin rasanya berucap, “Baju nya sangat cantik.” namun bibir enggan mengucapkan kata itu.

Make up lo jelek.”

“Ini kue nya aku ambil lagi aja ya? Istrinya dateng bukannya disambut malah diledekin, puji dikit dong! Ini aku make up lama lho biar gak malu masuk kesini. Biasanya ke ruangan papah mana pernah aku dandan gini. Tapi kamu malah jelek-jelekin aku.”

“Jangan nangis.”

“Berisik kamu ah!”

“Mana sini kue nya.”

“Kalo dijelekin juga aku pulang aja.”

Regan tidak menjawab karena mulutnya sudah penuh dengan kue. Dengan wajah datar tanpa memberikan eksperesi apapun bahkan sampai Debora tidak bisa menebak satu clue pun dari mimik wajahnya.

“Tadinya aku pengen kasih syarat kalo mau makan harus di kiss dulu. Tapi aku udah badmood jadi yaudah.”

“Sekarang juga boleh. Mau didahi atau dipipi? Atau di... bibir mungkin?”

“Udah diem abisin aja itu kue nya.”

“Pipi lo merah.”

“Ini blush on.”

“Blush on sampe kuping?”

“Di lantai 3 katanya, Resto bakmie.” Ujar Regan dengan wajah malasnya.

Setelah ayah membujuk Regan dengan susah payah, akhirnya Regan pun mau. Memang kalau belum bertengkar belum afdol. Pekerjaan yang ia tunda beberapa hari lalu ditinggalkan begitu saja.

“Tanya dimeja berapa.” Balas ayah.

Baru Regan akan menyanggah pernyataan ayah barusan, tatapan ayah sudah berhasil membuatnya terdiam.

“Meja 13 deket jendela.”

Tanpa basa-basi lagi, Ayah bangun dari duduknya dan meninggalkan Regan. Menuju tempat yang tadi Debora katakan, ia sebenarnya sudah tau dimana mereka duduk, hanya ingin melihat anaknya dan calon istrinya berinteraksi.

Regan mengikuti langkah ayahnya.

Seluruh orang dilorong mall itu menatap dua pria dengan aura mengintimidasi ini dengan tatapan kagum. Cara mereka jalan dan berbicara sangat menjelaskan bahwa mereka adalah orang yang berkelas.

Sepatu pantofel itu berdentum keras disetiap langkah, bersautan setiap dipijak. Tuxedo abu-abu merekapun tak kalah elegan nya. Juga kacamata yang Regan gunakan hanya sebagai aksesoris, menambahkan tampilan tampan diwajahnya.

“Sebentar doang kan, Yah?”

“Bawel.”

Tak terasa, ayah dan anak itu sudah sampai ditujuan awal mereka. Orang yang akan mereka temui juga sudah berada didepan mata.

“Apa kabar?” Tegur Yudha saat bersalaman dengan Theo. Padahal mereka betemu setiap hari.

Good as well. Ini anak gue, Debora.” Ucap Theo memperkenalkan anaknya.

Gadis cantik itu membungkuk sopan dan mengulurkan tangannya, Yudha dengan senang hati menjabat tangan itu ramah dan tersenyum tipis. “Ini anak saya, Regan.”

Uluran tangannya beralih kepada lelaki disamping Yudha. Senyuman gadis itu merekah seketika, “Hai! Aku Debora.”

“Regan.” Ketus Regan sambil menyambar tangan itu sekilas, hanya untuk menghormati ayahnya saja.

Menyadari keheningan yang ada, Theo berkata “Kalian duduk disana dulu, ya? Ada yang mau diomongin dulu sama Yudha.”

Mata datar Regan langsung berubah menjadi mata yang panik dan kebingungan. Meminta pertolongan dari ayahnya yang ia tau sendiri bahwa ini rencana sang ayah.

Debora juga ikut panik seketika, hanya bingung saat duduk berdua nanti apa yang akan ia bahas agar tidak canggung.

“O-oh gitu ya, Pah? Oke deh.” Debora mengambil makanannya dan menduduki meja yang tadi papahnya tunjuk.


Kedua calon pasangan ini hanya diam, Debora diam sambil memakan makananya dan Regan diam dengan pandangan yang berkeliaran entah kemana. Enggan menatap gadis didepannya.

“Kamu gak makan?” Kalimat pertama yang muncul diantara mereka.

Pandangan sang lelaki teralih, “Nggak.” Jawabnya sambil menatap mata lawan bicaranya datar.

Tatapan mereka bertemu dan terpaku untuk waktu yang cukup lama. Pria dengan marga Gazham itu menatap mata sang perempuan dengan pandangan yang datar, juga dagu yang terangkat.

“Mata kamu bagus. Mirip kaya ayah.”

