matematiqa

“Kece juga lo bikin ginian.” Puji gue pas ngeliat hasil prakarya punya Januar.

Gue akuin kalo tangan Januar itu bener-bener jago banget bikin yang cantik-cantik. Kaya pas pensi kemarin, dia yang bagian ngehias dekorasinya gitu. Dan itu bagus banget jadinya.

Udah dua jam gue sama Januar ngerjain tugas gue. Januar bantuin gue banget hari ini. Mungkin dia tau kali ya tangan gue bukan tangan cewek yang jago bikin ginian.

Thank U.” Jawab nya singkat banget.

Sambil masih mengagumi keindahan karya gue dengan tangan yang berdecak pinggang. Gue mikirin topik pembicaraan yang bisa gue buka buat ngobrol sama Januar.

Karena jujur aja, udah berjam-jam kami berdua tapi topiknga itu itu aja dan dia juga emang jawabnya cuma “Iya, ngga, ohh, hehe.” gue jadi gondok sendiri

Tapi gue tuh gak mau langsung pulang gitu aja, nanti kesannya kaya gue datengin dia pas butuh doang.

“Lo emang suka ngerjain yang begini ya, Ar? Keliatannya kaya terlatih banget.” Ucap gue tersirat pujian.

Dia yang lagi ngetik di handphone nya, langsung dongak buat natap gue dan menjawab, “Bokap gue suka kaya ginian, katanya biar ada yang nurunin.”

Gue cuma bisa ngangguk paham, jadi biar turun temurun gitu ya.

Chattingan sama siapa tuh? Cewek lo ya?” Sumpah ini gue cuma bercanda, cuma mau nyampein yang Bang Regan tanyain. Tapi dia kaya gak nyaman sama pertanyaan gue barusan.

“Oke sorry natap nya biasa aja dong.”


Jam didinding kostan Januar udah nunjukin jam 5. Tapi rasanya gue gak mau pulang dari sana. Mungkin karena gue jarang keluar rumah kali ya, jadi kaya gak mau kesempatan ini berakhir.

Kebetulan Kost Januar ini lantai dua, jadi ada balkonnya gitu khusus yang dikost atas. Dari beberapa menit lalu, Januar ngajak gue kesini buat chilling gitu ceritanya.

Januar duduk disebelah gue sambil minum kopi sasetan yang dia seduh tadi.

“Gue berasa anak indie kalo menikmati senja sambil ngopi gini.” Celetuk gue sebelum nenggak kopi hitam.

“Nikmatin senja tuh sama orang yang disayang. Yang bukan cuma bayang-bayang.”

Gue natap dia sinis, tapi kaya mau ketawa juga. Kalo gue baca novel terus ada kata-kata bagus, gue suka banget. Kalo pas dengernya, jadi aneh banget

“Lo beneran anak indie.”

Dia ketawa kecil.

SINTING. Dia ganteng banget pas ketawa gitu. Bikin gue makin sayang aja, please tahan gue biar gak makin sayang sama dia.

“Lagian orang yang gue sayang kayanya punya pacar deh, ngejauh mulu dari gue.” Sok-sokan ngalihin salting, padahal ini hati udah berantakan.

Sambil nyeruput kopinya, dia noleh ke gue. “Siapa?”

“Ada.. Orang.”

Dia ngangguk.

YAELAH PEKA KEK, itu lo.

“Qiya... Gue mau ngomong deh sama lo.”

“Serius banget, tinggal ngomong aja sih.”

“Mau jadi pac—”

“Sorry kepotong, bokap gue telpon.”

Bangsat. Gagal lagi.

  • Perlu ditekankan bahwa ini semua hanya fiksi semata, sama sekali tidak ad ahubunganya dengan dunia nyata.
  • AU ini murni ide saya. Jika ada persamaan tempat, nama pemeran, serta suasana waktu, itu benar-benar ketidaksengajaan.
  • Banyak tertera kata-kata kasar. Jika kurang mengenakan silahkan diberitahu agar tidak terulang lagi kedepannya.
  • My story, My rules.
  • Jangan berharap banyak dengan akun ini.

  1. Abinaya Bramantio.

  2. Marvel Dhananjaya

  3. Rezvan Kavindra

  4. Keanu Pamungkas

  5. Arabelle Zakeisha

  6. Jeffran Bratadikara

Butuh waktu sekitar 30 menit, untuk diriku menenangkan diri. Mengatur napas dan detak jantung yang berdetak seolah-olah akan keluar sangking cepatnya.

