matematiqa

Setelah mengelilingi kota untuk waktu yang cukup lama, Qiya mengajak Januar untuk makan disalah satu pendagang pinggir jalan.

Dengan sedikit bercengkrama seraya menyuap mie ayam yang mereka genggam mangkuknya.

“Gimana kakak lo, Qi?” Tanya Januar saat mereka sama-sama diam untuk beberapa detik.

“Udah pulang dari rumah sakit sih, Ar. Baru aja kemarin pulang, tapi emang kata dokter masih butuh bedrest untuk beberapa hari, makanya bolos kuliah nya lumayan juga.” Jawab Qiya dengan nada bercanda.

“Emang kecelakaan nya separah itu? Sampe koma 3 minggu?”

Qiya terdiam sesaat, bahkan mulutnya yang mengunyah ikut diam.

“Eh? Sorry kayanya gue kelewatan.”

Qiya hanya tertawa canggung sambil melanjutkan makannya dengan suasana yang tiba tiba kurang mengenakan untuk keduanya.

“Apa sih yang lo tau tentang orang yang hampir bunuh kakak lo? Kok kedengerannya lo yakin banget sama itu orang?”

Sebelum ia bercerita, satu tarikan napas Qiya ambil dan menghembuskan nya kasar.

“Gue tuh kenal banget sama Reza, Ar. Kami temenan dari umur masih 3 tahun, ya emang gak sedeket itu sih. Tapi gue yakin kalo Reza itu orang yang baik. Dulu.”

“Dan? Apa yang lo tau tentang kembaran dan seksual orientasi nya?”

Qiya menggeleng lemah, “Ngga Ar. Sama sekali gue gak tau apa-apa tentang kembarannya dan seksual orientasi nya, makanya gue shock berat pas Alfie cerita itu.”

“Alfie pacarnya?” Sang lawan bicara mengangguk

“Kok lo bisa kenal sama Alfie?”

Qiya berusaha menahan tangisnya mengingat masa awal ia bersekolah disana, trauma yang cukup menyakitkan untuk perempuan satu ini.

“Dulu, dia yang bantuin gue pas gue dibully. Dia juga yang berusaha hibur gue biar gak sedih terus. Dimana ada Alfie, pasti ada Reza disana.”

Giliran Januar yang mengangguk paham, merasa apakah sudah terlewat batas ia bertanya?

“Niat lo kedepannya apa sih, buat Reza? Kill him, maybe?

“I think so, tapi kalo gue bunuh? Beda nya gue sama dia apa?”

“So? What you gonna do?”

“I don't know.. Kita liat aja nanti, gue gak bakal lepas dia gitu aja.”

“Wow.. I see so many plan on your head.”

“Let see, rencana mana yang bakal gue lakuin.”

Gotcha.

Setelah mengelilingi kota untuk waktu yang cukup lama, Qiya mengajak Januar untuk makan disalah satu pendagang pinggir jalan.

Dengan sedikit bercengkrama seraya menyuap mie ayam yang mereka genggam mangkuknya.

“Gimana kakak lo, Qi?” Tanya Januar saat mereka sama-sama diam untuk beberapa detik.

“Udah pulang dari rumah sakit sih, Ar. Baru aja kemarin pulang, tapi emang kata dokter masih butuh bedrest untuk beberapa hari, makanya bolos kuliah nya lumayan juga.” Jawab Qiya dengan nada bercanda.

“Emang kecelakaan nya separah itu? Sampe koma 3 minggu?”

Qiya terdiam sesaat, bahkan mulutnya yang mengunyah ikut diam.

“Eh? Sorry kayanya gue kelewatan.”

Qiya hanya tertawa canggung sambil melanjutkan makannya dengan suasana yang tiba tiba kurang mengenakan untuk keduanya.

“Apa sih yang lo tau tentang orang yang hampir bunuh kakak lo? Kok kedengerannya lo yakin banget sama itu orang?”

Sebelum ia bercerita, satu tarikan napas Qiya ambil dan menghembuskan nya kasar.

“Gue tuh kenal banget sama Reza, Ar. Kami temenan dari umur masih 3 tahun, ya emang gak sedeket itu sih. Tapi gue yakin kalo Reza itu orang yang baik. Dulu.”

“Dan? Apa yang lo tau tentang kembaran dan seksual orientasi nya?”