“Udah tau.”

Debora mengangkat kelopak matanya, “Kata papah mata aku mirip sama mamah. Cantik kan?” Kemudian ia mendekatkan wajahnya tepat ke wajah Regan.

Setelah Regan sadari, memang matanya tak mirip dengan sang papah. Sang papah memiliki mata yang kecil juga sedikit sipit. Sementara sang anak memiliki mata yang besar dan bulat.

Tangan Regan mendorong lembut tubuh Debora agar memberikan jarak akan keduanya. Sekesal-kesalnya Regan pada gadis ini, ia selalu ingat bagaimana memperlakukan seorang wanita.

Kemudian Debora kembali memakan bakmie miliknya.

“Kamu ngga mau cobain? Enak banget tau.”

“Ngga.”

“Kamu sibuk ya? Pasti kerjaannya terganggu karena kamu kesini?” Tebaknya dengan wajah yang yakin bahwa tebakannya benar.

“Iya, makanya gue duluan.” Sulut Regan sambil bangun dari tempat duduknya.

“Oh iya, Congrats

Wajah murung itu tergantikan dengan wajah sumringah senang.

Hanya butuh 3 hari untuk Theo menangkap kriminal yang satu ini, kecepatannya melebihi mafia yang di film-film. Ketangkasannya juga melebihi polisi setempat.

Suatu hal mudah bagi Theo karena memang sering membenahi masalah semacam ini. Dan kenalannya untuk pakar masalah ini banyak yang ia kenal betul, Joshua.

Dulu, Yudha, Theo, dan Joshua adalah teman dekat. Seperti Hasbi, Regan dan teman lainnya. Mereka dulu satu geng motor. Namun bertobat semenjak sarjana dan memilih jalan hidup masing-masing, dan hampir semuanya sudah menikah kecuali Joshua yang fokus di bidang karir nya.

Tanpa diminta dan diharapkan, mereka benar-benar tidak putus komunikasi meskipun Joshua yang tinggal di London


Suara pantofel yang bersautan mewarnai suasana tegang gedung milik keluarga Gazham itu. Semua mata tertuju pada para pria yang masuk dengan aura menegangkan juga angkuh.

Satu pria menunduk dibelakang dengan tangan yang diborgol menyatu. Orang-orang disana merasa asing dengan wajah itu, namun satu yang ada dipikiran mereka yaitu, tampan.

Satu ruangan lift penuh dengan badan besar mereka. Suasana canggung semakin menyekik pria borgol ini.

“Gue gak jamin lo bakal pulang.” Sontak pria bernama Reza itu menatap sumber suara yaitu Theo.

Kekehan renyah keluar dari mulut pria jangkung disampingnya, “Kita tau betul Yudha, sih. Paling sensi kalau ada yang nyentuh keluarganya apalagi bininya.”

Theo menoleh sekilas dan menaikkan alisnya setuju.

Pintu lift pun terbuka dan mereka kembali berjalan menuju ruangan yang ditujukan awalnya. Tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi setiap langkahnya terasa begitu lama untuk Reza.

CEKLEK!

Ini dia.

Ini dia ajalnya.

Sang pemilik ruangan itu mengangkat padangan nya yang tadinya untuk laptop kini untuk ketiga pria tinggi yang masuk kedalam ruangannya tanpa izin.

“*Look what I got.**”

“Joshua!” Seru Yudha senang, lalu menghampiri sang pemilik nama dan menyambutnya gembira. Ia masih mengabaikan laki-laki dibelakangnya itu.

Tentu saja Joshua menerima sambutan hangat itu dengan pelukan gentle khas lelaki yang melepas rindu pada kawan lama.

Hello, Asshole.” Baru Yudha sapa dengan nada datar dan tatapan ramah yang menyeramkan. Senyuman miring mengerikannya juga tak hilang.

Theo menepuk rusuk Yudha dan berkata, “Control your self.

How, I can control my self to someone who make my wife getting depressed?” Tekannya perlahan menghampiri bajingan itu. Wajahnya memerah menahan emosi

Dimana Reza yang selalu membentak orang? Yang sering menyakiti orang? Disaat begini Reza yang itu menghilang begitu saja. Digantikan dengan Reza yang ketakutan dan merasa ciut seketika.

BUGH!

Satu tinjuan tak berhasil Yudha tahan, emosinya semakin meluap setiap melihat wajah manipulatif nya. Kebohongan yang tertera diwajahnya, juga mulut sampah yang mengeluarkan kata-kata tak sepantasnya.

Theo berusaha menahan Yudha namun Yudha tepis. Telunjuk kanan nya ia angkat untuk menunjuk pucuk hidung nya.

Dengan rahang yang digertakan, Yudha berucap “Lo, lebih baik membusuk diliang lahat lo!”