Kak Gilang sudah pergi sejak 45 menit yang lalu ku rasa, aku terlalu sulit untuk mengingat disaat panik seperti ini. Otak ku menolak setiap memori yang lewat.

Dari tempat aku duduk, aku bisa melihat jelas bagaimana Reza terbaring lemas diranjang rawat inap dengan infus yang menancap. Juga pergelangan tangan yang dibungkus perban dengan obat merah didalamnya.

Aku masih enggan untuk masuk dan menjenguknya. Entah. Rasanya seperti... Tidak mau saja.

“Lo bisa bahagia, Fie. Walau gak sama Reza.”

Itu adalah kata yang terus menerus memutar di otak ku. Kak Gilang mengucapkannya sambil memegang pundak ku dan menatap mataku dalam-dalam, sampai aku bisa membaca ada perasaan yakin, pasrah, juga kecewa dimatanya.

Aku sudah 9 Tahun bersama Reza. Dan 4 tahun menjalin hubungan terlarang kami. Jangan salahkan aku, Ku mohon.

Sudah cukup ku mendengar celaan dari banyak orang karena menjalin hubungan dengan orang yang berkelamin sama dengan ku. Awalnya memang sangat memalukan, sangat.

Tapi Reza meyakinkanku, kalau kami bisa bahagia dengan cara kita. Kita akan pindah ke ujung dunia, jika itu yang membuat alasan kita bahagia. Begitu katanya.

Tahun pertama berjalan sangat mulus, Reza memperlakukan ku layaknya seorang ratu. Membuat ku benar-benar merasakan bahwa hanya aku lah, satu-satunya seseorang yang ada dihatinya.

Tahun kedua mulai terjadi hal-hal yang aneh menurut ku, tapi aku tidak terlalu menyadarinya. Ia mulai berani membentak ku, serta berbicara lantang dengan ku saat didepan banyak orang. Namun aku tak membawanya pusing, mungkin memang begitu lah Reza.

Dan ditahun ketiga lah, Reza mulai memainkan tangannya. Awalnya ia memukulku saat aku benar-benar melakukan kesalahan, sampai aku berpikir bahwa itu adalah suatu hal yang wajar karena memang aku yang salah.

Dari tahun keempat sampai sekarang. Ia lepas kendali seperti semalam.

Ingin sekali aku berlari dan berteriak kepada polisi, “ADA SESEORANG YANG HAMPIR MEMBUNUH KU!”

Tidak bisa.

Tiap kali Reza memukulku baik menggunakan ikat pinggang, atau tangannya. Ia selalu berkata, “Kalau sampai ada yang tau soal ini, kita akan mati berdua. Disini.” Hanya itu dan itu yang selalu ia ulang.

Setiap mendengar itu aku selalu merinding dan bergetar ketakutan.

Anehnya, keesokan harinya ia bertingkah seolah tak terjadi apa-apa semalam. Padahal aku hampir mati ditangannya, tapi dia.. tidak pernah merasa bersalah?

Kalian boleh mengatakan bahwa aku aneh. Setelah kalian mengetahui bahwa aku sangat-amat jatuh cinta dengan Reza. Setelah apa yang ia lakukan padaku, perkataan nya untuk ku, perasaan cinta ini tak pernah berubah sedikit pun.

Aku minta maaf karena mencintanya.

“DASAR TOLOL! UDAH GAY DIKASARIN PULA!” Perkataan yang sudah terlalu biasa ditelingaku, hanya diawal saja terasa begitu panas dan perih.

Reza selalu bilang, “Lo punya gue. Apapun yang mereka bilang, Lo tetep punya gue.” Tekannya terus menerus, sampai aku pun menurut.

Aku tau, apa yang ia lakukan pada Qiya, pada Regan, pada musuh-musuhnya yang lain. Berapa nyawa yang melayang begitu saja ditangan Reza. Tak jarang Reza membawa potongan kaki ke apartemen kami.

“Tutup mulut lo, atau lo target selanjutnya.”

Sungguh aneh sampai aku terbiasa dengan bau darah manusia yang membusuk.

Setiap kata-kata yang Reza lontarkan selalu berhasil membuatku bungkam sambil gemetar hebat. Aku selalu takut dengannya, apapun yang ia lakukan.

Sudah tak terhitung berapa tulang ku yang patah karena benturan yang Reza lakukan untuk ku. Aku selalu datang kerumah sakit untuk periksa, tanpa diketahui Reza tentunya.

Membahas tentang Qiya, tiba-tiba aku memikirkan tawarannya beberapa hari lalu.