Qiya menggeleng lemah, “Ngga Ar. Sama sekali gue gak tau apa-apa tentang kembarannya dan seksual orientasi nya, makanya gue shock berat pas Alfie cerita itu.”

“Alfie pacarnya?” Sang lawan bicara mengangguk

“Kok lo bisa kenal sama Alfie?”

Qiya berusaha menahan tangisnya mengingat masa awal ia bersekolah disana, trauma yang cukup menyakitkan untuk perempuan satu ini.

“Dulu, dia yang bantuin gue pas gue dibully. Dia juga yang berusaha hibur gue biar gak sedih terus. Dimana ada Alfie, pasti ada Reza disana.”

Giliran Januar yang mengangguk paham, merasa apakah sudah terlewat batas ia bertanya?

“Niat lo kedepannya apa sih, buat Reza? Kill him, maybe?

“I think so, tapi kalo gue bunuh? Beda nya gue sama dia apa?”

“So? What you gonna do?”

“I don't know.. Kita liat aja nanti, gue gak bakal lepas dia gitu aja.”

“Wow.. I see so many plan on your head.”

“Let see, rencana mana yang bakal gue lakuin.”

Gotcha.

“Tolong gue ya, Fie? Gue janji lo gak bakal ke seret juga. Lo bakalan aman, Fie.” ucap Qiya di telepon.

Saat ini Qiya sedang berusaha membujuk Alfie untuk bekerja sama dengannya untuk menjerumuskan Reza ke penjara. Namun suatu hal yang sulit untuk Alfie, tentu saja.

Tangan kanan Qiya sambil menyuapi Regan yang masih terduduk lemah di ranjang rumah sakit itu, dokter mengatakan bahwa Regan masih butuh banyak dukungan.

“Maafin aku ya, Qiya. Aku gak bisa.” Hanya itu yang daritadi Alfie ucapkan, dengan nada ciri khas dari Alfie.

“Please banget, Fie. Lo mau apa? Gue usahain ada buat lo, tapi tolongin gue buat bawa Reza ke gue.”

Hembusan napas lelah Alfie keluarkan, “Aku udah bilang berkali-kali kan? Aku gak bisa. Maaf.”

Qiya menyuap makanan Regan dengan kasar dan bangun dari duduknya, Regan sedikit terkejut karena benturan antara sendok dan giginya.

“Ayo lah Fie! Sadar, Reza itu toxic banget. Gak pantes buat lo yang terlalu baik.” Maki Qiya.

Di sebrang sana Alfie menatap handphone nya dan kembali berucap, “Dari tadi aku udah sabar banget ya, Qiya. Tapi kayanya kamu kelewat batas. Aku tau kok hubungan kami salah, tapi emangnya salah kalo kami bahagia? Dan urusan Reza, jelas aku gak bisa bantu. Kamu denger gak sih?”

Dan Alfie menutup telponnya sambil menahan tangis. Sementara Qiya menahan teriakkan nya dalam kamar rumah sakit itu.

“Lo ngapain sih?” Tanya Regan.

“Open BO.”

“Mana ada yang mau modelan kaya lo.”

“Anjing.”

That's my boy. Aku takut. Lo aman selagi sama gue.

Satu malam sudah Regan lalui untuk keluar dari masa kritisnya. Ia juga berhasil kembali ke dunia, meninggalkan Yoga sendirian disana.

Ayah masih setia menunggu kesadaran anaknya, yang duduk diatas kursi disebelah ranjang tersebut. Dengan kantung mata dan perut kosongnya.

Sudah terhitung 10 jam Ayah diam tak bergerak diatas kursi. Qiya menemani bunda dikamar sebelah, bunda tiba tiba demam tinggi. Akhirnya mereka memilih untuk membagi tugas dengan Ayah menjaga Regan dan Qiya menjaga Bunda.

Dokter mengatakan bahwa Regan akan sadar dalam waktu dekat, sekarang Regan sedang mempersiapkan dirinya karena tubuhnya yang mati kembali hidup.

Perlahan tapi pasti, Regan membuka matanya. Percayalah, satu-satunya reaksi yang bisa Ayah berikan adalah senyuman bangga, sangat bangga. Kemudian saat terdengar suaranya baru Ayah menghampiri Regan.

“Ayah...” Ucapnya lirih nyaris tak terdengar ditambah masker oksigennya.