Setelah itu ia kembali memukul kencang pipi Reza, kini ujung bibir Reza mengeluarkan sedikit darah dan tulang pipi nya mulai membiru.

Ia memberi jeda beberapa saat untuk dirinya mengatur napas.

I hate this fucking face, should I break his face?” Tanya Yudha tanpa mengalihkan wajah tajamnya, tetapi tujuan lawan bicaranya adalah Theo dan Joshua.

Hold on, Nanti anak lo gak dapet bagian.” Sahut Joshua tenang.

Tatapan tajam itu mengendur, digantikan dengan senyuman yang semakin mengerikan. Wajah yang tadinya berjarak hanya beberapa senti kini ia jauhkan.

Ia lipat tangan kekar itu didepan dadanya, “My kids wouldn't touch you. Dirty.

CEKLEK!

Datang lah segerombolan pria datang, dengan satu perempuan dibelakang yang menyusul. Itu anak Yudha.

Mereka masuk kedalam ruangan dalam keadaan bingung, masih mencerna semua yang terjadi dan apa yang mereka lihat tanpa bertanya.

“Reza?” Tanya Qiya secara spontan, orang yang ia cari selama 3 hari ini ternyata ada disini. Bersama ayahnya.

Hello, sweetie. Come here!” Sapa Joshua ramah pada Qiya. Ia merentangkan satu tangannya untuk menyambut kedatangan perempuan satu-satunya diruangan ini.

“E-eh? Iya halo om.” Jawab Qiya dengan canggung, karena tak terlalu dekat dengan Joshua. Berbeda dengan dirinya pada Theo.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Yudha lepas kendali. Bahkan Reza sampai tersungkur di lantai hampir tak sadarkan diri. Untung saja Regan tahan kalau tidak mungkin pria itu akan meninggal ditempat.

“Ayah udah, yah. Udaah..” Ucap Regan sambil menepuk-nepuk pundak sang ayah tercinta.

“Sekarang lo minta maaf, ke semua orang yang udah lo sakitin! Anak gue, juga korban-korban lainnya!”

Yudha tak pernah selepas ini didepan anak-anaknya. Anaknya selalu jadi rem dirinya untuk menahan diri agar tak lepas kendali

Reza dengan pandangan setengah jelas, berkata “Maaf.”

Plak!

“MINTA MAAF YANG BENER!”

Diluar dugaan, Reza merangkak meraih kaki Regan dan memeluk kaki itu. Sambil menangis ia berkata,

“Gue minta maaf, kak. Salam buat semua.”

Setelah itu ia tak sadarkan diri.

This is happy ending, right?

Hanya butuh 3 hari untuk Theo menangkap kriminal yang satu ini, kecepatannya melebihi mafia yang di film-film. Ketangkasannya juga melebihi polisi setempat.

Suatu hal mudah bagi Theo karena memang sering membenahi masalah semacam ini. Dan kenalannya untuk pakar masalah ini banyak yang ia kenal betul, Joshua.

Dulu, Yudha, Theo, dan Joshua adalah teman dekat. Seperti Hasbi, Regan dan teman lainnya. Mereka dulu satu geng motor. Namun bertobat semenjak sarjana dan memilih jalan hidup masing-masing, dan hampir semuanya sudah menikah kecuali Joshua yang fokus di bidang karir nya.

Tanpa diminta dan diharapkan, mereka benar-benar tidak putus komunikasi meskipun Joshua yang tinggal di London


Suara pantofel yang bersautan mewarnai suasana tegang gedung milik keluarga Gazham itu. Semua mata tertuju pada para pria yang masuk dengan aura menegangkan juga angkuh.

Satu pria menunduk dibelakang dengan tangan yang diborgol menyatu. Orang-orang disana merasa asing dengan wajah itu, namun satu yang ada dipikiran mereka yaitu, tampan.

Satu ruangan lift penuh dengan badan besar mereka. Suasana canggung semakin menyekik pria borgol ini.

“Gue gak jamin lo bakal pulang.” Sontak pria bernama Reza itu menatap sumber suara yaitu Theo.

Kekehan renyah keluar dari mulut pria jangkung disampingnya, “Kita tau betul Yudha, sih. Paling sensi kalau ada yang nyentuh keluarganya apalagi bininya.”

Theo menoleh sekilas dan menaikkan alisnya setuju.

Pintu lift pun terbuka dan mereka kembali berjalan menuju ruangan yang ditujukan awalnya. Tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi setiap langkahnya terasa begitu lama untuk Reza.

CEKLEK!

Ini dia.

Ini dia ajalnya.

Sang pemilik ruangan itu mengangkat padangan nya yang tadinya untuk laptop kini untuk ketiga pria tinggi yang masuk kedalam ruangannya tanpa izin.