Banyak waktu yang ku makan untuk melamun didepan pintu rawat inap itu. Hanya berdiri diam menatap Reza yang terbaring lemah disana.

Maaf, aku senang melihatnya disana.

Rasanya aku bisa melompat tinggi-tinggi tanpa perlu takut akan dipecutnya.

Aku mulai memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut. Melangkahkan kaki kanan ku perlahan-lahan agar ia tak terbangun dari tidurnya.

Sungguh, aku ingin menatapnya disaat seperti ini. Aku merasa punya kekuatan lebih dibanding dirinya.

Diam. Hening.

Hanya suara denyut nadi dari monitor saja yang menemani kami saling tatap dalam diam. Apakah dia memikirkan ku dalam tidurnya? Entah, mungkin ia punya kekasih lain disana. Tapi aku senang, selalu jadi rumah untuknya pulang.

Sampai lupa tentang jahatnya dunia setiap menatap wajah sendu nya. Selalu ingin mengusap wajah itu dengan telapak tangan ku, seraya berucap, “Dunia itu emang jahat, Ja.” Tak lupa ku bersenandung yang menjadi kesukaannya dulu.

Semesta terlalu gelap untuknya. Kepergian orang tua dan kembarannya, seolah mengambil jiwa Reza yang dulu pula.

Ruangan yang bernuansa putih tulang itu mendukung ku untuk semakin terlarut dalam lamun ku. Seperti luas sekali, membebaskanku.

Saat berada didekatnya, aku selalu merasa dilindungi, juga disakiti. Ia yang selalu menyuruhku untuk tidak menangis, sementara ia yang membuat ku menangis. Lucu sekali.

Ku raih tangan besar dan kasar itu setelah bokong ku mendarat disalah satu kursi yang ada disana. Ku usap perlahan. Dengan penuh kasih sayang.

Entah apa yang meniupku, tapi aku senandungkan lagu kesukaan kami dulu. Bernostalgia sekilas diantara duka memang sakit adanya.

Tak kuasa lagi ku menahan air mata rindu itu.

“Terusin, fie.. Gue kangen..”

Suara berat dan serak yang berhasil mengambil seluruh atensi ku. Dengan wajah yang setengah menangis, aku menatap bola mata menyeramkannya. Yang menatap ku sendu.

“Kamu udah bangun.” Ucapku sambil mengusap air mata yang tersisa serta menarik tanganku yang menggenggam tangan nya.

“Maaf, gak bermaksud untuk sentuh-sentuh kamu. Tadi tiba-tiba keinget dulu kita pas—”

“Aku udah jadi monster dimata kamu ya, Fie?”

Aku menatap matanya, pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kata-kata yang tak mungkin keluar dari mulut seorang Reza. Jantung ku sampai lupa cara berdetak untuk beberapa detik.

Tangannya berusaha meraih tanganku. Namun entah kenapa secara reflek aku menghindar dan menyembunyikan didalam jaket ku.

“Aku bener-bener minta maaf, aku gak bakal ulangin lagi, aku minta maaf.”

“Nyanyiin lagi ya, Sayang? Untuk kita, semua kenangan kita.”

“K-kamu, kenapa?”

“Aku mimpi kamu pergi. Jangan pergi dari aku ya, fie. Jangan jauh. Aku gak tau mau nangis dipundak siapa lagi kalau bukan dipundak kamu. Aku gak tau mau pulang ke siapa,

Kalau bukan kamu.”

“Itu yang selalu kamu ucapin setiap kaya gini.”

“Aku tau, Aku minta maaf karena cuma itu yang bisa gue ucapin,

Dan untuk semua yang udah aku lakuin, aku juga minta maaf.”

“Itu juga yang selalu kamu ucapin.”

“Maaf.”

Mah, Afie harus ikut siapa?

PLAK!

Satu lagi tamparan mendarat di pipi Alfie. Sudah terhitung yang ke tujuh kali nya ia mendapat tamparan dari pacar nya sendiri.

Ya, Begini lah Reza.

Jika kemauannya tidak dituruti akan berubah menjadi kasar bahkan tanpa pikir panjang akan melakukan kekerasan fisik kepada siapapun itu.

Lagi, dengan tangan kanan yang menggenggam ikat pinggang. Dan tangan kiri yang kosong. Ia mengangkat tangan kiri nya untuk menampar Alfie.

Meskipun tangan kiri, tetap memberikan sensasi pedas dipipi Alfie.

Alfie sudah terdiam menggigil karena tubuh nya kuyup, tadi Reza sempat menyiram Alfie dengan segelas air dingin ke tubuh nya.