“Yaa? Ayah disini.. Regan mau apa?” Tangannya bergerak menyisir rambut Regan kebelakang, semakin memperjelas wajah tampannya ini.

“Regan mau pulang, punggung Regan sakit...”

Tiga kali anggukan lalu Ayah menjawab, “Iyaa... Regan cepet sembuh ya, biar bisa pulang. Main lagi sama Ayah, Bunda, Qiya, ya?”

Anggukan semangat dari Regan lagi-lagi membuat Ayah tersenyum bangga. Sampai beberapa menit, baik Ayah atau Rega masih belum ada yang bergerak dari tempat nya karena merasa nyaman. Sudah lupa kapan terakhir kali mereka berdekatan seperti ini.

“Maafin Regan bikin Ayah pusing ya, Yah.”

“Regan nya Ayah selalu nurut sama apa yang Ayah ilang, bahkan sebelum Ayah larang kalau Regan tau itu salah, pasti gak akan Regan lakuin.”

Dengan hembusan lemah, Regan menjawab.

“Maafin Regan...”

“Abang, kenapa?”

“Regan gagal mencari jati diri Regan lagi, Yah. Untuk yang kedua kalinya.”

Semakin ia genggam erat tangan sang Ayah yang setia menyambut genggaman manis itu.

Tangan kirinya yang diam, ia gunakan untuk mengusap lembut punggung tangan Regan. Dengan lagak sok kuat, Ayah nya mengatakan

“Gagal, tentang apa yang Regan dapat. Nggak selalu tentang yang Regan buang sia-sia. Disetiap perjuangan, tidak ada kata sia-sia.”

“Saat nanti Regan sudah berkeluarga, Regan akan rindu setiap tetes keringat itu.” Timpal Ayah.

Regan tak menjawab, hanya tangisnya semakin pecah.


“Regan..... Lo kenapa sih???”

“Bi... Jangan nangis disini lah, malu kedengeran orang.”

“BIARIN! GUE TADI UDAH AMBIL BAJU ITEM MAU NGELAYAT. TAPI DIA BALIK LAGI!”

“Ohh, jadi lo berharap gue mati aja?”

“YA NGGA LAH ANJING! PIKIR AJA DEH!”

“Re, ini semangka siapa? gue makan ya.”

“Iya Lan, makan aja.”

Setelah urusan mereka dengan sekolah Qiya selesai, Dilan dan Johan menyusul Hasbi ke rumah sakit. Jujur ia tak tau kalau tadi Regan mati suri.

Hanya Dilan dan Johan tadi sempat shock karena Hasbi mendobrak pintu kamar dan menangis kencang sambil menghampiri Regan. Sampai sekarang.

“Yaudah lah, Bi.”

“YAUDAH MATA MU?!”

“Lo berdua kalo cuma mau berantem, mending keluar sekarang!”

“Gaya bener lu, tuh mulut masih pake oksigen aja gaya bener.”

“Mulut gue pake oksigen, tapi tangan gue kuat kok buat nonjok lo.”

“Aciat ciatt, Dok! Udah sembuh nih dok, buang aja.”

“Kurang ajar.”

Tadi Hasbi gantiin lo nyanyi Bagus gak? Bagus kayanya, IG nya langsung verified

Dengan perlahan-lahan, aku membuka mata. Sedikit sulit karena yang ku tangkap pertama kali saat membuka mata adalah tempat dimana aku dan teman-teman ku tinggal.

Kost.

Yang aneh nya, aku merasakan disana begitu dingin dan sangat amat sunyi. Aku bahkan bisa mendengar deru napas ku sendiri disana.

Tempatnya masih sama saat terakhir kali kami tinggalkan, rapih dan bersih. Hanya tersisa beberapa foto anak muda yang pernah tinggal disana juga.

Aku menelusuri ruangan yang biasanya kami menyebutnya dengan ruang kumpul.

Banyak foto-foto ku dan teman-teman ku disana. Masih dengan aura yang sama, menenangkan.

Sampai satu suara yang mengambil seluruh atensi ku, aku kenal betul suaranya. Makanya saat mendengarnya aku terkejut bukan main.

“Regan? Lo ngapain disini?”

“Yoga?”

Teman ku yang bernama Yoga ini terdiam namun senyuman sangat tipis terukir dibibir nya. Juga matanya yang menyimpan banyak luka didalamnya, aku masih ingat betul tatapan itu.

“Seharusnya lo belum disini, Re.”