“*Look what I got.**”

“Joshua!” Seru Yudha senang, lalu menghampiri sang pemilik nama dan menyambutnya gembira. Ia masih mengabaikan laki-laki dibelakangnya itu.

Tentu saja Joshua menerima sambutan hangat itu dengan pelukan gentle khas lelaki yang melepas rindu pada kawan lama.

Hello, Asshole.” Baru Yudha sapa dengan nada datar dan tatapan ramah yang menyeramkan. Senyuman miring mengerikannya juga tak hilang.

Theo menepuk rusuk Yudha dan berkata, “Control your self.

How, I can control my self to someone who make my wife getting depressed?” Tekannya perlahan menghampiri bajingan itu. Wajahnya memerah menahan emosi

Dimana Reza yang selalu membentak orang? Yang sering menyakiti orang? Disaat begini Reza yang itu menghilang begitu saja. Digantikan dengan Reza yang ketakutan dan merasa ciut seketika.

BUGH!

Satu tinjuan tak berhasil Yudha tahan, emosinya semakin meluap setiap melihat wajah manipulatif nya. Kebohongan yang tertera diwajahnya, juga mulut sampah yang mengeluarkan kata-kata tak sepantasnya.

Theo berusaha menahan Yudha namun Yudha tepis. Telunjuk kanan nya ia angkat untuk menunjuk pucuk hidung nya.

Dengan rahang yang digertakan, Yudha berucap “Lo, lebih baik membusuk diliang lahat lo!”

Setelah itu ia kembali memukul kencang pipi Reza, kini ujung bibir Reza mengeluarkan sedikit darah dan tulang pipi nya mulai membiru.

Ia memberi jeda beberapa saat untuk dirinya mengatur napas.

I hate this fucking face, should I break his face?” Tanya Yudha tanpa mengalihkan wajah tajamnya, tetapi tujuan lawan bicaranya adalah Theo dan Joshua.

Hold on, Nanti anak lo gak dapet bagian.” Sahut Joshua tenang.

Tatapan tajam itu mengendur, digantikan dengan senyuman yang semakin mengerikan. Wajah yang tadinya berjarak hanya beberapa senti kini ia jauhkan.

Ia lipat tangan kekar itu didepan dadanya, “My kids wouldn't touch you. Dirty.

CEKLEK!

Datang lah segerombolan pria datang, dengan satu perempuan dibelakang yang menyusul. Itu anak Yudha.

Mereka masuk kedalam ruangan dalam keadaan bingung, masih mencerna semua yang terjadi dan apa yang mereka lihat tanpa bertanya.

“Reza?” Tanya Qiya secara spontan, orang yang ia cari selama 3 hari ini ternyata ada disini. Bersama ayahnya.

Hello, sweetie. Come here!” Sapa Joshua ramah pada Qiya. Ia merentangkan satu tangannya untuk menyambut kedatangan perempuan satu-satunya diruangan ini.

“E-eh? Iya halo om.” Jawab Qiya dengan canggung, karena tak terlalu dekat dengan Joshua. Berbeda dengan dirinya pada Theo.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Yudha lepas kendali. Bahkan Reza sampai tersungkur di lantai hampir tak sadarkan diri. Untung saja Regan tahan kalau tidak mungkin pria itu akan meninggal ditempat.

“Ayah udah, yah. Udaah..” Ucap Regan sambil menepuk-nepuk pundak sang ayah tercinta.

“Sekarang lo minta maaf, ke semua orang yang udah lo sakitin! Anak gue, juga korban-korban lainnya!”

Yudha tak pernah selepas ini didepan anak-anaknya. Anaknya selalu jadi rem dirinya untuk menahan diri agar tak lepas kendali

Reza dengan pandangan setengah jelas, berkata “Maaf.”

Plak!

*MINTA MAAF YANG BENER!”

Diluar dugaan, Reza merangkak meraih kaki Regan dan memeluk kaki itu. Sambil menangis ia berkata,

“Gue minta maaf, kak. Salam buat semua.”

Setelah itu ia tak sadarkan diri.

This is happy ending, right?

Hanya butuh 3 hari untuk Theo menangkap kriminal yang satu ini, kecepatannya melebihi mafia yang di film-film. Ketangkasannya juga melebihi polisi setempat.

Suatu hal mudah bagi Theo karena memang sering membenahi masalah semacam ini. Dan kenalannya untuk pakar masalah ini banyak yang ia kenal betul, Joshua.

Dulu, Yudha, Theo, dan Joshua adalah teman dekat. Seperti Hasbi, Regan dan teman lainnya. Mereka dulu satu geng motor. Namun bertobat semenjak sarjana dan memilih jalan hidup masing-masing, dan hampir semuanya sudah menikah kecuali Joshua yang fokus di bidang karir nya.