PLAK!*

“LO DENGER GUE GAK?!” Bentaknya.

“Denger..”

Reza tersenyum manis, sangat manis. “Good boy.. Sekarang lo turutin kemauan gue,

Atau lo yang mati ditangan gue? Sekarang.”

Dengan susah payah, Pria berstatus kekasihnya ini menahan isakan. Dada bidangnya terasa penuh bahkan sesak. Pasokan oksigen seolah-olah tak mau masuk kedalam paru-paru.

Jari-jari cantik yang berusaha menahan getaran karena basah ditubuhnya.

Sekali lagi Alfie mencoba menjawab, “Udah t-terlalu banyak yang terluka karena aku, Ja. A-aku minta maaf, kali ini aku gak bisa...” Ucap nya dengan bibir yang gemetar.

Perlahan-lahan Reza menyamai mata Alfie, ia berlutut dan maraih pundak Alfie. Entah mengapa, Alfie merasakan ruangan itu tiba-tiba menjadi gelap, sangat gelap.

Semakin pelan gerakan Reza, semakin terasa neraka bagi Alfie.

Tangan kasarnya menyentuh wajah Alfie, sempat tersentak beberapa detik tapi ia kembali mengeratkan genggaman tangan mungilnya.

Dari dahi... perlahan-lahan turun hingga ke dagu. Reza perhatikan setiap sudut wajah milik kekasihnya tersebut. Dimatanya ia terlihat sangat cantik dengan sayatan dan darah yang keluar dari dahi yang disebabkan tangannya sendiri.

Semakin pelan gerakan Reza, dunia terasa seperti berhenti seolah tak mau berjalan dipikiran Alfie. Seperti tak mau waktu memisahkan mereka berdua.

Sampai dileher, Reza langsung mencekik keras sampai Alfie kesulitan bernapas. Pandangannya memutih secepat kilat. Yang bisa ia tatap hanya Reza yang tersenyum menyeramkan didepan mata, layaknya menunggu kematian yang akan terjadi beberapa detik kemudian.

“MAU LO YANG MATI, ATAU GUE YANG MATI SEKARANG?!”

“S-Sakit, Ja... A-aku gak bisa n-napas..”

“Deketin Qiya, atau lo mati?”

9 Tahun dirinya mengenal Reza apakah kurang untuk mengetahui tentang ucapan yang dimiliki Reza? Reza akan selalu menuruti setiap ucapannya. Seperti ucapnya beberapa detik lalu, yang berhasil membuat pikiran Alfie kosong seketika.

“Atau gue yang mati sekarang.”

Ia tatap Reza yang bangun dari duduknya juga melepas cekikan tersebut. Awalnya Alfie tidak mencurigai apapun, sampai ia mengambil pisau yang digunakan untuk memotong buah.

Ia gunakan untuk menyayat pergelangan tangan kanan dirinya sendiri. Pikiran mereka sama-sama kosong untuk beberapa detik. Sampai akhirnya Alfie menyadari bahwa...

Darah mulai keluar dari tubuh Reza.

Tanpa pikir panjang lagi, tak peduli kakinya yang teramat sakit karena diikat dengan kabel, atau tangannya yang terasa panas karena Reza celupkan kedalam rendaman air panas.

Satu-satunya pikirannya hanya bagaimana menyelamatkan Pria didepannya. Yang sangat dicintainya.

“REZA!”

Tanpa perlu menunggu lama, Reza sudah ambruk. Tepat saat Alfie menghampirinya, jatuh dipundaknya.

“Ja? Ja? Tetep sadar, Ja. Kita ke rumah sakit ya, Ja. Bangun. Jangan pingsan, tetep sadar, Ja. Ja?” Entah berapa tamparan sudah Alfie berikan, tapi tak kunjung memberikan hasil. Mata Reza tetap terpejam dengan darah disekelilingnya.

“Ja, aku mohon...”

“Somebody.. Help..”

Maafin aku, Fie. Aku ingkar janji lagi.

Reza sudah sampai di arena, dengan motor kesayangannya tentu saja. Langsung ia memarkirkan motor nya ditempat seharusnya. Menunggu gilirannya akan maju dan memenangkan pertandingan.

Ia menghampiri seseorang disana, ia kenal betul siapa pria itu. Pria itu terduduk disalah satu dengan satu tangan yang tak pernah lepas dari rokok mallboro merahnya.

“Eh? Dateng juga? Kirain bakal temenin pacar lo di apart.” Sarkasnya dengan mulut yang mengeluarkan asap.