“Seharusnya gue gak ketemu lo disini, Yo.”

“Lo masih Re yang gue kenal, Pembangkang.”

Kemudian Yoga memutar tubuhnya dan berjalan kesalah satu ruangan. Ruangan ku.

Kamar itu sekarang kosong. Tak seperti saat aku menempatkannya. Ruangan itu seperti... mati.

Yoga duduk dilantai dengan memangku buku tebal berwarna coklat lusuh. Entah kapan ia mengambilnya, tapi aku tak terlalu memperdulikan nya. Sampai ia menepuk lantai disebelahnya, memintaku untuk duduk disebelahnya.

Apa salahnya menurut?

“Lo masih inget ini gak sih, Re?”

Ditunjuk nya salah satu foto. Aku bisa melihat Johan, Dilan, Hasbi, Yoga, dan Diri ku disana. Aku berusaha memutar memory yang ada didalamnya.

“Ini pas pertama kalinya Dream band dibuat, Inget?”

Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Moment yang sedikit haru menurut ku, ternyata mereka sudah lama bersama-sama.

Yoga membuka lembaran selanjutnya. Hati ku sempat menghangat saat melihat kembaran itu.

“Kalo yang ini, Hasbi yang minta buat taro hal terbaik dalam hidup kita. Hasbi taro nyokap nya, Dilan taro kakak perempuannya, Johan taro motor kesayangan nya, Gue taro gitar kesayangan gue, Dan lo taro Adek lo disana.”

Foto 'ku dan Qiya saat masih berusia 12 dan 6 tahun saat itu. Memang kehadiran Qiya adalah satu-satunya hal yang paling ku tunggu dibumi ini pada saat itu.

Tapi aku harus berpisah dengannya, hanya karena sebuah kisah cinta yang ku dengan bodohnya pertahankan.

“Lo liat disana.” Perintah Yoga.

Ia menunjuk jendela luar yang langsung mengarah ke taman, padahal dulu pemandangan nya seekor ayam yang akan buang air di jendela nya.

Aku melihat Ayah memeluk erat Qiya disana. Qiya berteriak histeris dan bahkan Ayah juga menangis disana.

Dengan cepat aku bangun dari duduk ku dan menghampiri jendela itu, kemudian aku berteriak

“AYAH? QIYA KENAPA?” ku jamin ayah akan mendengar suara lantang ku. Namun nihil.

Yoga merangkul pundakku dan berkata, “Mereka tuh sedih tau lo disini, lo tau sendiri gimana gila nya lo kalo udah ngekost sama kita kan?”

“Lo gimana?”

“It's been two years, Re. Ikhlasin gua, ya?”

Aku menepis tangannya dan membalik tubuh ku, menatap dua bola mata itu secara bergantian.

“Pergi, Re. Nanti Hasbi gila lagi.”

Seperkian detik kemudian aku merasa badan ku ditarik kencang hingga aku tak bisa melihat jelas apa yang ku lihat


DOK! DETAK JANTUNG NYA KEMBALI! Jangan pernah kembali kesini, Re.

Langkah cepat dan tak beraturan mulai mengisi suara lorong yang sedari tadi diam dan sunyi. Hanya ada detakan jantung tegang disana.

Didapatnya teman kakak laki-laki nya, yang bernama Hasbi. Ia duduk diam sambil menaruh kuku tangannya diantara gigi atas dan bawah milik nya. Baju yang ia kenakan masih sama dengan yang ia gunakan diatas panggung tadi

Langkah Qiya kian cepat menghampiri Hasbi dan bertanya dengan wajah kebingungan, “Kak? Bang Regan gimana?” Dari sekian jutaan pertanyaan yang ada di otaknya, hanya 4 kata itu yang keluar dari mulutnya.

Diremasnya bahu Qiya sampai ia merasakan sakit dan nyeri karena cengraman itu. Mata Hasbi menggenang menahan air mata juga bibir nya yang bergetar hebat sebab panik.

“Kak? Bang regan.... Gimana?”

Kaki nya mulai melemas, otak dan tubuh nya tidak siap menerima kabar buruk tentang kakak sulung nya ini.

Hasbi tidak menjawab, namun dijawab dengan mati nya lampu ruang ICU tersebut. Tak lama kemudian keluar lah dokter yang menangani Regan disana.

“Regan gimana, Dok?”