Tanpa diminta dan diharapkan, mereka benar-benar tidak putus komunikasi meskipun Joshua yang tinggal di London


Suara pantofel yang bersautan mewarnai suasana tegang gedung milik keluarga Gazham itu. Semua mata tertuju pada para pria yang masuk dengan aura menegangkan juga angkuh.

Satu pria menunduk dibelakang dengan tangan yang diborgol menyatu. Orang-orang disana merasa asing dengan wajah itu, namun satu yang ada dipikiran mereka yaitu, tampan.

Satu ruangan lift penuh dengan badan besar mereka. Suasana canggung semakin menyekik pria borgol ini.

“Gue gak jamin lo bakal pulang.” Sontak pria bernama Reza itu menatap sumber suara yaitu Theo.

Kekehan renyah keluar dari mulut pria jangkung disampingnya, “Kita tau betul Yudha, sih. Paling sensi kalau ada yang nyentuh keluarganya apalagi bininya.”

Theo menoleh sekilas dan menaikkan alisnya setuju.

Pintu lift pun terbuka dan mereka kembali berjalan menuju ruangan yang ditujukan awalnya. Tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi setiap langkahnya terasa begitu lama untuk Reza.

CEKLEK!

Ini dia.

Ini dia ajalnya.

Sang pemilik ruangan itu mengangkat padangan nya yang tadinya untuk laptop kini untuk ketiga pria tinggi yang masuk kedalam ruangannya tanpa izin.

“*Look what I got.**”

“Joshua!” Seru Yudha senang, lalu menghampiri sang pemilik nama dan menyambutnya gembira. Ia masih mengabaikan laki-laki dibelakangnya itu.

Tentu saja Joshua menerima sambutan hangat itu dengan pelukan gentle khas lelaki yang melepas rindu pada kawan lama.

Hello, Asshole.” Baru Yudha sapa dengan nada datar dan tatapan ramah yang menyeramkan. Senyuman miring mengerikannya juga tak hilang.

Theo menepuk rusuk Yudha dan berkata, “Control your self.

How, I can control my self to someone who make my wife getting depressed?” Tekannya perlahan menghampiri bajingan itu. Wajahnya memerah menahan emosi

Dimana Reza yang selalu membentak orang? Yang sering menyakiti orang? Disaat begini Reza yang itu menghilang begitu saja. Digantikan dengan Reza yang ketakutan dan merasa ciut seketika.

BUGH!

Satu tinjuan tak berhasil Yudha tahan, emosinya semakin meluap setiap melihat wajah manipulatif nya. Kebohongan yang tertera diwajahnya, juga mulut sampah yang mengeluarkan kata-kata tak sepantasnya.

Theo berusaha menahan Yudha namun Yudha tepis. Telunjuk kanan nya ia angkat untuk menunjuk pucuk hidung nya.

Dengan rahang yang digertakan, Yudha berucap “Lo, lebih baik membusuk diliang lahat lo!”

Setelah itu ia kembali memukul kencang pipi Reza, kini ujung bibir Reza mengeluarkan sedikit darah dan tulang pipi nya mulai membiru.

Ia memberi jeda beberapa saat untuk dirinya mengatur napas.

I hate this fucking face, should I break his face?” Tanya Yudha tanpa mengalihkan wajah tajamnya, tetapi tujuan lawan bicaranya adalah Theo dan Joshua.

Hold on, Nanti anak lo gak dapet bagian.” Sahut Joshua tenang.

Tatapan tajam itu mengendur, digantikan dengan senyuman yang semakin mengerikan. Wajah yang tadinya berjarak hanya beberapa senti kini ia jauhkan.

Ia lipat tangan kekar itu didepan dadanya, “My kids wouldn't touch you. Dirty.

CEKLEK!

Datang lah segerombolan pria datang, dengan satu perempuan dibelakang yang menyusul. Itu anak Yudha.

Mereka masuk kedalam ruangan dalam keadaan bingung, masih mencerna semua yang terjadi dan apa yang mereka lihat tanpa bertanya.

“Reza?” Tanya Qiya secara spontan, orang yang ia cari selama 3 hari ini ternyata ada disini. Bersama ayahnya.

Hello, sweetie. Come here!” Sapa Joshua ramah pada Qiya. Ia merentangkan satu tangannya untuk menyambut kedatangan perempuan satu-satunya diruangan ini.

“E-eh? Iya halo om.” Jawab Qiya dengan canggung, karena tak terlalu dekat dengan Joshua. Berbeda dengan dirinya pada Theo.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Yudha lepas kendali. Bahkan Reza sampai tersungkur di lantai hampir tak sadarkan diri. Untung saja Regan tahan kalau tidak mungkin pria itu akan meninggal ditempat.