Reza hanya menatapnya malas juga meraih rokok yang ada dikantung temannya ini. Tak lup menyalakannya dan langsung ia hisap.

“Udah siap kan, Bro? Lawan lo lumayan juga nih.” Tanya temannya meremehkan.

“Gue mana pernah kalah sih, Bro? Ketua 4th aja udah gue kalahin kan?” Yang biasa berada di dunia malam seperti Reza dan teman-temannya, 4th pasti sudah tidak asing lagi ditelinga mereka. 4th Adalah salah satu kelompok yang dihormati di arena, dan belum pernah dikalah kan sebelumnya. Reza adalah orang pertama yang mengalahkan beliau.

Sang teman yang bertanya tadi tersenyum bangga dan menepuk-nepuk pundak Reza sok akrab.

“Giliran lo maju masih lama, gue mau ngobrol bentar sama lo.”


Reza mengikuti langkah pria didepannya. Sampailah pria itu berhenti saat benar-benar jauh dari kerumunan tadi.

“Kenapa harus jauh banget? Kan disana aja bisa.” Tanya Reza to the point

Pria dengan tinggi 183cm itu berbalik dan melipat tangannya didepan dada. “Lo jangan sampe lupa sama apa janji lo. Gue udah berusaha ngorek informasi tentang anak 4th dari adeknya. Bukan berarti lo bisa santai-santai angkat kaki.” Tekan pria itu sambil mendorong pundak Reza dengan satu jari.

“Siapa yang santai-santai sih? Lo pikir gue lari kesana-sini itu santai? Jadi penjilat didepan semua orang, lo pikir itu santai?”

“Lo tau gak kalo adeknya hampir tau tentang gue? Bisa ancur semua rencana kita kalau Regan inget sama kita. Baik lo, ataupun gue dan semua anak aegar bisa masuk penjara. Lo inget?”

Wajah kaget Reza tak lagi dapat ia tahan.

Pria itu bernama Januar. Benar, Reza dan Januar berada dalam satu komplotan.

How? Gimana dia bisa tau?”

“Regan itu anak 4th, mungkin aja temen-temennya ngingetin Regan pelan pelan jadi dia inget. Gue juga gak tau.” Ucap Januar frustasi.

Kini keduanya diam, sama-sama mencari solusi agar bisa keluar dari masalah yang menurut mereka cukup berisiko.

“Pacar gue deket sama Qiya, apa gue suruh buat deketin Qiya aja?”

“Jangan goblok.”

“Lo punya cara lain emangnya? Ngga ada kan?”

”...”

Fix, Lo sama Alfie bakal deket sama Qiya dan korek semua informasi tentang rencana dia. Jangan sampe dia curiga.”

Sorry, but this is how life begins.

Biasanya, dibeberapa malam. Tanpa alasan dan sebab, Qiya akan datang ke kamar Regan hanya untuk sekedar memainkan ponselnya. Hanya tiduran ditempat tidur, sebelah Regan.

Regan yang sibuk scroll twitter nya biar gak ketinggalan berita teh panas, Qiya yang sibuk sendiri ntah apa yang ia lakukan.

“Bang.”

“Hm?”

“Gapapa, manggil aja.”

Regan sedikit beranjak dari rebahannya, bersandar dipapan tempat tidur tersebut. Badannya masih terasa sakit di seluruh bagian.

“Anak yang kemarin nganter lo pulang, temen sekolah lo?”

Qiya menatap sekilas abangnya lalu kembali menatap ponsel nya, “Lo tau juga bukan urusan lo.”

“Serius dek, siapa?”

Sebelum menjawab, Qiya berdecak, “Iya, kenapa sih emangnya? Mau aduin ke Ayah?”

No.. Mukanya kaya ngga asing dimata gue, kaya.. pernah ketemu sebelumnya. Tapi gue lupa dimana.”

“Dia yang jenguk lo itu loh, Bang. Masa lo lupa? Parah banget.”

“Ngga, gue masih efek koma pas itu. Gue gak tau apa-apa.”

“Tapi cowok itu... Kaya pernah ketemu. Yang gue inget nih ya, dia selalu identik sama jaket kulit warna item dan motor.” Lanjutnya.

Qiya beranjak duduk.

“Motor?” Tanyanya keheranan

“Iya, gak tau emang gue yang error atau gimana. Pas gue liat dia, langsung inget dia dengan jaket kulit nya sama motor. Aneh gak sih?”

Baik Regan maupun Qiya sama-sama kebingungan karena pernyataan Regan barusan.

“Setau gue, Januar itu anaknya baik-baik sih. Ketua kepanitiaan gitu, anaknya rajin sama telaten. Gak mungkin kan balapan kaya lo?”