Dokter tersebut menarik napas nya dalam-dalam dan menyatukan tangannya, “Kami sudah berusaha yang terbaik, kami minta maaf.”

Seperti mimpi rasanya. Apa katanya? Minta maaf? Kenapa mereka harus meminta maaf?

Terdengar samar-samar dibelakangnya seseorang mulai terisak, lama kelamaan suara itu mulai menjauhi Qiya yang masih diam membatu menatap dokter yang ikut menahan air matanya.

“Dok—”

“Saya minta maaf.”


Siapa sangka, Kakak laki laki nya yang selalu menjadi teman bertengkar nya. Harus menjadi sebuah alasan untuk keluarga nya menangis seperti hancur berkeping-keping.

Ayah yang sudah datang dengan bunda, dan langsung mendengar kabar itu. Bunda pingsan, shock berat pasti. Siapa yang tidak shock jika mendengar kabar anaknya meninggal?

Kini menyisakan Qiya yang masih mencerna semuanya, dengan Regan yang berbaring diatas ranjang dengan wajah yang pucat serta oksigen yang sudah dilepas sejak beberapa menit lalu.

Langkah demi langkah, ia mendekati ranjang itu dengan kaki yang bergetar hebat.

Sampai lah ia terduduk dikursi yang terletak tepat disebelah ranjang itu. Dipandang wajah itu, pucat dan kaku. Namun tetap tampan.

Lampu remang remang khas rumah sakit saat malam, semakin mendukung tangisan Qiya meledak disana.

“Bang... Lo tolol banget.”

Qiya menundukan kepalanya, pundak nya naik turun tak kuasa menahan tangisannya. Sampai terdengar knop pintu terbuka, namun tak terdengar jelas ditelinga Qiya.

Ayah.

Ayah yang datang dengan wajah yang sudah merah juga mata yang sudah sangat basah karena menahan tangisnya. Ia tak boleh menangis disini, bagaimana dengan anak dan istri nya jika ia ikut menangis?

Berlututlah ia disana, kakinya yang panjang nan kurus itu tak lagi mampu menopang tubuh besarnya disana. Diraihnya tangan kiri milik Putra nya itu.

“Abang kalau suka disana... Yaudah ya.. Jaga diri abang baik baik disana, jangan ngerepotin bunda mu..”

Disitulah tangis nya pecah.

Yah, Bang Regan? Bang Regan suka disana.

Dengan langkah cepat, suara dentuman hentakan dari kaki Qiya menghiasi lorong yang sepi. Didampingi dengan kedua orang tuanya yang mengikuti langkah panjang milik anak bungsu nya tersebut. Semua pikiran mereka entah dimana, satu tujuannya hanya menemui anak sulung nya.

Sampai lah Qiya bertemu dengan Alfie yang menunggu didepan ruang oprasi sejak dini hari tadi. Dengan tatapan kosong dan kaos putih yang penuh bercak kemerahan, ia terduduk lemas disana. Memandang ke dalam ruangan tempat bertaruhnya nyawa disana.

“Fie! Bang Regan mana?” Tanya Qiya dengan napas yang belum teratur, sembari sedikit menggunjang pundak Alfie karena tidak sabar diberikan kepuasan atas pertanyaan nya barusan.

“Nak... Dimana Regan..” Tegur Bunda dengan lembut walau jantungnya berdetak cepat tidak siap mendengar kabar tentang putra nya.

Tatapan yang tadinya lurus beralih menatap bunda dan ayah secara bergantian, dan disitulah tangis Alfie pecah tak tertahan. Ia menangis di pelukan bunda. Ayah, bunda, dan Qiya hanya bisa saling tatap heran dengan air mata yang memenuhi pelupuk mata.

“Tante... Maafin Alfie.. Tadi Alfie berusaha tahan Reza biar gak lepas kendali, tapi ternyata Reza terlalu ngebut terus nabrak kak Regan....”

Bunda hanya bisa terdiam, bahkan tangan yang ia gunakan untuk mengusap punggung Alfie pun terdiam. Shock berat pasti. Selama ini yang ia tau, Regan anak yang tak pernah membuat keluarga apalagi bundanya kecewa sedikit pun. Namun siapa sangka, Regan yang didalam rumah berbanding terbalik dengan Regan yang ada diluar.

“Terus sekarang Regan gimana?” Tanya Ayah dengan satu titik jatuh ke pipi nya.