“Ayah udah, yah. Udaah..” Ucap Regan sambil menepuk-nepuk pundak sang ayah tercinta.

“Sekarang lo minta maaf, ke semua orang yang udah lo sakitin! Anak gue, juga korban-korban lainnya!”

Yudha tak pernah selepas ini didepan anak-anaknya. Anaknya selalu jadi rem dirinya untuk menahan diri agar tak lepas kendali

Reza dengan pandangan setengah jelas, berkata “Maaf.”

Plak!”

*MINTA MAAF YANG BENER!”

Diluar dugaan, Reza merangkak meraih kaki Regan dan memeluk kaki itu. Sambil menangis ia berkata,

“Gue minta maaf, kak. Salam buat semua.”

Setelah itu ia tak sadarkan diri.

This is happy ending, right?

“Siapa sih temen lo? Kenapa juga harus ditungguin disini, lo liat jam tuh! Udah jam segini, lo diboongin kali?”

Sudah kurang lebih 3 jam mereka menunggu diruang tengah. Dilan dan Hasbi sudah tumbang dan tertidur disofa. Memang sudah terlalu akrab.

“Bisa berenti ngomel gak sih? Ini tuh penting banget, lo jangan sampe tidur!”

Regan mendelik matanya dan melanjutkan memakan telur gulung yang ia beli tadi. Dari awal memiliki niat untuk memakan telur gulung itu sambil mengerjakan skripsinya.

“Itu bukan sih?” Sahut Johan dari sofa, melihat motor yang masuk ke pekarangan rumah.

Dahinya berkerut heran, “Bi, Bi, Bi. Bangun.” Ucapnya sambil mengguncang tubuh Hasbi agar terbangun dan membantunya menebak siapa yang datang.

“Itu Gilang?” Sahut Dilan yang bangun lebih dulu.

“Nah, gue pikir juga gitu. Tapi Gilang kan?”

“Ya ketua ægar goblok.”

“Lah beneran anjrit itu Gilang!” Seru Hasbi.


Sambil memberi kekuatan dengan mengusap punggung Alfie, Gilang berusaha menceritakan cerita yang ia tau. Sementara Alfie sibuk menangis tertahan.

“Untung tadi gue ada niatan kesini, jadi ketemu Alfie dijalan dan langsung nonjok Reza.”

“Lo diem deh, gue mau denger dari orangnya langsung.” Potong Hasbi tak sabaran

Sang lawan bicara mendelik matanya kemudian menjawab, “Lo kenapa sih benci banget sama gue? Kita ada dipihak yang sama kok.” Ucapnya merasa dicela sedari tadi.

Hasbi meledek ucapan Gilang barusan dengan mencibir, “Eh! Jangan lo pikir gue gampang percaya ya sama ucapan manis lo! Lo kalo jadi gue juga pasti gak bakal percaya kan?” Jawab Hasbi dengan wajah super julidnya.

Dilan menyenggol sikut Hasbi untuk mengisyaratkan diam. Ia ingin menyimak omongan lawan bicaranya, entah jujur atau bohong. Pasti akan ada satu informasi yang ia dapatkan.

“Nih minum, udah tenang ya, Fie.” Tangan Qiya sambil memberikan segelas air hangat untuk Alfie menenangkan dirinya. Kemudian ia duduk disebelah Alfie dan ikut mengusap pungung lelaki tersebut.

Dengan rakus Alfie menghabiskan air itu dan memegang tangan Qiya begitu eratnya, “Kamu janji bakal tolongin aku kan, Qiya? Kamu udah janji kan?” Nada bicaranya seperti panik, suaranya juga bergetar ketakutan

Qiya membalas genggaman hangat itu, “Kita semua bakal bantu lo, lo tenang aja.”

“Selama lo kasih tau kita lengkapnya gimana, kita bisa dengan mudah bantu lo. Jangan takut, kita beda dari dia.” Sahut Johan yang menurut Alfie itu sangat menenangkan. Dadanya menghangat merasa dirangkul secara tidak langsung.

Gilang dan Qiya menyingkirkan tangannya ketika merasa Alfie lebih tenang. Terlihat seperti mengatur napasnya untuk bercerita yang menjadi trauma besar baginya. Namun Alfie yakin, kesempatan hari ini tidak akan datang lagi.

“Oke-oke, take a deep breath. We are here for you.” Lontar Gilang menenangkan.


Jam di dinding kamar Qiya sudah menunjukan pukul dua malam, itu artinya sudah 4 jam Alfie bercerita panjang lebar. Mulai dari awal mereka bertemu, bagaimana perlakuan Reza padanya, bagaimana Reza membuat rencana untuk korban-korban selanjutnya.