“Kok lo malah jelek-jelekin gue gitu?”

“Lah? Emang gue salah?”

“Terserah lo deh.”

Keduanya sama-sama diam kembali, Regan kali ini mulai sibuk membalas pesan-pesan yang masuk ke DM Instagram atau ke Twitter nya.

Semenjak perform kemarin, pengikut mereka melejit. Bahkan nama band mereka juga semakin terkenal, juga tak sedikit tawaran untuk mereka mengisi beberapa acara. Namun mereka tunda sampai Regan pulih sempurna.

Johan, Dilan, dan Hasbi lah yang mengambil keputusan tersebut. Memang saat tidak ada Regan, mereka terasa berantakan karena biasanya ada Regan yang melerai. Mungkin karena Regan paling tua, jadi lebih dewasa.

Selagi menunggu Regan sembuh, yang lainnya menunggu dengan latihan lebih banyak lagi. Banyak yang harus diperbaiki dari pertujukkan sebelumnya, dan akan menampilkan yang terbaik kedepannya.

Tapi apalah arti Dream Band tanpa seorang Regan.


“Bang, kalo gue sama orang itu salah gak sih?”

“Baru suka kan? Ngga.”

“Tapi kan gue juga mau pacaran, Bang.”

“Pacaran sama siapa sih? Kaya ada aja yang mau sama lo.”

“Dih. Jahat lo!”

Regan terkekeh tertahan, “Emangnya lo suka sama siapa sih?”

“Jadi gue tuh deket sama satu orang gitu, dia baik banget sama gue. Emang dari beberapa bulan lalu kita deket. Dan kelakuan dia itu bikin gue ngerasa spesial gitu, Bang.”

Regan tampak berpikir sebentar, “Dia punya cewek?”

“Kayanya sih ngga ya, soalnya dia hampir setiap saat chat-an sama gue. Jadi mungkin dia gak sempet deket sama cewek lain.”

“Coba dalam waktu dekat ini lo pelan-pelan tanya dia punya pacar apa ngga, bahaya anjir kalau dia punya pacar tapi lo nya udah baper.”

“Lah kalo ternyata dia punya gimana?”

“Lo pikir aja?!” Sentak Regan.

“Untuk ketiga kalinya tau bang, gue akhirnya berani suka sama orang. Kaya sayang aja, udah susah-susah buka hati eh malah di sia-sia in.” Curhat Qiya.

Regan meraih pundak Qiya, dan mengatakan, “Perasaan orang lain, itu bukan tanggung jawab siapapun.”

“Mau lo suka atau cinta mati sama satu orang, dan ternyata itu orang gak suka sama lo. Ya, lo gak bisa apa-apa dan dia juga gak salah.”

“Terus? Salah gue kah?”

“Kalo itu, cuma lo yang tau jawabannya. Coba tanya sama diri lo sendiri, “Kenapa gue suka sama dia? Apa yang bikin gue sayang sama dia? Apakah dia seperti itu cuma ke gue?” Banyak pertanyaan buat diri lo sendiri.”

Qiya terdiam.

Kata-kata yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Sungguh menggerakan hatinya, karena semuanya begitu valid.

“Begitupun perasaan orang lain ke lo. Kalo orang itu suka sama lo dan lo tolak, itu bukan salah lo.”

“Lo ganteng dah kalo serius gini.”

“Gue mah ganteng terus.”

“Najis.”

I just don't wanna lose you.

CEKLEK!

Suara pintu yang terbuka tidak membuat Alfie teralihkan. Masih sibuk mengaduk makanan diatas kompor.

Reza dengan cepat menghampiri Alfie, tangan kanan nya bertumpu dimeja makan dan tangan kirinya membuka buff yang menutup mulutnya.

“Gue bawain martabak telor, telor nya 3 sesuai kesukaan lo. Jangan lupa dimakan.”

“Aku masak.”

“Terus ini martabak nya gimana? Dibuang?”

“Iya buang aja sana, Aku juga gak minta kan?”

Reza mengacak rambutnya frustasi, “Lo kenapa sih, Fie?! Gue salah apa lagi?” Ucap Reza.

Alfie tidak menjawab pertanyaan itu, ia tetap fokus memasak dan mulai menaruhnya diatas piring untuk disajikan. Ia memang memiliki bakat masak sepertinya, aromanya begitu menggoda.

“Jawab gue.”

Sang kekasih mengangkat pandangannya menatap mata Reza. Sedikit mendongak karena perbandingan tinggi badan yang cukup jauh. Alfie selalu terlihat kecil setiap berada disebelah Reza.