Tangis Alfie mereda dan mulai melepas pelukannya. Sejenak ia menatap kamar yang tadi, dan berkata “Dari pertama dibawa kesini keadaannya emang udah kritis, bahkan kalau Alfie telat 30 detik aja kak Regan udah gak ketolong. Sampai sekarang kak Regan belum ngasih aba-aba kalau akan sadar dalam waktu dekat.”

“MAKSUD LO?!”

“Maafin aku ya Qiya.. Kak Regan koma.”

Rasanya seperti disambar petir ratusan kali diotaknya. Teringat tentang pikirannya sejak malam tadi yang memang kurang mengenakan soal kakak laki-laki nya ini. Ternyata benar, ini jawabannya.

Kakinya serasa tidak lagi dapat menopang tubuhnya. Benda-benda disana terasa berputar begitu hebatnya. Untung saja ada ayah di belakang yang menangkap tubuh Qiya dan mendudukkannya di kursi tunggu didekat mereka. Kepala Qiya bersandar dipundak Alfie karena tak kuasa menopang seorang diri.

“Bisa ceritain semuanya dari awal?” Ucap Qiya lemas.

“Nanti aku ceritain kalo-”

“Cerita, Fie!”

Seperti satu hal yang berat untuk Alfie, dapat terdengar dari tarikan dan hembusan napas yang ia ambil saat akan memulai ceritanya. Perlahan tapi pasti, Alfie mulai menegapkan tubuhnya dan mengambil napasnya sekali lagi.

“Dulu Reza punya kembaran, namanya Rion. Sebelum kecelakaan yang menimpa keluarganya, yang membuat Reza kehilangan ayah, ibu dan kembarannya. Mereka keluarga yang bahagia banget, Qi.”

“Tapi gue kenal Reza dari kecil, Fie. Gimana bisa?”

“Wajah mereka emang semirip itu Qi, cuma beberapa orang aja yang bisa tau perbedaan mereka. Dan Kirani, adalah pacar Rion sejak mereka kelas 6 SD. Orang tuanya ngizinin karena mereka pikir itu cuma cinta monyet biasa aja, tapi sampai mereka kelas 1 SMA masih menjalin cinta.”

Sempat terhenti disaat Alfie seperti memilah bahasa yang harus disampaikan. Kemudian ia berkata, “Detik-detik Rion meninggal dipangkuan Reza, Rion seolah-olah memberi wasiat kurang lebih isinya begini...

Zaa... Bahagia sama Kirani ya? Gue titip Kirani.

Baru disaat itu Rion menghembuskan napas terakhirnya.”

“Gak nyangka.. Topeng Reza setebel itu..”

Alfie menghiraukan ucapan Qiya barusan dan melanjutkan tuturannya, “Setelah Reza menemukan jadi dirinya, ternyata ketertarikannya bukan kepada wanita.”

Sungguh.. Qiya terlalu banyak mendapat kejutan hari ini, otak nya tidak mencukupi untuk mencerna ucapan Alfie barusan. Setelah paham, akhirnya Qiya berusaha mengontrol ekspresi nya agar kembali tenang.

“Wow...”

Tak perlu waktu lama untuk Ayah Yudha datang ke Sekolah. Tanpa permisi langsung membuka pintu ruang kepala sekolah, ada Qiya disana. Sedang menggigil kedinginan dengan bibir yang pucat.

Langsung ia menghampiri Qiya, didapatnya pelukan dan tangisan keras dari anak bungsu nya tersebut.

“Ayah.... Sakit...”

Tatapannya beralih pada anak yang ada di sebrang, tampilannya hampir sama seperti Qiya, kuyup. Namun tanpa darah di dahinya.

“Ini bukan pertama kalinya hal ini terjadi, Kami janji ini yang terakhir kali nya.”

“Anda dengar apa yang barusan anak saya ucapkan?”

Kepala sekolah dan beberapa guru disana terdiam. Satu guru disana angkat bicara dan mengatakan, “Kami akan menanggung biaya pengobatan Qiya sampai benar-benar sembuh.”

Ayah menegakkan badannya dan memasukan tangannya kekantong celananya, dengan tatapan tajam yang selalu menjadi ciri khas Ayah.

“Anda dengar saya meminta penanggung jawaban tentang uang? Saya juga bisa beli rumah sakit nya kalau saya mau.”

“Mending bayar sekolah buat sekolahin anaknya, ajarin biar gak kecentilan sama pacar orang.”