Entah sudah berapa lembar tisu yang ia habiskan untuk mengelap air mata yang jatuh. Alfie orang yang sensitif, katakan lah baperan. Hatinya sama sekali tidak bisa tersakiti sedikitpun.

“Kaya aneh gitu kalau makan berdua terus tiba-tiba bau daging busuk.”

Secara bersamaan mereka menggertakan gigi dan menutup mata ngilu. Tak pernah terbayang rasanya menjadi Alfie. Lelaki lugu yang harus hidup dengan kriminal 5 tahun lamanya, dengan iming-iming akan bahagia bersama.

“Setiap aku keluar dari apart, kecuali sekolah. Dia selalu nyiksa aku dengan banyak mainannya. Ada yang pakai ikat pinggang, pakai pecut, atau aku dibiarkan di balkon semalaman.”

“Kalau lo ngerasa gak kuat, cukup sampai situ aja. Kita semua paham.” Potong Johan mendengar suara Alfie yang perlahan seperti ringisan.

“Ngga-ngga, biarin aku untuk pertama kalinya bisa cerita sama orang. Beban yang aku tahan sendirian, biarin itu jatuh sebentar.” Tangisnya semakin pecah.

“Semenjak kejadian kak Regan kecelakaan, sama sekali aku gak boleh keluar dari apart bahkan untuk beli makan. Nerima makanpun gak boleh.” Lanjutnya.

“Tapi kak Gilang selalu ngasih makanan diem-diem, jadi gak kelaparan.” Sang pemilik nama mengangguk mengiyakan ucapan karena benar adanya.

Sorry motong, tapi kenapa lo baik sama Alfie sementara lo tau cowoknya ngelakuin hal yang salah?”

Awalnya Gilang terdiam mendapat pertanyaan yang mendadak itu, “Gue kenal Alfie bro, gak mungkin Alfie dukung dia buat ngelakuin gini dan gue tau kalo Alfie gak bisa lakuin apa-apa. Dan kenapa gue backing Reza? Alfie yang minta.” Putusnya.

Tubuh Alfie semakin merunduk malu.

Why tho??”

I'm sorry for falling in love with him.

Secara kompak lagi, semuanya mendesah pasrah.

Benar-benar jawaban yang tak pernah terduga diotak mereka. Falling in love? That's a bullshit.

Gue punya rencana

Biasanya ide lo agak gila, tapi gue bakal lakuin apapun hari ini.

Aku Reza, manusia yang selalu menyalahkan keadaan disetiap kejanggalan cerita yang ku buat sendiri. Menyalahkan Tuhan karena kepergian papah, mamah dan Rio untuk kembali kepangkuan-Nya meninggalkanku dengan luka itu, sendirian.

Sejak 5 tahun lalu aku harus bertahan hidup dengan penyakit mental yang aku punya. Bipolar serta DID. Awal mengetahuinya aku sangat malu, sangat. Aku harus mengonsumsi beberapa pil obat, jika tidak aku bisa menjadi tidak terkontrol dan kembali menjadi gila.

Aku suka sesuatu yang berbau kekerasan, mataku terasa puas kalau melihat ringisan kesakitan dengan darah yang keluar entah dari mana. Rasanya seperti terpenuhi.

Selalu rutin tenggorokanku dilalui obat-obatan yang tak sedikit jumlahnya. Yang jika aku lebihkan satu pil saja, bisa berakhir hidupku detik itu juga.

Lama kelamaan, aku merasa lelah dan malu karena obat tersebut. Secara nekat, aku memaksa untuk berhenti dan tidak lagi datang ke psikiater yang mengurusku. Aku harus menahan pening kepala yang luar biasa menyerang secara tiba-tiba.

Tidak ada yang pernah tau tentang masalah kejiwaanku ini, bahkan Alfie saja tidak tau. Tak boleh tau.

Wajah yang selalu cantik dimata ku, Alfie. Orang yang berhasil menarik diri ini keluar dari lubang terdalam dalam hidup ku.

Datang nya orang itu kedalam hidupku, semakin memacu diriku untuk berubah menjadi sempurna. Karena ku yakin, Alfie tidak suka orang yang sakit seperti ku.


Author's pov.

Bisingnya malam dengan segelas wine adalah cara terbaik untuk pria jangkung ini menenangkan dirinya. Jauh dari orang-orang sekitarnya, dan terhanyut dengan pikirannya.

Belum ada terhitung setengah hari dirinya pulang dari rumah sakit, langsung dihajar dengan ajakan untuk berpesta karena dalam rangka selebrasi teman. Pacar temannya kini tengah mengandung.

Suatu hal yang biasa didunia mereka, bahkan Alfie dan Reza pun tak jarang melakukkannya.