“Aku laper, mending kamu diem.”

Alfie melangkahkan kaki nya dan berjalan menuju ruang TV. Tempat biasanya Alfie dan Reza menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama.

Ia duduk didepan TV yang menayangkan film kesukaannya, juga memulai menyuap makanannya.

“Makanan gue mana?”

“Bikin sendiri.”

“Yang..”

Mendengar itu sontak Alfie menoleh horor menatap Reza yang masih berdiri dengan jaket bomber kesayangannya.

“Kamu mending mandi dulu sana, kamu bau knalpot.”

“Nanti jelasin ya lo kenapa?”

“Apa sih, Yang? Aku gak kenapa-napa.”


Dengan handuk yang melingkar dipinggang, dan rambutnya yang menyatu sebab basah. Reza keluar dan menghampiri Alfie yang sudah berada dikamar.

“Kok disini? Makanan gue mana?”

“Dibawah, makan sendiri. Aku ngantuk.”

“Kalo lo gak ngomong, sampe gue berak emas juga gue gak paham mau lo apaan.”

“AKU JUGA GAK NGERTI SAMA DIRI AKU!”

Baru Reza kali ini yang terdiam. Berdiri didepan pintu kamar mandi dengan handuk yang belum berubah tempat.

Ditatapnya Alfie yang menahan tangis dengan begitu menggemaskannya, bibirnya yang mengerucut gemas juga pipi nya yang memerah setiap Reza tatap.

“Aku gak normal kalau aku bilang aku cemburu sama motor!”

“Aku tuh cemburu kalau kamu pentingin balapan dibanding makan masakan aku!” Lanjutnya.

“Lo aneh.” Reza mendekati lemari bajunya sambil geleng kepala keheranan.

“Tuh kan..” Tangis Alfie mulai menggelegar. Ia menunduk sambil menutup wajah nya dengan siku kanannya.

“Gue tuh balapan buat lo juga, biar lo bisa selamat dari kejaran polisi disana! Buat nyambung hidup juga, jadi gak ada fungsi nya lo cemburu sama motor.”

“Kalau gitu kamu gausah nanya tadi..”

“Ya masih masuk akal misalkan lo cemburu sama cewek yang deket sama gue. Tapi ini? Masa sama motor? Gak habis pikir.”

Reza bangun lalu berbalik, menghadap Alfie yang menahan isakannya.

“Udah gak bau knalpot, sini peluk. Kalo kangen, gausah ngajak berantem.”

“Gak.”

“Yaudah.”

“Bercanda, Yang.. Mau peluk..”

Thank u for being a part of me.

CEKLEK!

Suara pintu yang terbuka tidak membuat Alfie teralihkan. Masih sibuk mengaduk makanan diatas kompor.

Reza dengan cepat menghampiri Alfie, tangan kanan nya bertumpu dimeja makan dan tangan kirinya membuka buff yang menutup mulutnya.

“Gue bawain martabak telor, telor nya 3 sesuai kesukaan lo. Jangan lupa dimakan.”

“Aku masak.”

“Terus ini martabak nya gimana? Dibuang?”

“Iya buang aja sana, Aku juga gak minta kan?”

Reza mengacak rambutnya frustasi, “Lo kenapa sih, Fie?! Gue salah apa lagi?” Ucap Reza.

Alfie tidak menjawab pertanyaan itu, ia tetap fokus memasak dan mulai menaruhnya diatas piring untuk disajikan. Ia memang memiliki bakat masak sepertinya, aromanya begitu menggoda.

“Jawab gue.”

Sang kekasih mengangkat pandangannya menatap mata Reza. Sedikit mendongak karena perbandingan tinggi badan yang cukup jauh. Alfie selalu terlihat kecil setiap berada disebelah Reza.

“Aku laper, mending kamu diem.”

Alfie melangkahkan kaki nya dan berjalan menuju ruang TV. Tempat biasanya Alfie dan Reza menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama.

Ia duduk didepan TV yang menayangkan film kesukaannya, juga memulai menyuap makanannya.

“Makanan gue mana?”

“Bikin sendiri.”

“Yang..”

Mendengar itu sontak Alfie menoleh horor menatap Reza yang masih berdiri dengan jaket bomber kesayangannya.

“Kamu mending mandi dulu sana, kamu bau knalpot.”

“Nanti jelasin ya lo kenapa?”

“Apa sih, Yang? Aku gak kenapa-napa.”