Ayah menoleh, “Pasti kamu Onyx?” Tebaknya dengan langkah yang semakin mendekat.

“Iya! Kenapa?” Jawab Onyx tanpa sopan santun nya.

“Kamu anaknya Alex Cassano? Divisi Humas Y. Company?” Tebak Ayah yang tepat sasaran.

Baru akan Onyx menjawab, Sudah terdengar benturan keras dari kepala Qiya yang membentur meja kerja kepala sekolah sebab pingsan.

Buru-buru Ayah menghampiri anaknya dan membawa Qiya kedalam mobil. Namun sebelum ia meninggalkan ruangan itu, sempat ia berkata

“Siapin barang-barang kamu sekarang, Kita gak ada yang tau kalo bapak kamu bangkrut hari ini juga.

... Sekolah ini juga siap-siap. Kalau anak saya tidak bangun 15 menit dari detik ini, siap siap sekolah ini akan ditutup.”

Baru Ayah membawa Qiya kerumah sakit.


Setelah diperiksa, Qiya pun mulai tersadar namun belum sepenuhnya. Pemandangan pertamanya adalah Ayahnya disamping ranjangnya, yang sibuk berkutat dengan ponsel genggamnya.

“Ayah...”

Dengan cepat Ayah langsung menoleh dan menatap datar Qiya, “Udah enakkan?” Tanyanya langsung.

“Adek berhasil lho yah, tadi muka dia Adek cakar kaya yang dia lakuin ke adek... Adek siram juga pake air sampe kuyup semuanya, adek belum sempet injek mukanya yah, Badan adek keburu menggigil tadi...”

“Iya.. Anak ayah hebat.”

Qiya meraih tangan ayah dan mengatakan, “Adek janji, ini terakhir kali nya adek ngerepotin ayah.. Maafin adek ya, Yah.”

“Kamu kenapa gak bilang sama ayah?” Tanya ayah sambil menarik kembali tangannya.

“Nanti masalahnya makin panjang, Adek cuma mau sekolah kok.”

“Kamu sadar gak, ayah hampir kehilangan kamu.”

Dada Qiya terasa terenyuh mendengar ucapan itu, juga menatap mata ayah yang menahan tangisnya walau hampir gagal. Warna ruangan dominan biru semakin mendukung suasana sendu ayah dan anak ini.

“Bukan gitu Ay—”

“Cepet sembuh, ayah mau denger kabar kamu injek mukanya.”

Kekerasan yang Onyx dan teman-teman nya lebih parah dari pada kemarin. Kali ini satu gedung sekolah benar-benar menatapnya, ada yang menatapnya puas, ada yang menatap kasihan dan lainnya.

Namun tidak satupun dari mereka bergerak maju untuk membantu Qiya disana.

Dengan baju yang sudah kuyup tak tersisa, dan rambut yang dipenuhi telur busuk, Qiya masih berusaha bangun dan membuka matanya agar tidak pingsan.

“Eh? Masih bisa bangun, ya?” Ucap Onyx meremehkan. Kemudian ia kembali mengguyur Qiya dengan Air es yang sudah mereka sediakan.

Dan kembali terdengar suara tawaan puas juga celaan yang menusuk telinga juga hati kecilnya itu. Rasanya sangat memalukan.

Onyx menarik tangan Qiya dan menyeret tubuhnya entah kemana, pandangan Qiya sudah tidak jelas karena air yang penuh dipelupuk matanya.

Jaraknya terasa begitu jauh untuk Qiya, bajunya sudah kotor karena terus menyeret tanah. Bahkan dadanya benar-benar terasa nyeri luar biasa sekarang.

Onyx membuka pintu didepannya dan melempar Qiya kedalam. Lagi dan lagi, kepala kepala Qiya membentur material keras disana.

“Pelacur kaya lo.., Pantes nya ditempat kaya gini.” Ucapnya sebelum membanting pintu dan meninggalkan ruangan.

Yang bisa Qiya lakukan hanya menangis dan berharap akan ada pangeran berkuda putih datang menyelamatkan dirinya.

Untung saja ponselnya selalu ada didalam kantong rok nya. Memudahkannya untuk menghubungi ayahnya saat itu juga.