Bokongnya yang sudah berdiam dikursi bar selama kurang lebih 30 menit kini mulai terasa keram, akhirnya Reza memilih untuk mencari udara segar diluar. Barangkali lebih bisa membuat dirinya terlarut dalam diamnya

Musik yang sangat keras. Namun yang Reza tangkap hanya sebuah dengungan yang menganggu telinga, banyak suara teriakan serta obrolan tak penting lainnya. Yang bisa Reza tangkap hanya ocehan tak bernada.

Langkahnya terasa begitu berat, dunia terasa berputar dikepala. Apakah hanya dirinya yang merasakan ini semua?

Segelas minuman keras membakar tenggorokan itu masih ia genggam begitu eratnya. Ia ingin membawa gelas itu dan meminumnya diluar nanti.

Sampailah Reza didepan.

Pohon dengan beberapa lampu disana, ia yakin bahwa itu adalah pintu belakang dari club ini. Ada banyak orang, namun banyaknya dapat dihitung dengan hanya sepuluh jari

Dengan diri yang masih mabuk, mata tajam Reza menangkap sesosok pria yang berjalan panik melewati club itu. Kaos kuning juga celana selutut semakin memperkuat insting Reza bahwa ia adalah

Alfie.

“Alfie?” Gumam Reza ragu.

Sang pemilik namapun terlihat panik dan ingin segera lari dari sana. Kecepatan kakinya kalah dengan kegesitan tangan Reza.

Mata yang sayu dan mata yang berbinar panik itupun saling tatap untuk beberapa detik lamanya. Saling bertukar kagum dimasing-masing mata. Atau mungkin hanya Reza saja yang menatap begitu.

Karena menurut Alfie, ia sedang menatap monster yang bisa saja membunuh nya saat ini juga.

“Lepasin, Ja.” Lirihnya dengan suara bergetar ketakutan.

Tatapan kantuk itu tak berpaling sedikitpun dari pria didepannya.

Waktu menunjukkan tengah malam. Cengkramannya bak pangeran yang takut kehilangan Cinderella nya. Tak ingin mengharapkan akan ada sepatu kaca yang tertinggal.

“Jangan tinggalin aku.”

Tidak, Ia tak boleh tumbang hanya dengan 3 patah kata sampah itu. Kata yang selalu diucapkannya untuk meluluhkan hati pria manis yang selalu diklaim miliknya

“Kamu nyakitin aku, lepasin..”

Satu tetes air matanya jatuh tanpa perintah. Tangan kirinya masih berusaha melepas genggaman tangan Reza yang menyakiti dirinya. Bukan tangannya yang sakit, hatinya yang merasa dilukai secara tidak langsung.

“Kamu mabuk, lepasin aku.”

“Biasanya kamu yang bawa aku pulang, sekarang kamu mau kemana? Gausah pergi.”

“Kamu bau alkohol, jauh-jauh dari aku.” Perintah Alfie.

Tiba-tiba tangan yang mencengkram Alfie itu dilepas begitu saja. Tatapan tajam itu berubah menjadi nanar, ingin dikasihani.

“Ayo pulang, disini dingin. Biasanya kamu minta peluk, kok sekarang ngga? Urusan kamu penting banget ya?”

Ucapnya sambil merentangkan tangan kanannya, mempersilahkan sang kekasih untuk masuk kedalam dekapan hangat milik yang selalu menjadi kesukaannya.

Lawan bicara itu diam. Mengalihkan pandangannya sebelum akhirnya ia melanjutkan perkataannya, untuk pertama kalinya.

“Kita selesai sampai disini, Ja.”

Rasanya seperti disambar petir ratusan kali. Secara tiba-tiba? Tanpa memberi alasan?

“Aku bisa bahagia tanpa kamu. Aku bisa.”

“Ngga mungkin, lo gak akan pernah bahagia selain sama gue!” Bentaknya melantur

Kakinya otomatis maju menghampiri Alfie, ingin meraih pipi lembut itu. Namun Alfie dengan cepat menghindar.

“Siapa yang bikin lo jadi berani gini? Ada yang nyuci otak lo? Gak biasanya lo berani jawab omongan gue, tapi sekarang? Udah merasa luar biasa ya?”

“Aku lebih dari apa yang kamu bilang,

AKU, LEBIH, DARI, APA, YANG KAMU BILANG!” Teriaknya.

Senyuman seram terukir dibibir tipis milik Reza. Ia kembali menenggak wine cantik itu dan membuang gelasnya entah kemana.

Dua langkah lagi ia maju mendekati kekasih yang bicara barusan, ia tau bahwa Alfie tidak bisa menahan tangis jika berbicara dengannya apalagi dengan nada setinggi tadi.

Don't lie. Gausah nangis. GAUSAH NANGIS KALO LO LEBIH DARI YANG GUE BILANG—”

BUGH!

Makasih, kak. Udah gue bilang jangan nengok kebelakang.