Dengan handuk yang melingkar dipinggang, dan rambutnya yang menyatu sebab basah. Reza keluar dan menghampiri Alfie yang sudah berada dikamar.

“Kok disini? Makanan gue mana?”

“Dibawah, makan sendiri. Aku ngantuk.”

“Kalo lo gak ngomong, sampe gue berak emas juga gue gak paham mau lo apaan.”

“AKU JUGA GAK NGERTI SAMA DIRI AKU!”

Baru Reza kali ini yang terdiam. Berdiri didepan pintu kamar mandi dengan handuk yang belum berubah tempat.

Ditatapnya Alfie yang menahan tangis dengan begitu menggemaskannya, bibirnya yang mengerucut gemas juga pipi nya yang memerah setiap Reza tatap.

“Aku gak normal kalau aku bilang aku cemburu sama motor!”

“Aku tuh cemburu kalau kamu pentingin balapan dibanding makan masakan aku!” Lanjutnya.

“Lo aneh.” Reza mendekati lemari bajunya sambil geleng kepala keheranan.

“Tuh kan..” Tangis Alfie mulai menggelegar. Ia menunduk sambil menutup wajah nya dengan siku kanannya.

“Gue tuh balapan buat lo juga, biar lo bisa selamat dari kejaran polisi disana! Buat nyambung hidup juga, jadi gak ada fungsi nya lo cemburu sama motor.”

“Kalau gitu kamu gausah nanya tadi..”

“Ya masih masuk akal misalkan lo cemburu sama cewek yang deket sama gue. Tapi ini? Masa sama motor? Gak habis pikir.”

Reza bangun lalu berbalik, menghadap Alfie yang menahan isakannya.

“Udah gak bau knalpot, sini peluk. Kalo kangen, gausah ngajak berantem.”

“Gak.”

“Yaudah.”

“Bercanda, Yang.. Mau peluk..”

Thank u for being a part of me.

Setelah mengelilingi kota untuk waktu yang cukup lama, Qiya mengajak Januar untuk makan disalah satu pendagang pinggir jalan.

Dengan sedikit bercengkrama seraya menyuap mie ayam yang mereka genggam mangkuknya.

“Gimana kakak lo, Qi?” Tanya Januar saat mereka sama-sama diam untuk beberapa detik.

“Udah pulang dari rumah sakit sih, Ar. Baru aja kemarin pulang, tapi emang kata dokter masih butuh bedrest untuk beberapa hari, makanya bolos kuliah nya lumayan juga.” Jawab Qiya dengan nada bercanda.

“Emang kecelakaan nya separah itu? Sampe koma 3 minggu?”

Qiya terdiam sesaat, bahkan mulutnya yang mengunyah ikut diam.

“Eh? Sorry kayanya gue kelewatan.”

Qiya hanya tertawa canggung sambil melanjutkan makannya dengan suasana yang tiba tiba kurang mengenakan untuk keduanya.

“Apa sih yang lo tau tentang orang yang hampir bunuh kakak lo? Kok kedengerannya lo yakin banget sama itu orang?”

Sebelum ia bercerita, satu tarikan napas Qiya ambil dan menghembuskan nya kasar.

“Gue tuh kenal banget sama Reza, Ar. Kami temenan dari umur masih 3 tahun, ya emang gak sedeket itu sih. Tapi gue yakin kalo Reza itu orang yang baik. Dulu.”

“Dan? Apa yang lo tau tentang kembaran dan seksual orientasi nya?”

Qiya menggeleng lemah, “Ngga Ar. Sama sekali gue gak tau apa-apa tentang kembarannya dan seksual orientasi nya, makanya gue shock berat pas Alfie cerita itu.”

“Alfie pacarnya?” Sang lawan bicara mengangguk

“Kok lo bisa kenal sama Alfie?”

Qiya berusaha menahan tangisnya mengingat masa awal ia bersekolah disana, trauma yang cukup menyakitkan untuk perempuan satu ini.

“Dulu, dia yang bantuin gue pas gue dibully. Dia juga yang berusaha hibur gue biar gak sedih terus. Dimana ada Alfie, pasti ada Reza disana.”

Giliran Januar yang mengangguk paham, merasa apakah sudah terlewat batas ia bertanya?

“Niat lo kedepannya apa sih, buat Reza? Kill him, maybe?

I think so, tapi kalo gue bunuh? Beda nya gue sama dia apa?”

So? What you gonna do?

I don't know.. Kita liat aja nanti, gue gak bakal lepas dia gitu aja.”

Wow.. I see so many plan on your head.

Let see, rencana mana yang bakal gue lakuin.”

Gotcha.