Seraya menikmati teriknya matahari siang itu Qiya hanya bediri seorang diri menunggu ojek yang ia pesan melalui online datang. Suasana sekolah dapat terbilang sudah sepi karena jam pulang sudah berlalu cukup lama, hanya tersisa Qiya, penjaga sekolah dan beberapa siswa siswi yang mengikuti ekstrakulikuler namun tidak banyak.

Lamunnya dihancurkan dengan datangnya segerombol perempuan. Beberapa diantara nya ada yang memegang botol bekas berisikan sesuatu berwarna hitam, ada yang membawa tepung cukup banyak dan ada yang membawa lipstick ditangannya.

Sejak mereka mendekati Qiya, Qiya sudah mundur beberapa langkah untuk bersiap lari tapi dibelakangnya dihadang oleh temannya yang lain. Sampai lah Qiya yang dikepung disana.

Salah satu dari mereka maju dan mendekati Qiya, jangan lupakan dagunya yang selalu terangkat begitu tinggi nya. Ia memberikan tatapan tajam, tak suka, jijik bercampur disana. Kemudian ia berkata, “Lo Qiya si anak baru itu, kan?” tanyanya memastikan.

“Ah lama banget lo, By.” Lontar salah satu teman dibelakang Qiya seraya menumpahkan cairan hitam tadi tepat diatas kepala Qiya. Sampai-sampai Qiya sulit bernapas karena kental dan beratnya cairan tersebut.

Kemudian terdengar tawaan puas dan celaan lainnya yang kurang pantas dilontarkan anak seusianya. Qiya masih terdiam dengan gagu dan penuh tanda tanya dikepalanya, entah apa yang terjadi atau siapa kah merka, dan apa salahnya?

“Iket tangannya, Le.” Suruh perempuan bernama Gabby tersebut.

Alea dan satu teman lainnya, Daisy. Mulai mengikat tangan Qiya kebelakang dan semakin membuat ia tidak bisa bergerak sama sekali, bahkan kesempatan mengambil pasokan oksigen pun seolah tidak diperbolehkan.

Gabby mengambil ponsel genggam nya dan membuka sesuatu disana, kemudian menunjukan foto pada Qiya. Yang bisa Qiya tangkap hanya dirinya dan Reza sedang bercengkrama santai dikantin satu hari yang lalu, saat dirinya hari pertama bersekolah disana.

Sambil menarik ponselnya kembali, ia berkata “Kalo jadi cewek... Gausah kegatelan sayang.. Nanti makin keliatan kalo gak laku nya. Malu.” Tangannya mendorong dahi Qiya kasar sampai Qiya tersungkur karena tangannya tidak bisa menopang tubuhnya.

Perempuan bernama Onyx pun maju dengan tangan yang penuh tepung. Seraya membalurkannya ke wajah Qiya ia berkata, “Reza itu punya gue, cuma punya gue. Onyx.” Tekannya tanpa henti terus membalurkan tepung itu.

“Padahal kemarin udah gue warning biar gak kejadian, ngeyel sih.” Celetuk Yudia sambil memainkan rambut cantiknya.

Dengan mata yang penih air mata, Qiya berusaha membuka suaranya tak terima. “Gue berhak lakuin apapun yang gue mau.” Bantahnya dengan suara bergetar.

Onyx memberikan tatapan belah kasihnya lalu meraba wajah Qiya, mulai dari belakang telinga.. sampai ke pipi nya dan dagunya yang Onyx yang cengkram kuat-kuat hingga pipi Qiya terasa sakit luarbiasa. Jangan lupakan kuku panjangnya yang menancap sempurna di pipinya.

Dengan tatapan khas Onyx, ia berkata “Gue juga.”

Dan melempar wajah Qiya kesamping hingga Qiya yang tersungkur kini pipinya menempel pada tanah sebab sepatu cantik milik Onyx yang menginjak wajahnya. Sudah tidak ada lagi yang bisa Qiya lakukan atau ia akan mati ditangan Onyx saat ini juga.

“Ini terakhir kalinya gue warning lo deket-deket sama Reza. Kalo sampe gue liat kalian berdua barengan....” Ia semakin menekan pijakannya, “... Jangan harap lo masih bisa hidup besok.”

Onyx mengangkat kakinya, namun sebelum meninggalkan Qiya yang sudah mengenaskan sempat ia meludah yang ia sasarkan tepat ke dahi Qiya. Baru setelah itu mereka benar benar pergi. Meninggalkan Qiya yang hampir mati pula.